Kamis, 07 Maret 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 3: Berpetualang Dalam Kota Baru

 Volume 01

Chapter 3: Berpetualang Dalam Kota Baru



Kemarin, aku menangis dan menangis dan menangis. Orang tuaku marah karena aku jatuhkan selimut mereka ke lantai, kemudian waktu makan malam datang, tapi aku tetap terus menangis tanpa merespons perkataan mereka. Begitu pagi hari datang, mata aku merah dan bengkak karena sudah menangis dalam waktu lama. Darah naik ke kepala membuat aku pening.

Tapi panas demamku turun, dan aku tidak merasa lemas seperti sebelumnya. Ditambah, aku merasa lebih baik secara keseluruhan karena kemarin aku luapkan tangisan dalam hatiku. Tapi di pagi ini, tidak ada keluargaku yang tahu cara menawari aku makan.

“Mmm, sepertinya demammu sudah turun.”

Ibu menyentuh dahiku dengan tangan yang terasa dingin, mungkin itu karena dia baru saja mencuci piring. Dia juga perlahan dan lembut menekan mataku. Rasa dinginnya membuatku nyaman.

“Jika kamu merasa baikkan, Myne mau ikut Ibu ke pasar? Hari ini Ibu dapat hari libur.”

Tunggu.... bukankah dia bilang tahun ini adalah tahun yang paling padat jadwalnya sebagai pekerja pewarna kain, kerjaanya sibuk sekali sampai-sampai dia terus melanjutkan kerjanya dan pergi dari sisi aku, anaknya yang sedang sakit?

Ibu menyadari aku bingung karena ucapannya, dia melirik bawah sedikit sedih.

“Tuuli, dia sudah lama sekali tidak dapat kesempatan keluar karena dia mengurusi kamu, dan dia itu sangat khawatir padamu yang terus menangis tanpa henti kemarin. Jadi, kami pikir kamu itu merasa kesepian diam di rumah, jadi Ibu usahakan dan berhasil meyakinkan rekan-rekan kerja ibu untuk memenuhi target tugas Ibu untuk hari ini.”

Begitu aku dengar penjelasannya, aku mengerti. Aku tidak sangka menangis seharian dihadapan banyak orang! Aku ingin menggali lubang dan diam di dalam sana. Bersikap tenang saja tidak akan cukup, apalagi setelah tahu sebegitu memalukannya dirimu di hari sebelumnya.

“U-um, maaf.”
“Tidak usah minta maaf, Myne. Kita semua memang berhati lemah di waktu kita sakit.”

Ibu mengelus-elus kepalaku dengan lembut, dia ingin aku terhibur, tapi semakin baik dirinya maka semakin aku merasa bersalah.

Aku benar-benar, minta maaf. Aku menangis seperti itu karena rasa putus asa karena tidak adanya buku. Aku tidak merasa kesepian tanpa kalian. Tuuli memang sangat mengkhawatirkan aku, tapi yang aku perhatikan darinya adalah langkah dia pergi agar aku bisa mencari buku. Aku sangat meminta maaf.

“Tuuli akan pergi ke hutan bersama anak-anak yang lain, tapi kamu itu masih terlalu lemah untuk jalan kesana. Jadi, apa kamu mau ikut Ibu belanja?”
“Uh mau!”
“Duh, Ibu penasaran dari mana rasa semangatmu itu berasal.”

Ibu tersenyum senang, mengira aku senang bisa menghabiskan waktu bersamanya, dan aku membalas dia dengan senyuman yang lebar.

“Ahaha, Ibu tahu pasti kamu juga senang belanja.”

Karena Ibu terlihat sangat senang aku jadi tidak perlu repot-repot membenarkan kesalahpahaman dia, rasa semangatku ini baru saja menembus atap atas dasar kegembiraanku yang bertemu dengan kesempatan menemukan buku di luar sana.

Aku pastinya akan ikut belanja dengannya dan membuat dia beli satu buku untukku. Aku tidak meminta buku tebal. Mau bagaimana bentuknya, aku ingin suatu hal yang bisa dijadikan sumber belajar cara menulis di dunia ini. Sejujurnya, aku tak masalah menerima buku tugas untuk anak. Jika satu buku saja sudah memberatkan, maka aku masih bisa menerima lembaran yang berisi alfabet atau apapun namanya dunia ini itu.

Aku yakin jika aku bilang, “Aku tidak akan merasa kesepian bila ada buku di sisiku! Aku bisa tinggal seharian di rumah sendirian!” yang aku sebut dengan nada gemas, dia pastinya akan membeli satu atau dua buku bergambar untuk putrinya yang sedang sakit. Eheheh. Aku sudah tidak sabar lagi.

“Baik, Ibu. Aku pergi dulu ya!” ucap Tuuli dengan penuh senyuman lebar selagi dia mengintip ke kamar tidur. Karena Ibu akan tinggal, tidak kerja hari ini, Tuuli tidak perlu mengurusiku seharian ini.
“Tetap berdekatan dengan anak-anak yang lain ya? Hati-hati di jalan.”
“Iyaaaa.”

Tuuli mengenakan keranjang ransel besar yang melebihi pundak, dan dia segera bertolak dari rumah. Dia seperti terlihat pergi untuk main dan senang-senang, tapi dia sebenarnya membantu keluarga pada bagian penting: yaitu mengumpulkan kayu bakar. Dia juga akan kembali membawa kacang-kacangan, jamur-jamur dan hal lainnya yang bisa dia temukan di sana. Mau tanaman yang dia bawa itu bagus atau tidak, biaya makan murah di tiap harinya bergantung dari hasil bawaan Tuuli.

Um... Berjuanglah, Tuuli! Makan siang aku tergantung usahamu!

Dunia yang penuh kemiskinan ini tidak memiliki sekolah, jadi anak-anak pada umumnya membantu urusan keluarga mereka atau bekerja. Atau itulah yang aku ketahui dari ingatan Myne yang tidak menunjukkan adanya sekolah. Begitu anak berumur lebih tua dari Tuuli, mereka mulai bekerja magang di suatu tempat. Jika dapat kesempatan memilih tempatnya, aku akan lebih memilih untuk magang di perpustakaan, atau magang jadi sales buku. Pergi ke pasar akan menjadi kesempatan yang bagus untuk mengumpulkan informasi soal ini. Aku akan cari toko buku terdekat, jadi teman dekat pemilik toko, dan kerja magang di tempatnya.

“Yuk, Myne. Kita pergi belanja.”

Ini adalah kali pertamanya dalam hidupku sebagai Myne untuk pergi meninggalkan rumah dan juga kali pertamanya aku pakai baju selain piama. Pakaian yang aku kenakan sekarang adalah baju lama punya Tuuli dan yang aku pakai terdiri dari banyak lapisan kain tebal. Rasanya aku dibalut pakaian ini dan sulit untuk gerak jalan, tapi meski begitu aku raih telapak Ibu dan mengambil langkah pertamaku keluar rumah.

... Dingin! Sempit! Bau! Ini terjadi mungkin karena bangunan ini terbuat dari batu, jadi angin yang lewat dingin karena hawa dari batunya dan lapisan kain yang aku pakai saja masih kurang untuk menahan suhu dingin ini. Rasanya aku ingin sekali pakai jaket bulu atau sarung tangan hangat. Termasuk masker yang bisa menahan rasa bau tidak sedap dan juga angin dingin masuk ke hidung.

“Myne, hati-hati turunnya agar tidak jatuh.”

Tepat di sebelah kana rumah kami ada tangga turun. Tubuhku berukuran anak usia tiga tahun jadi tiap anak tangga ini sudah membuat aku merasa takut. Sambil dipandu Ibu melangkah maju, aku melompati tangga kayu satu per satu, terdengar suara derak kayu setiap kali kami menuruni anak tangga bangunan ini. Entah kenapa, anak tangga mulai dari lantai dua terbuat dari bayu kokoh.

Kami ini tinggal di bangunan yang sama, kenapa mereka dapat perlakuan spesial? Aku manyunkan bibir, menggembungkan pipi, selagi dalam dan akhir perjalanan turun dari bangunan untuk keluar. Jika hitungan aku benar, apartemen ini punya lima belas lantai dan kami tinggi di lantai tujuh. Jujur saja, bagi orang lemah, kecil dan sakit seperti aku, sudah cukup melelahkan sekali hanya untuk keluar dari rumahku. Sekarang aku tahu alasan dibalik hanya ingatan dalam kamar tidur saja yang aku tahu. Sekarang pun, aku sudah kehabisan nafas dengan berjalan menuruni tangga. Sepertinya aku akan pingsan di tengah jalan menuju tujuan kami.

“Haaaah, haaaah.... Ibu, aku sulit nafas. Tunggu sebentar.”
“Tapi kita baru saja sampai luar. Apa kamu baik-baik saja.”
“Aku hanya perlu.... sedikit, istirahat....”

Selagi aku mengatur nafas, aku mengingatkan diriku lagi untuk tetap sadarkan diri jika ingin sampai di toko buku, aku lihat sekitar untuk mencari tahu keadaan lingkungan warga. Jaraknya tak jauh dari bangunan kami tinggal ada plaza kecil yang ditandai dengan sumur timba di tengahnya. Hanya area sekitar sumur itu yang dipasangi batu, dan aku bisa lihat aktivitas sejumlah wanita-wanita berumur yang sedang mencuci pakaian mereka. Itu sudah pasti sumur yang didatangi Tuuli untuk mendapatkan air yang dipakai mencuci alat makan dan juga sumber air untuk kami setiap hari.

“Ibu gendong kamu di punggung Ibu, Myne.”

Ibu, yang mengambil keputusan jika dia menunggu aku kembali kuat untuk jalan maka kami tidak akan sampai pasar tepat waktu, dengan agak kasar dan cepat dia menggendongku di belakang dan mulai berjalan. Aku sendiri kurang yakin ingat soal ini, karena dia membawa semacam gendongan bayi dipunggungnya, mungkin itu bukti dia sudah terbiasa menggendong Myne kesana kemari.

Di area luar sekitar plaza bersumur itu dikelilingi apartemen tinggi di empat sisinya, ini jadi kompleks perumahan yang kotak, dengan satu jalan yang terhubung ke jalan luar. Setelah melewati jalan, yang sempit dan gang-gang minim pencahayaan, jalan ini akhirnya tembus ke jalan lebar.

Wow! Jalan ini sama seperti yang aku lihat di foto kota-kota Eropa zaman dulu. Pemandangan yang sebelumnya belum pernah aku lihat memenuhi penglihatanku, mulai dari gerobak yang ditarik semacam kuda atau keledai yang saling berpapasan di jalanan lebar tersusun dari bebatuan bulat, di setiap sisi jalan dipenuhi oleh toko-toko. Aku melirik kesana kemari, melihat ke segala arah seperti turis yang sedang mencari tujuan mereka, tujuanku adalah toko buku.

“Ibu, kita belanja ke toko apa?”
“Kamu tanya apa, Myne? Kita itu mau ke pasar. Kita hampir tidak mungkin mampir ke toko-toko itu.”

Dari penjelasan Ibu, kebanyakan toko yang punya petaknya sendiri menjual barang untuk para orang yang berkecukupan tinggi dan jarang sekali ada barang yang bisa kami, rakyat miskin beli. Kami beli sebagian besar kebutuhan pokok kami di pasar utama.

Mmm, itu berarti, toko buku mungkin masuk kategori toko dengan petaknya sendiri? Ibu melanjutkan jalan dan aku terus melihat sekitar untuk menemukan toko buku, tak lama kemudian terlihat bangunan besar yang bisa dibilang bagian penting dari kota. Itu terbuat dari batu putih dan, meski desainnya cukup sederhana, tapi ada semacam kesan agung dari bangunan itu.

“Um, apa itu istana?”
“Bukan, itu kuil. Nanti begitu kamu berusia tujuh tahun, kamu akan dibaptis di sana.”

Ooooh.... itu kuil. Sepertinya aspek kepercayaan agama dianjurkan di sini, yang mana itu menjengkelkan. Aku akan menghindar dari tempat itu sebisa mungkin.

Insting dan pengetahuanku dari kehidupan sebelumnya membuat aku ingin jauh-jauh dari suatu kepercayaan. Aku kurang tahu apa seorang ateis diperlakukan baik atau tidak di dunia ini, jadi aku tutup mulutku soal itu dan melihat tembok yang ada di sekitar kuil itu.

“Ibu, tembok apa itu?”
“Itu benteng milik istana. Di dalam benteng itu ada istana tempat tinggal tuan penguasa dan kediaman para bangsawan. Tapi, bagi kita, itu semua tidak ada hubungannya sama sekali dengan hidup kita.” 

Benteng tinggi dari batu ini terlihat seperti penjara saja, karena yang aku lihat hanyalah tembok pembatas, bukan istana atau kediaman bangsawan. Mungkin memang didesain seperti itu agar para prajurit bisa langsung bersiap bertahan atau melawan jika terjadi keadaan darurat. Tembok putih itu masih berlanjut sampai ke sisi selanjutnya, meski punya desain yang lebih mengedepankan sisi martabatnya tanpa memikirkan sisi keindahannya, tembok ini tidak memiliki kesan kejam atau menakutkan. Ini dibuat seperti memang untuk pemisahan saja, karena akan benar-benar penuh celah jika serangan benar terjadi.

Mmm... bangunan-bangunan ini terlihat sedikit berbeda dengan konsep istana Eropa yang aku lihat di film sejarah dan sejenisnya.

“Nah, Ibu. Kalau tembok yang sebelah sana?”
“Itu tembok bagian luar. Itu jadi pelindung kota. Gerbang selatan adalah tempat Gunther kerja, masih ingat kan?” Aku tahu dari ingatan Myne bahwa ayah kerja sebagai prajurit, tapi aku tidak tahu dia jadi penjaga gerbang masuk kota.

Hm... ada istana yang menjadi tempat tinggal penguasa wilayah ini, lalu ada tembok bagian luar dan dalam. Aku rasa bisa menarik kesimpulan bahwa ini adalah ibu kota? Tapi aku tidak merasa ini adalah kota yang besar, menilai dari panjang tembok itu dan jumlah orang yang berjalan. Tapi aku rasa sebaiknya jangan ambil Tokyo atau Yokohama sebagai skala yang tepat.

Tapi ini akan termasuk kota besar bila dibandingkan dengan kota berbenteng yang aku baca di buku sewaktu aku masih jadi Urano, tapi punya rambut warna hijau atau biru adalah hal yang normal dalam dunia ini, jadi tidak ada keyakinan pengetahuan yang aku miliki sewaktu jadi Urano akan terus akurat. Tapi rasanya agak kurang pas saja jika aku menentukan besar kecilnya suatu kota sebelum aku belajar baik tentang dunia ini.

... Aaah, jika setiap kota punya ukurannya masing-masing, maka sebesar apakah toko buku yang mereka miliki, tapi aku masih tidak mengerti faktor yang menjadikan sebuah kota besar! Apa kota ini besar?! Atau kecil?! Seseorang, tolong beritahu aku!

“Myne, kita harus buru-buru ke pasar. Nanti semua bahan segarnya akan habis begitu kita sampai sana.”

Dalam perjalanan ke pasar, aku melihat sekitar sebisa mungkin dengan harapan menemukan toko buku, tapi hampir keseluruhan toko yang aku temui dari kedua sisi jalan hanya menampilkan plang dan lambang sederhana mengenai toko mereka. Plang itu terbuat dari papan kayu yang diberi gambar, atau dari bahan besi yang sudah dicetak sesuai gambaran toko mereka, tapi dari semua itu aku tidak menemukan suatu hal yang menyerupai huruf. Tapi itu masih hal yang bagus bagiku, orang yang belum bisa baca huruf dunia ini, tapi perasaan hawa dingin mulai menusuk punggungku.

... Tunggu dulu. Um, perasaan aku dari tadi tidak menemukan satu huruf pun setelah berkeliling kota. Apa serendah itukah tingkat kemampuan membaca? Atau jangan bilang dunia ini tidak punya tata cara menulis sama sekali? Gagasan seperti itu membuat aku merasa merinding dingin. Aku tidak sama sekali mengira ada kemungkinan suatu dunia tanpa huruf baca. Tanpa adanya huruf, maka buku tidak mungkin ada.

Kami sampai pasar selagi aku tertegun. Aku meluruskan kepala pada sumber suara ramai pasar dan melihat pada stan berjual yang berjejer panjang, banyak sekali orang yang lewat sana. Ini seperti datang ke festival budaya Jepang yang membuat aku merasa rindu. Aku tanpa disadari tersenyum dan, setelah melihat ke meja dagang berisikan buah, aku menemukan suatu hal yang mengejutkan aku, sampai-sampai aku tarik-tarik pundak Ibu.

“Ibu, lihat itu! Apa yang ada di papan itu?!”

Dalam papan kecil yang menonjol di antara buah-buahan itu ada goresan simbol. Aku tidak bisa membaca itu, tapi setidaknya aku bisa yakin, bahwa itu adalah huruf atau angka atau semacamnya yang ada di dunia ini. Nafsu makanku terhadap huruf saja sudah tinggi sekali, melihat hal simbol kecil seperti itu saja sudah membuat wajahku menyala karena senang sekali.

“Oh, itu harganya. Itu memberitahu kita nominal uang yang perlu kita bayar.”
“Eh, Ibu. Itu dibaca apa?”

Ibu terlihat terkejut setelah melihat betapa semangatnya diriku, tapi aku tidak peduli soal itu. Aku meminta dia untuk membacakan setiap nominal angka yang ada di papan kecil itu, dan aku merasa angka-angka itu berhubungan dengan angka yang aku ketahui. 

Oke, bagus! Terus lanjutkan, penuhi hasratku!

“Oh, jadi ini dibaca tiga puluh Lions?”

Setelah Ibu membacakan berbagai angka kepadaku, aku mencoba membaca sejumlah angka dan menunggu responsnya. Aku pasti membaca itu dengan benar, melihat reaksi dia yang langsung melihat papan itu dan mengedipkan mata berkali-kali.

“Ibu terkejut kamu bisa belajar secepat ini, Myne.”
“Eheh.”

Terdapat sepuluh simbol yang menyerupai angka, jadi aku asumsi sistem angkanya bilangan desimal yang mana mudah dipahami. Aku bersyukur sekali mereka tidak pakai bilangan biner atau bilangan seksagesimal. Aku seharusnya bisa berhitung dengan baik selama aku tidak salah ingat semua simbol itu.

... Eh tunggu dulu, apa aku akan ambil jalan jadi anak jenius? Di usia sepuluh aku jadi anugerah dewa dewi yang diberikan kepada manusia dan di usia lima belas aku akan jadi seorang jenius, tapi begitu aku berusia dua puluh aku jadi manusia biasa. Oh, oke.



PREVIOUS CHAPTER     ToC    NEXT CHAPTER


TLBajatsu

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 2: Berpetualang Dalam Rumah Baru

 Volume 01

Chapter 2: Berpetualang Dalam Rumah Baru



Tiga hari sudah berlalu sejak aku hidup sebagai Myne. Tiga hari itu sangat penuh kejadian. Aku berhasil selamat dari berbagai macam pertarungan brutal yang tak bisa aku ceritakan tanpa air mata.

Bermula dari usahaku untuk menyelinap turun dari kasur dan coba jalan-jalan dalam rumah untuk mencari buku, tapi aku gagal karena ketahuan oleh Ibu dan langsung segera dipaksa kembali ke atas kasur. Dia benar-benar marah padaku. Aku sudah berulang kali mencoba lepas dari kasur tapi selalu berakhir gagal. Setiap kali gagal dari semua percobaanku. Rintanganku semakin tinggi begitu Ibu mulai langsung bertindak memindahkanku ke kasur tepat di saat dia melihatku! Kecuali aku sedang di kamar mandi.

Pada akhirnya, aku tidak punya kesempatan untuk cari buku. Yang buruk bukan itu saja, meskipun kebebasan yang aku dapatkan hanya bisa pergi ke kamar mandi, itu masih jadi perjuangan sulit yang aku hadapi. Karena ‘kamar mandi’ yang ada di tempat ini hanyalah satu kendi yang di taruh di sisi pojok kamar.

Perkara itu semakin memburuk, karena Myne rupanya tidak bisa buang air sendiri sebelumnya, jadi aku terpaksa buang air sambil diperhatikan oleh satu anggota keluargaku. Mau sebanyak apapun aku berteriak “Aku bisa sendiri! Jangan bantu!”, tidak ada satu dari mereka yang bergerak mundur. Mereka malah marah padaku, dan mempertanyakan jika aku buang air sembarangan.

Aku terpaksa memakai kendi itu sambil menangis, dan percaya atau tidak, Tuuli memuji tindakanku. “Wow, Myne! Kamu mulai terbiasa mandiri. Nanti kamu pasti bisa buang air sendiri,” katanya. Aku bisa memahami ucapan selamat itu karena dia senang adiknya mulai tumbuh mandiri, tapi mulai dari harga diri, kehormatan, dan martabat aku sebagai manusia telah runtuh.

Masih soal itu, isi kendi yang dipakai untuk buang air tadi langsung di buang keluar jendela. Tidak aku sangka sekali.

Berganti baju juga jadi perjuangan keras. Aku berusaha ganti baju sendiri, tapi ayahku, yang tidak aku kenal dengan baik, ambil alih prosesnya dan menggantikan pakaianku. Rasanya malu sekali, aku sampai meneteskan air mata, karena yakin bisa ganti baju sendiri, tapi dia menilai tindakanku tadi sebagai bentuk egois. Benar-benar tidak disangka.

Ayah asliku sudah mati saat aku masih kecil, jadi aku tidak tahu cara berinteraksi dengan seorang ayah. Tapi melihat dari ingatan Myne, aku menyayangi ayahku yang ini, sedangkan aku melihat dia sebagai pria yang tampak kejam dan berotot. Dia benar-benar kuat karena kerjanya jadi prajurit, dan semua perlawananku padanya hancur di hadapan keperkasaannya.

Selama tiga hari aku mengalami kekalahan melawan keluargaku, yang mana membuat hati gadis muda dan rasa malu aku tergerus hancur berkeping-keping.

Aku hanya seorang anak gadis. Keluargaku harus mengurusi aku. Memang itulah yang seharusnya terjadi ... Jika aku tidak berpikir seperti itu, maka aku akan mati! Tapi aku tidak bisa terus-menerus menerima perlakuan ini! Cobaan hidup ini sudah berlebihan! Dan seterusnya, aku berteriak seperti itu dalam kepalaku, tapi itu tidak membantu keadaan yang aku hadapi berkembang baik. Bila aku lari dari rumah, tubuh lemah dan penyakitan milik anak gadis seperti aku ini tidak akan bisa berbuat apa-apa sendiri. Aku pasti akan berakhir lari tidak jelas di jalan berusaha mencari tempat untuk mandi, lalu berteriak aneh melihat orang-orang membuang isi kendi mereka, dan akhirnya aku mati menyedihkan karena kelaparan.

Mungkin apa yang aku sebutkan tadi terdengar seperti aku baru saja mengalami hal yang kurang berguna dan tidak ada hasilnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Aku berhasil mendapat kemenangan kecil. Sebagai contohnya, setelah bertahan cukup lama dengan keadaan tubuhku yang kotor ini, aku berhasil membersihkan diriku dari itu berkat bantuan Tuuli yang mau menerima permintaanku untuk menyekakan tubuhku dengan kain basah yang hangat. Ya, untuk apa lagi coba? Kalau misalnya aku harus buka baju, kenapa tidak aku minta bantuannya untuk menyeka aku sampai bersih? Tapi itu membuat aku melewati rasa malu.

Aku penasaran jika orang dunia ini punya semacam budaya yang membuat mereka tidak saling membersihkan badan. Karena Tuuli terlihat sangat aneh ketika dia setiap kali menyekakan aku, tapi aku merasa nyaman. Air hangat yang ada dalam ember sangat kotor sekali saat pertama kali aku pakai, tapi dari hari ke hari jadi tambah bersih. Tapi meski begitu, kepalaku masih gatal. Aku tahu tidak ada itu di rumah, aku ingin sekali pakai sampo.

Masih ada hal lain yang ingin aku dapatkan juga, itu; tusuk rambut yang dapat membuat rambut kepalaku tetap terikat! Aku minta satu stik kayu agar bisa mengikat rambutku yang panjang dan lurus yang sulit diatur, dan ternyata Tuuli mau memahatkan aku satu stik itu untukku.

Tapi ya, yang pertama aku temukan adalah boneka milik Tuuli dan aku minta izin jika boleh aku patahkan bagian kakinya, yang mana itu membuat dia sedih menangis. Aku merasa tidak enak bertanya itu padanya. Tapi kalau boleh jujur, meski boneka kayu itu dibuat sebaik mungkin oleh tangan Ayah dan baju bagus yang dibuat oleh Ibu, bagiku itu terlihat seperti mainan murah. Sekilas, aku tidak mengira itu adalah barang yang berharga sekali.

Baiklah. Aku gulung rambutku dan diikat sanggul, tapi Tuuli bilang ikat sanggul hanya boleh setelah wanita memasuki usia dewasa, jadi aku buat setengah sanggul saja. Budaya dunia ini benar-benar berbeda.

Aku hanya bisa mengumpat pada diri sendiri setiap hari, jadi yang tersisa sekarang untuk aku lakukan adalah berusaha menjalani semuanya dan meningkatkan apa saja yang bisa aku lakukan. Yang nantinya akan membawakan aku pada banyak buku.

Jalan pertama untuk meningkatkan peluang aku hidup adalah dengan mendapatkan buku. Dengan adanya buku, maka aku tidak keberatan menghabiskan waktu seumur hidup di atas kasur, dan aku bisa mengurusi sisi aspek hidup lain yang lebih keras. Aku bisa dan aku yakin bisa.

Jadi, aku putuskan untuk menjelajahi semua sisi rumahku, setotal totalnya. Aku sudah lama sekali tidak membaca buku jadi penyakit aku mulai kambuh. Aku rasa tidak lama lagi aku akan mulai teriak “Buku, aku mau buku! Waaah!” sambil terisak-isak dan mukul benda yang ada dengan tidak jelas.

“Myne, kamu masih tidur?”

Tuuli membuka pintu dan menonjolkan kepalanya untuk melihat ke dalam kamar. Setelah melihat aku terbaring diam di kasur, dia mengangguk puas.

Sudah lebih dari tiga hari aku berusaha terus menerus turun dari kasur setelah bangun dari tidur untuk mencoba cari buku, jadi baik Ibu dan Tuuli, yang selama ini selalu mengurusiku, dalam posisi penuh pengawasan padaku. Tuuli sangat berusaha sebisa mungkin membuat aku tetap berbaring di kasur seharian, karena dia yang dipercaya untuk mengurusku. Tubuh kecilku tidak berdaya untuk melawan Tuuli, mau sekeras apapun aku mencoba lari darinya.

“Suatu hari nanti, aku akan (naik derajat) dari sini.”
“Tadi kamu bilang apa, Myne?”
“... Mmm? Aku tadi bilang aku sudah tidak sabar tumbuh dewasa.”

Tuuli, tidak menyadari adanya makna lain dari ucapan manis yang aku sebutkan tadi, dia membalas dengan senyum sungkan.

“Kamu pasti akan bertambah besar begitu penyakitmu sembuh. Karena kamu sakit terus jadi jarang makan. Terkadang ada yang menganggapmu tiga tahun padahal sebenarnya kamu itu sudah lima tahun.”
“Kalau kamu berapa tahun, Tuuli?”
“Aku enam tahun, tapi banyak juga mengira aku sudah tujuh atau delapan tahun, aku rasa itu biasa saja.”

Umur kami hanya berbeda satu tahun tapi perbedaannya sudah sejauh ini diantara kami? Sepertinya kenaikan derajatku akan jadi suatu perjuangan yang lebih berat dari perkiraan. Tapi aku tidak akan menyerah. Akan aku bersihkan tempat ini, makan teratur dan mendapatkan kesehatan sesegera mungkin.

“Ibu sedang pergi bekerja, aku mau cuci piring dulu. Jangan turun dari kasur ya? Jangan sampai ya. Kamu tidak akan sembuh-sembuh jika tidak mau tidur, dan jika kamu tidak sembuh maka kamu tidak akan tumbuh.”

Akhir-akhir ini aku pura-pura menjadi anak penurut agar Tuuli lengah dalam mengawasiku, aku diam berbaring menunggu dia pergi dari rumah.

“Mengerti ya, aku pergi dulu. Jadilah penurut ya.”
“Iyaaaa.”

Aku memberi jawaban yang Tuuli inginkan dan dia menutup pintu kamar tidur.

Heh.... ehehheheh....! Ayo, waktunya cepat pergi.

Aku bersabar menunggu Tuuli mengumpulkan alat makan yang akan dia cuci ke dalam keranjang dan membawanya keluar. Aku tidak tahu tempat di mana dia mencuci alat makan kami, tapi yang aku tahu dia akan pergi selama tiga puluh untuk mencuci semua itu. Rumah kami tidak memilik air mengalir, jadi bisa berasumsi bahwa ada sumber air yang melimpah di luar sana. Aku mendengar kunci pintu bersuara dan mendengar baik-baik langkah kaki Tuuli turun ke bawah.

Yeees.... waktunya berburu. Umur Tuuli seharusnya sudah layak untuk menerima satu atau dua buku bergambar yang tersimpan dalam rumah. Aku pasti akan menemukan satu atau dua buku tak lama aku mulai mencari. Sudah pasti ketemu. Tidak mungkin ada keluarga yang tidak memiliki satu buku pun dalam rumah mereka. Aku mungkin tidak bisa membaca buku itu, tapi aku bisa mendapat gambaran kasar apa yang dituliskan dalam buku itu dengan lihat gambar yang ada dalam buku itu dan juga menduga arti dari kata yang muncul.

Begitu suara langkah kaki Tuuli menghilang, sepenuhnya tak aku dengar, aku perlahan turun dari kasur. Aku merasa sedikit tidak nyaman begitu meletakkan telapak kakiku ke lantai, ternyata itu karena lantai ini kotor dan penuh dengan debu. Keluargaku juga yang membuat lantai ini kotor karena alas kaki yang mereka pakai kotor terkena tanah luar, dan rasanya tidak enak saja berjalan di lantai kotor seperti ini tanpa alas kaki, Tuuli sudah mengamankan sepatu kayu punyaku demi mencegah aku jalan-jalan. Aku tidak punya pilihan sekarang.

Tapi ya.... Menemukan buku lebih utama daripada menjaga kakiku tetap bersih.

Kasur yang aku pakai tidur selama berhari-hari agar bisa sembuh dari deman yang tiada tanda menurunnya, punya keranjang yang berisikan banyak mainan anak terbuat dari kayu dan ranting, tapi tidak ada buku di dalamnya.

“Pastinya akan memudahkan aku jika ternyata ada di dalam sini...”

Secara sadar aku merasakan tumpukkan debu terus bertambah di telapak kakiku setiap kali aku melangkah. Memang sudah jadi hal yang biasa untuk keluarga ini memakai sepatu dalam rumah, jadi aku sudah tahu ini dan tidak bisa komplain banyak. Aku tahu ini, tapi aku tidak bisa menahan diriku lagi.

“Ada orang yang bisa membawakan aku sapu dan lap pel, tolong?”

Sudah pasti, tidak ada yang membalas permintaanku, dan sapu atau lap pel juga tidak secara magis muncul entah dari mana.

“Ngggh! Sudah masuk rintangan besar lagi?”

Bagiku, rintangan besar penjelajahan ini bermula dari kamar tidur. Aku bisa menggapai gagang pintu setelah aku rentangan tangan serentang-rentangnya, tapi proses menggerakkan pintu ini lebih sulit dari yang aku kira.

Aku melihat sekitar untuk mencari benda yang bisa aku naiki, dan aku lihat dari kotak besar yang digunakan untuk menyimpan baju aku. “Nmmm...!” Aku pastinya tidak punya masalah memindahkan ini di waktu aku masih jadi Urano, tapi sekarang tanganku itu kecil sekali dan tidak punya cukup kekuatan yang bisa mendorong kotak ini mau sekuat apapun aku mencoba. Aku berpikir untuk memutar balikkan keranjang yang berisikan mainan anak dan coba dinaiki karena aku masih bertubuh kecil, tapi aku masih punya berat badan yang mungkin bisa merusak keranjang itu.

“Aku harus segera tumbuh besar. Ada banyak sekali hal yang tidak bisa aku lakukan dengan tubuh ini,”

Aku melihat isi kamar lagi dan menilai benda yang bisa aku gerakan, aku putuskan untuk menggunakan selimut yang dipakai orang tuaku sebagai pijakan naik. Aku sendiri tidak mau selimut yang aku pakai menyentuh lantai kotor ini, tapi karena orang tuaku ini sudah terbiasa dengan lingkungan yang kotor ini, aku yakin mereka tidak akan keberatan jika aku manfaatkan selimut mereka. Aku yakin. Um... Aku minta maaf, Ibu. Ayah. Tiada tindakan apapun yang akan menghalangi aku jika menyangkut buku, itu termasuk mendapat amarah dari kalian nanti.

“Oof.”

Aku berhasil menjadikan selimut ini jadi sebuah pijakan dan bisa menggerakkan pintu melalui gagangnya setelah memakai berat badanku sebagai pendorongnya.
Terdengar suara dari pintu terbuka. Yang belok ke arahku.

“Bwuh?!”

Aku menarik gagang pintu ke bawah karena aku tarik dengan berat badanku, dan pintunya terbuka berayun ke arahku. Aku segera melepaskan gagang pintu sebelum mengenai kepala, tapi aku itu sudah terlambat. Aku jatuh ke belakang dan tersungkur balik ke selimut yang aku jadikan pijakkan, sebelum akhirnya aku terduduk di atas lantai. Suara jatuhku cukup terdengar juga.

“Oooow...”

Aku berdiri kembali sambil memegangi kepala, dan melihat sedikit ruang dari celah pintu yang tetap terbuka. Luka di kepala ini jadi luka penghargaan.

Aku menyelipkan jari di celah pintu yang terbuka dan mendorong pintu itu sampai terbuka dan menutupi setengah jalan masuk, itu membuat selimut orang tuaku ikut tergeser. Terlihat sedikit bagian lantai yang jadi lebih bersih dari sebelumnya, tapi aku anggap aku tidak melihat itu terjadi. Aku tidak sengaja menjadikan selimut ini jadi kotor sekali.

Aku... aku minta maaf.

“Oh, aku di dapur.”

Aku meninggalkan kamar tidur dan melihat dapur tepat di sebelah kanan kamar. Tapi, dapur ini tidak begitu lengkap peralatan untuk bisa dipanggil dapur memadai. Yang disediakan dapur ini adalah tempat untuk memasak sesuai keinginan, tapi aku mungkin tidak akan mau memasak.

Ada meja kecil di tengah ruangan berserta tempat duduknya yang terdiri dari dua kursi tiga kaki dan peti kayu panjang. Di sebelah kanan ada lemari dengan pintu penutup, mungkin di sana tempat alat makan di simpan. Di tembok paling dekat dengan kamar tidur ada gantungan besi dan tergantung di sana kuali besi, centong dan wajan. Ada perapian juga di dekat sana yang mungkin digunakan sebagai tungku masak. Ada tali panjang yang terhubung dengan dua tembok, dan ada kain kotor yang digantung di sana, kain itu terlihat sangat kotor sampai-sampai yang disentuh kain itu akan semakin kotor.

“Iiiiih. Rasanya sekarang aku tahu kenapa aku sering sakit.”

Di sisi lain yang berseberangan dengan perapian itu ada tong air besar dan tempat seperti untuk cuci tangan. Seperti yang aku duga, tidak ada sumber air mengalir di rumah. Lalu, ada keranjang besar di sebelahnya yang didalamnya terdapat kentang, bawang dan bahan mentah lainnya. Ada banyak sekali bahan pangan di sana yang tidak aku ketahui, jadi bisa ada kemungkinan kentang yang aku lihat bukan kentang ternyata.

“Hm? Buah ini.... seperti alpukat. Aku ingin tahu apa bisa aku dapat minyak dari buah ini?”

Aku melihat buah-buah yang aku temukan dan menemukan satu jenis buah yang menarik perhatianku. Jika aku bisa dapat minyak dari buah ini, mungkin aku bisa mendapat suatu solusi yang dapat mengatasi gatal di kepalaku.

Ibu di waktu aku masih hidup sebagai Urano, dia punya semacam hobi yang membuatnya melakukan hal acak dan aneh, itu terus berganti juga. Dia bisa aku gambarkan sebagai orang yang penuh rasa penasaran pada hal ganjil. Dia bertindak dan berpacu pada hal yang dia ketahui di hari itu: Acara TV mengenai tata cara berhemat pengeluaran, majalah tentang hidup mandiri di alam, acara luar negeri yang berfokus pada aktivitas budaya mereka, dan apapun itu. Dia selalu saja menarik-narik aku untuk ikut serta, dia jelaskan “ingin aku punya hal lain yang diminati selain buku,” tapi aku tahu bahwa dirinya sendirilah yang berminat belajar itu. Aku tidak ada pilihan lain, jadi aku selalu mengikuti acara itu bersama dia, dan berkat tindakannya itu, aku mungkin saja bisa membuat sampo secara mandiri dengan ilmu yang aku dapatkan itu.

Terima kasih, Ibu. Aku rasa aku mungkin bisa bertahan hidup di sini. Aku mendapat rasa percaya diri dengan temuan tadi, lalu aku lihat sekitar ruangan lagi dan melihat ada dua pintu lain, pintu ini tidak ada hubungannya dengan pintu ke kamar tidur.

“Eheh. Ke kiri atau kanan, manakah yang ada untungnya?”

Dapur tadi sama sekali tidak memiliki tempat untuk rak buku. Aku pilih salah satu pintu dan membukanya ke arah depan.

“Mmm, ini gudang barang? Aku rasa bukan di sini tempatnya.”

Ruangan ini dipenuhi dengan barang yang tidak aku ketahui cara pakainya. Ada rak yang penuh dengan barang, tapi itu penuh sekali dan tidak terlihat seperti bukan tempatnya rak buku berada.

Aku menyerah cari di sana dan beralih ke pintu yang satunya lagi. Ada suara hantaman besi ketika aku tarik ke dalam, itu pertanda pintu ini dikunci. Aku coba berulang kali menariknya namun tidak membuahkan hasil. Pintu ini tidak mau terbuka.

“... Tunggu. Ini pintu yang dikunci Tuuli sebelum dia pergi? Berati sudah semua ruangan aku jelajahi?”

Jika ini adalah pintu untuk keluar, maka rumah kami tidak punya bak mandi, tempat buang air, air mengalir, dan rak buku. Tidak aku temukan sama sekali. Mau sekeras apapun aku lihat, tidak ada ruangan lain lagi.

... Um, dewa dewi, adakah Anda sekalian membenci saya? Jika ini candaan, maka sudah keterlaluan? Saya minta dilahirkan kembali agar bisa membaca buku lagi setelah mati. Saya tidak minta dikirimkan ke dunia lain dengan ingatan saya dari Jepang dan ingatan tambahan ini, tidak saya minta dipaksa tinggal di rumah tanpa bak mandi, tempat buang air dan sumber air. Saya kira dengan pasti, Anda-Anda sekalian akan mengirimkan saya ke dunia yang penuh dengan buku-buku.

“.... Jangan-jangan, buku sangat mahal sekali di sini?”

Berdasarkan sejarah yang aku pelajari, sebelum ditemukannya mesin cetak yang menuntun terjadinya produksi masal buku, harga buku saat itu sangatlah mahal. Bagi orang-orang yang tidak lahir sebagai bangsawan atau keluarga kaya maka tidak ada satu kali pun kesempatan bagi mereka untuk membaca buku. Yang mana ini jadi dasar kemungkinan tidak adanya budaya untuk memberi hadiah buku bergambar pada anak tetangga yang sedang ulang tahun.

“Ngh, baiklah. Mungkin aku bisa cari satu atau dua kata tulis.”

Aku tidak sepenuhnya perlu buku agar bisa belajar tata cara dunia ini menulis kata-kata jadi kalimat. Poster, koran berita, panduan penggunaan barang, kalender, dan hal-hal semacam itu bisanya ada tulisan kata. Atau itulah yang terjadi di Jepang.

“.... Tidak ada. Tidak ada satu kata pun yang tertulis! Tidak ada!”

Aku sudah berjalan di setiap ruangan dan mencari di setiap rak dan lemari yang aku temukan, tapi yang aku temukan bukanlah buku, aku bahkan tidak menemukan satu benda pun yang ada hurufnya. Aku tidak dapat menemukan surat atau kertas.

“Kok bisa ini terjadi?”

Kepalaku mulai sakit, seperti panas demam yang tiba-tiba keluar entah dari mana. Jantungku terasa berdebar-debar dan aku rasa akan segera teriak keras, aliran peredaran darahku terasa sempit. Aku terjatuh seperti boneka yang benang kendalinya diputus. Mata aku terasa terbakar dari dalam.

Ya, oke, aku sudah pernah tertimpa banyak buku. Itu sudah tidak ada gunanya dibahas. Karena itu memang yang aku impikan untuk terkubur banyak buku. Aku sudah berdamai dengan itu. Dan benar aku yang minta direinkarnasikan. Aku mengerti semua itu.

... Tapi, ketahuilah, tidak ada satu buku pun di sini. Tidak ada satu kata yang tertulis juga. Termasuk kertas tidak ada! Benarkah aku bisa hidup dan tinggal di tempat seperti ini? Apa aku punya tujuan untuk melanjutkan hidup?

Tetesan air mata mengalir di pipi. Tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku bahwa akan ada dunia tanpa buku. Hal semacam itu tidak pernah aku bayangkan terjadi padaku. Dan lihat sekarang apa yang menimpa aku. Aku tidak bisa memikirkan satu tujuan pun yang bisa aku jadikan patokan agar menjalani hidup sebagai Myne di dunia ini, bagian dalamku terasa hampa. Aku tidak bisa berhenti menangis.

“Myne! Kenapa kamu turun dari kasur?! Jangan jalan-jalan tanpa sepatu!”

Hingga akhirnya Tuuli sampai rumah, dia meneriaki aku dengan mata melotot karena marah padaku yang dia temukan diam di lantai dapur.

“... Tuuli, tidak ada (buku)?”
“Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja?”
“Tuuli, aku ingin (buku). Aku ingin baca (buku). Aku ingin sekali baca, tapi tidak ada (buku) di sini.”

Tuuli mencoba memanggilku karena khawatir, saat itu aku sedang meneteskan banyak air mata yang mengalir deras di pipiku. Tapi dia ini sudah terbiasa dengan dunia tanpa buku. Dia tidak mungkin memahami penderitaan yang aku sampaikan padanya.

... Adakah orang yang paham rasa penderitaanku? Adakah orang yang tahu tempat aku bisa dapat buku? Siapapun, tolonglah aku. Aku mohon.





TLBajatsu

Selasa, 05 Maret 2024

Jidouhanbaiki ni Umarekawatta Ore wa Meikyuu ni Samayou Web Novel Bahasa Indonesia : Chapter 134 - Pemukiman Kayu

Chapter 134 - Pemukiman Kayu




“Hakkooooooon! Makanan, makanan!”

Sejak Shui melompat ke arahku, dia terus berteriak meminta makanan. Sebenarnya itu cukup menakutkan. Ya, karena Karaageku sudah panas, aku menyerahkannya kepada Shui.

“Hafu, munch, hauuuu, enak sekali!”

Dia melolong saat dia makan, mengirimkan pecahan Karaage ke mana-mana. Ini, ambil juga cola dingin ini. Jika Kamu merasa ada makanan yang tersangkut di tenggorokan, silakan cuci dengan minuman yang menyegarkan.

“Terima kasih atas bantuan Kamu. Sebelum kita bertukar cerita, bisakah Kamu menyediakan makanan untuk semua orang?”

"Selamat datang"

Para Hunter menatap dengan iri pada Shui yang sedang mengunyah makanannya dengan sangat antusias. Mereka terkejut melihat benda melayang di udara melalui telekinesis, namun dengan mudah menerima fenomena tersebut setelah Hevoy menjelaskan keberadaanku.

Itu, atau mereka terlalu senang melihat makanan. Tentu saja, fenomena aneh seperti makanan yang keluar dari kotak logam dan melayang melalui telekinesis mungkin merupakan sesuatu yang dapat diterima dengan cepat di dunia sihir dan Blessing.

“Kuhaaaa, sudah lama sekali aku tidak makan daging. Itu terlalu mengagumkan.”

“Aku sudah muak dengan sayuran…”

“Lemak adalah yang terbaik!”

Dari teriakan kegirangan mereka, para Hunter ini rupanya sudah lama bertahan hidup dengan mengonsumsi makanan vegetarian. Kasihan sekali, abaikan saja keseimbangan nutrisi dan pilihlah makanan yang mewah dan berisi daging.

Mari kita lihat, apakah kita akan memilih bento Karaage atau Daging Panggang?

“Ngomong-ngomong, Hevoy, apakah Mishael ada di sini?”

Itu benar. Jika Mishael ada di sini, kita akhirnya akan tahu ke mana semua orang dikirim melalui lingkaran teleportasi.

“Tidak, hanya Shui dan aku yang dipindahkan ke sini.”

“Hau'n, han, hyoufuhyahya yo.”

Shui, tolong fokus saja memakan makananmu.

Jadi, Mishael tidak ada di sini? Aku memang mendengar bahwa dia biasa menjelajahi ruang bawah tanah sendirian. Kemampuan bertarungnya berada di peringkat teratas, jadi menurutku dia akan aman meski sendirian. Faktanya, dia mungkin akan merasa lebih berat secara mental jika harus berkomunikasi dengan seseorang yang tidak memiliki banyak hubungan dengannya.

Benar, kemanapun dia dikirim, Mishael akan baik-baik saja.

“Tempat ini kaya akan bahan-bahan alami dan ladang, jadi meskipun kami punya banyak sayur-sayuran, kami tidak punya banyak sumber daging.”

Begitu, jadi itu sebabnya mereka semua menyelam ke dalam daging seperti itu. Shui memasukkan Karaage ke dalam mulutnya begitu cepat sehingga aku bisa melihat bayangannya…

“Pola makan vegetarian sepertinya tidak bisa memuaskan rasa lapar Shui. Aku bahkan memergokinya sedang menatap tanah di ladang, mungkin sedang memikirkan cacing tanah yang tinggal di sana? Bagaimanapun, aku harus memanipulasi indranya untuk berpikir bahwa dia makan daging setiap kali kami makan.”

Sungguh penggunaan manipulasi sensorik yang tidak terduga.

Itukah sebabnya dia tetap energik meski kebanyakan makan sayur?

“Menurutku pohon-pohon aneh yang ditempatkan di desa itu dulunya adalah manusia, kan?”

“Jadi, kamu menyadarinya? Itu betul. Gerbang itu dibuka paksa satu kali dan sejumlah besar iblis menyerbu masuk. Pada saat itu, semua orang tua, wanita, dan anak-anak yang menghirup serbuk sari Floor Boss berubah menjadi pohon.”

“Jika iblis mengamuk di desa, bukankah rumah-rumah akan hancur?” tanya Ramis.

Pertanyaan bagus. Aku juga ingin tahu. Serangan monster macam apa yang membuat rumah dan jalan masih utuh?

“Ah, itu? Pasalnya, bangunan di sini terbuat dari kayu. Monster di lantai ini sangat tidak suka merusak tanaman, bahkan menebang pohon. Mengetahui hal itu, desa ini seluruhnya dibangun dari kayu, bahkan lantainya pun terbuat dari papan kayu.”

"Benarkah? Tapi, bukankah pohon akan marah jika kita menebang pohon untuk membangun rumah dan sebagainya?”

“Itu juga benar. Rupanya, cukup sulit untuk menebang satu pohon pun di sini.”

Jadi, bahkan monster yang berada di bawah kendali Komandan pun tidak bisa melawan naluri mereka? Tunggu, karena para komandan juga menekankan naluri mereka untuk membunuh, keengganan naluri mereka untuk menyakiti tanaman juga meningkat, bukan?

“Tapi, bagaimana kamu bisa bertahan dari Floor Boss? Apakah Hevoy mengalahkannya?”

“Tidak, tidak, tidak seperti itu. Karena tanaman secara alami lemah terhadap api. Kami mengusirnya dengan obor. Kami tidak membakarnya karena dapat mengubah seluruh desa menjadi lautan api.”

Situasi yang canggung. Semua orang tahu bahwa tanaman lemah terhadap api, tetapi mereka tidak bisa menggunakan pengetahuan ini karena bahaya kebakaran karena banyaknya bangunan kayu?

Dengan logika yang sama, kami bisa membakar hutan untuk melenyapkan monster, tapi apinya bisa menelan seluruh desa.

“Selain itu, terkadang ada angin kencang di lantai ini yang dapat menyulut api dan menyebabkannya tidak terkendali. Jadi, penggunaan api dilarang keras sebagai bentuk serangan, termasuk Blessing Api dan Mantra Api.”

“Benar, meskipun mudah mengalahkan mereka dengan api, itu adalah pedang bermata dua yang bisa dengan cepat berbalik melawan kita.”

Betapa frustrasinya mengetahui kelemahan fatal monster-monster ini, tetapi tidak dapat menggunakannya? Kami mempertimbangkan untuk memindahkan semua penduduk di sini ke Clearflow Lake Floor dan membakar semuanya, tapi, masih ada pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan terhadap penduduk yang telah berubah menjadi pohon.

“Kembali tidak”

“Kembali… tidak bisa kembali?”

“Maksudmu kita tidak boleh pergi sebelum mengembalikan penghuninya ke bentuk aslinya, kan? Hakkon?”

“Ya-ya”

Terima kasih sudah menerjemahkan seperti biasa, Ramis.

Ini seperti telepati antara pasangan lanjut usia. Orang tuaku sering melakukan percakapan seperti 'Apakah kamu melakukan hal itu' dan jawabannya adalah 'Ya, ya, aku melakukannya' tanpa konteks sama sekali. Dulu aku bertanya-tanya bagaimana mereka memahami satu sama lain, tapi sekarang aku mengerti.

“Jika kita mengalahkan Floor Boss, orang-orang terkutuk itu bisa kembali normal. Orang-orang yang telah berubah menjadi pohon juga tidak perlu makan dalam kondisi ini, jadi mereka tetap aman bahkan setelah menjadi seperti ini.”

Aku menduga manusia pohon ini menggunakan fotosintesis untuk makanan dan menyerap air serta nutrisi lainnya melalui akar mereka. Bisa dibilang, menjadi pohon cukup aman di negeri yang dipenuhi monster pohon.

Mengetahui bahwa mereka dapat kembali ke bentuk aslinya membuat semakin mustahil untuk membakar tempat ini secara sembarangan. Pertama, kita harus mengalahkan Floor Boss. Kita juga perlu menangkap Komandan. Jika tidak, kami tidak akan pernah mencapai resolusi yang sebenarnya. Bagaimanapun, kami harus mencapai kedua tujuan tersebut secara bersamaan.

Terkait tanaman, selain api, herbisida adalah pilihan terbaik berikutnya. Namun, mesin penjual otomatis tidak menjual herbisida atau pestisida karena sifatnya yang beracun. Obat-obatan beracun tidak dapat dijual sebagai produk komersial.

Air asin dalam jumlah besar dapat menyebabkan tanaman layu, namun prosesnya memakan waktu lama. Terlebih lagi, begitu tanaman akhirnya mati, tanah pun ikut mati. Kurasa karena ini adalah Dungeon, tanahnya mungkin akan pulih dengan cepat? Namun, karena tidak ada cara untuk mengetahui secara pasti, aku lebih memilih untuk tidak mengambil risiko.

“Tapi bagaimana kita menemukan Floor Boss di hutan ini?”

Tentunya tidak mudah untuk menemukan satu Pohon Bos di hutan pepohonan?

“Oh, sebenarnya cukup mudah. Bos adalah pohon terbesar di Lantai ini. Aku pikir… ya, itu dia, di sana.”

Kami melihat ke arah yang ditunjuk Hevoy dan melihat mahkota pohon yang sangat tinggi berdiri jauh di atas garis kanopi.

Itu sangat besar dan jauh sehingga aku tidak dapat membayangkan betapa besarnya itu. Meskipun aku dapat melihatnya dengan jelas, aku tidak dapat memahami seberapa tingginya. Kelihatannya setinggi gedung bertingkat.

Adapun ukurannya… batangnya sangat tebal sehingga tampak seperti selebar beberapa pohon, jadi tidak ada yang bisa melewatkannya.

“Hei, jika ia bergerak, bukankah ia akan merobohkan pohon lain di sekitarnya?”

“Yah, karena itu adalah Floor Boss, pepohonan biasa akan menjauh darinya. Bahkan rumput dan semak pun akan menjauh dari jalurnya.”

Wah, jadi seperti membelah hutan? Ini mungkin sedikit tidak pantas, tapi aku yakin ingin menyaksikan pemandangan itu.

Apakah ini berarti Floor Boss mempunyai kekuatan untuk memanipulasi tanaman? Karena dia adalah Tree Boss di sini?

Mungkinkah memanipulasi tanaman lain untuk mengoordinasikan serangan terhadap kita juga? Kedengarannya seperti lawan yang sangat tangguh dan menyusahkan.

“Karena semua orang sangat bersemangat hari ini, mari kita bahas masalah ini besok.”

Hunter yang baru saja mengisi perutnya dengan daging goreng dan panggang berminyak mulai bersantai untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Bahkan ada yang sudah makan hingga perutnya buncit. Aku bahkan bisa mendengar dengkuran dari orang yang berbaring karena koma makanan.

Hanya Mishael yang belum diketahui keberadaannya, namun tidak perlu panik lagi.

Meskipun aku ingin kembali ke Clearflow Lake Floor sesegera mungkin, dengan Ketua Bear dan yang lainnya telah kembali ke sana dengan selamat, kami tidak perlu khawatir. Tentunya tidak apa-apa meluangkan waktu untuk memikirkan cara menantang Lantai ini dengan benar?

“Aku akan berjaga-jaga. Semuanya, kalian boleh melepas sepatu dan beristirahat.”

"Kami baik-baik saja. Kami juga akan berjaga-jaga.”

“Ya-ya ya”

Kami baru saja tiba di lantai ini belum lama ini, jadi kami tidak merasa lelah sama sekali.

Selain itu, sulit untuk mengatakan apakah saran Hevoy agar kami melepas sepatu adalah kebaikan belaka atau terkubur dengan motif tersembunyi.

“Aku berterima kasih atas bantuan Kamu. Lagipula, ada seseorang yang berada dalam kondisi seperti itu,” Hevoy tersenyum dan mengangguk ke arah tertentu.

Aku mengikuti pandangannya dan menemukan Shui berbaring telentang, perutnya bengkak saat anggota tubuhnya tergeletak di empat arah.

Ada botol-botol plastik dan bungkusnya berserakan di sekelilingnya.

“Ugh, aku tidak bisa makan lagi. Aku bahkan tidak bisa bergerak…”

Shui tidak akan berguna untuk sementara waktu. Yah, salahku juga karena memberi mereka makanan tanpa mempertimbangkan batasannya. Jadi, sebagai permintaan maaf, aku akan menjaga tempat ini bersama Ramis selagi mereka pulih.

Di menara pengintai dekat gerbang, kami bisa melihat hutan gelap terhampar dari tembok desa.

Tadinya aku membayangkan hutan yang hijau cemerlang, tapi kehijauan pepohonan di sini begitu gelap hingga mendekati hitam, membuat tempat itu terlihat semakin gelap. Langit biru cerah dengan banyak sinar matahari menyinari, tapi… ada sesuatu yang salah dengan hutan karena sepertinya menyerap sinar matahari.

Sepertinya nama 'Dark Forest Floor' bukanlah sebuah lelucon. Fenomena seperti ini jelas tidak wajar. Aku bertanya-tanya betapa gelapnya saat malam tiba.

“Hutannya sangat gelap, tapi aku bertanya-tanya kenapa?”

Ramis sedang mencondongkan tubuh ke luar platform pengamatan, dengan riang mengintip ke kejauhan. Aku ditempatkan di sudut peron dan tidak bisa tidak khawatir dia akan jatuh.

Menara pengintai itu tingginya sekitar lima meter, jadi dengan Blessing Ramis, dia mungkin hanya akan menderita beberapa goresan yang lebih buruk, tapi naluri Jepangku yang sudah mendarah daging tidak bisa menghilangkan anggapan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Awas jatuh”

“Ya, aku akan berhati-hati.”

Dia sekarang sedang duduk di pagar platform pengamatan, mengayunkan kakinya dan terlihat terlalu ceria untuk ketenangan pikiranku. Bahkan dalam situasi seperti ini, anehnya dia terlihat bahagia.

"Benar? Sudah lama sejak kita menghabiskan waktu bersama seperti ini.”

Sekarang dia menyebutkannya, itu benar. Meskipun kami bertemu lagi di Maze Floor, dan hampir sepanjang waktu bersama, selalu ada orang lain di sekitar kami. Waktu yang kami habiskan sendirian lebih jarang dari sebelumnya.

Selagi aku memikirkan hal ini, sepertinya matahari sedang terbenam, menyinari tempat itu dengan cahaya jingga.

Aku mendapati diriku sedikit terpikat oleh senyuman Ramis sambil terus mengayunkan kakinya dengan latar belakang langit malam.

Aku selalu menganggapnya lucu, tapi dia terlihat paling baik saat dia tersenyum.

Jika aku berdiri di sini sebagai manusia, pemandangannya mungkin akan sangat indah. Namun, seorang gadis yang tersenyum ke arah mesin penjual otomatis mungkin akan terlihat aneh bagaimanapun caranya.

“Sepertinya aku akan dimarahi karena mengatakan hal seperti ini, tapi saat aku bersamamu, Hakkon, aku merasa bisa melakukan apa saja.”

Aku juga merasakan hal yang sama. Sepertinya aku bisa melakukan apa saja dengan Ramis.

Kalau saja aku bisa menanggapi perkataannya dengan sesuatu yang sok dan dramatis, momen itu akan menjadi sempurna. Namun, aku hanyalah mesin penjual otomatis dengan kosakata dan jumlah suku kata yang terbatas.

"Ya terima kasih"

“Aneh sekali mengucapkan terima kasih untuk itu, Hakkon.”

Seringainya begitu lebar hingga matanya menyipit.

Suasana pahit apa ini… apakah ini yang mereka sebut sebagai suasana yang baik? Meskipun aku hanya mesin penjual otomatis?

Hm? Ramis berjalan ke arah sini? Um, apa, apa ini? Apakah ini awal dari komedi romantis keterlaluan antara benda mati dan seorang gadis?!

“Dadaaaaaa!!”

Sebuah power arm ditembakkan dan kekuatan pukulannya begitu kuat sehingga menyebabkan angin menyebar ke mana-mana. Suara sesuatu yang hancur berkeping-keping terdengar.

Tadi aku terlalu bingung untuk berjaga-jaga, tapi sepertinya ada monster yang naik ke menara pengintai? Ugh, aku hanya mesin penjual otomatis. Bagaimana bisa- kesalahpahaman seperti ini terlalu memalukan.

“Huh, sayang sekali kita berjaga-jaga.”

Kamu mengatakan sesuatu yang dapat disalahartikan lagi! Ugh, mungkin hanya aku yang terlalu sensitif.

Aku harus menjalankan tugas jaga dengan serius.


PREVIOUS CHAPTER     ToC     NEXT CHAPTER


TL: Hantu 
EDITOR: Zatfley

Jidouhanbaiki ni Umarekawatta Ore wa Meikyuu ni Samayou Web Novel Bahasa Indonesia : Chapter 133 - Dark Forest Floor

Chapter 133 - Dark Forest Floor




Begitu lampu merah menghilang, aku mendapati diri aku sedang memandangi ruangan yang gelap dan suram.

Itu diterangi oleh semacam cahaya ajaib yang memancarkan cahaya redup. Cukup bagi aku untuk melihat bahwa ruangan itu dibangun dari sekumpulan kayu yang diikat menjadi satu. Aku belum pernah melihat ruang teleportasi ini sebelumnya, jadi itu pasti milik lantai yang belum pernah aku kunjungi.

Kurasa kami telah dikirim ke tempat yang sama sekali berbeda. Lagi.

Meski begitu, Ramis dan Hyurumi masih bersamaku. Mengaktifkan <Barrier> adalah keputusan yang tepat. Setidaknya kami bertiga telah dikirim ke tempat yang sama.

“Ramis, Hakkon… begitu, kita masih bersama… tapi kenapa?”

Hyurumi sedang berlutut di tanah, mengamati lingkaran teleportasi yang masih tampak kemerahan. Dari tangan terkepal dan gigi terkatup, kerusakan seperti ini pasti merupakan pukulan bagi kepercayaan dirinya.

“Apa yang terjadi?! Jelas tidak ada yang salah dengan lingkaran teleportasi. Setiap orang seharusnya diteleportasi ke Clearflow Lake Floor. Apa yang terjadi?!”

“Hyurumi, aku mungkin salah tapi, saat lingkaran teleportasi diaktifkan, sepertinya aku melihat lampu merah datang dari atas kepala Hakkon…”

Ramis telah menatapku selama beberapa waktu sekarang. Rupanya, dia sedang melihat ke atas kepalaku.

Hyurumi mendorong dirinya untuk berdiri dan bergegas ke sisiku untuk naik ke atasku, bertekad untuk menemukan penyebab masalah ini.

“Begitu, jadi itulah yang terjadi… Mereka tidak marah dengan lingkaran teleportasi… mereka malah menanamkan mantra pada Hakkon.”

Aku baik-baik saja jika Hyurumi duduk bersila di atas kepalaku, tapi aku akan menghargai penjelasan yang lebih detail.

“Hyurumi, apa yang kamu bicarakan?”

"Oh maaf. Ada lingkaran sihir di Hakkon. Biasanya tidak terlihat, tapi pasti diaktifkan sebagai respons terhadap lingkaran teleportasi. Aku akan menghapusnya untuk saat ini.”

Aku bisa merasakan Hyurumi melakukan sesuatu di atas sana dengan jarinya, aku serahkan segalanya pada tangannya yang cakap.

Tetap saja, aku tidak pernah menyangka kalau sumber masalah kami sebenarnya datang dariku, atau tepatnya, lingkaran sihir di kepalaku. Tapi, bagaimana lingkaran sihir itu bisa sampai di sana? Apakah itu terjadi ketika aku sedang tidur? Hanya beberapa hari sejak Leader Keyroil mengkhianati kami, apakah aku tidak sengaja tertidur selama waktu itu?”

“Kemungkinan besar itu dilakukan dengan menggunakan kertas khusus atau alat sihir dengan mantra yang tertanam di dalamnya. Jika seseorang dengan sihir luar biasa seperti Ruler of Netherworld merapalkan mantra itu, perpindahannya dapat dilakukan melalui sentuhan saja.”

Melalui sentuhan saja? Yah, satu-satunya saat seseorang menyentuh bagian atas kepalaku adalah… ah!

Saat itu ketika kami gagal menangkap Leader dan <Barrier> milikku dihancurkan, Leader Keyroil sempat menyentuh bagian atas kepalaku saat dia melarikan diri. Aku benar-benar lupa tentang momen itu. Skema yang dijalankan dengan sempurna. Dia adalah musuh yang cukup merepotkan.

“Yah, setidaknya sekarang kita dapat yakin bahwa tidak akan ada lagi gangguan aneh pada lingkaran teleportasi. Kita semua dapat menggunakan lingkaran teleportasi secara normal. Namun, sepertinya lingkaran sihir di kepala Hakkon juga menyedot semua sihir dari lingkaran teleportasi yang kita datangi. Itu sebabnya seseorang di Maze Floor berhenti bekerja ketika kami tiba.”

Jadi itu sebabnya kami membutuhkan batu ajaib besar untuk meningkatkannya. Kurasa kita juga tidak bisa menggunakan lingkaran teleportasi di lantai ini?

“Karena aku segera menonaktifkan lingkaran sihir yang mengganggu, kekuatannya belum terkuras secara signifikan. Namun, masih perlu beberapa hari sebelum ada kekuatan yang cukup bagi kita untuk mencoba dan berteleportasi keluar dari sini.”

“Kalau begitu, itu akan berjalan baik bagi kita, kan? Karena kita juga harus menyelesaikan masalah di lantai ini,” Ramis bertepuk tangan dengan semangat seperti biasanya.

Ketegangan di udara mereda. Benar sekali, kita mempunyai tugas yang harus diselesaikan, jadi mari kita mulai dengan pola pikir yang baik.

"Benar. Tapi pertama-tama, mari kita cari tahu di lantai mana kita berada.”

Ramis mengangkatku ke punggungnya dan mendekati pintu bersama Hyurumi. Seperti ruangan lainnya, pintunya juga seluruhnya terbuat dari kayu. Aku bertanya-tanya apakah lantai ini adalah salah satu lantai yang kaya akan alam.

Hyurumi meraih pegangannya dan perlahan membuka pintu.

Melalui celah pintu ada dinding yang terbuat dari kayu gelondongan yang ditancapkan ke tanah dan dipaku dengan papan. Di balik itu ada hutan dengan pepohonan lebat. Sinar matahari sangat redup di sini sehingga pepohonan seolah-olah menyerap cahaya, menenggelamkan seluruh hutan ke dalam kegelapan.

“Ini Lantai Ketujuh.”

“Um, itu Dark Forest Floor, kan?”

"Itu benar. Kudengar tempat ini cukup berbahaya karena banyak monster nabati yang menghuni tempat ini.”

Sepertinya tingkat bahaya meningkat semakin dalam kita turun ke lantai. Bagaimanapun, sepertinya lantai ini jauh lebih berbahaya daripada lantai keempat di Clearflow Lake Floor.

“Dindingnya tampak utuh dan setidaknya tidak rusak. Mungkin desanya belum hancur?”

“Kita tidak dapat mengetahui apa pun dari sini, kita harus pergi dan menyelidikinya sendiri.”

"Itu benar. Hakkon, tolong lindungi kami.”

“Serahkan padaku”

Mereka dengan lembut membuka pintu dan melangkah keluar bersama.

Di dalam dinding yang terbuat dari kayu terdapat kabin kayu dan bangunan kayu lainnya. Namun, tidak ada orang yang terlihat.

Meski begitu, meski kami berada di dalam pemukiman, cukup banyak pohon yang tumbuh dimana-mana. Ada pepohonan yang menyembul di tengah jalan dan tepat di depan pintu masuk. Sejujurnya, aku tidak bisa melihat mereka sebagai gangguan.

“Pohon-pohon ini tampak aneh. Tentunya hanya orang idiot yang menanam pohon di tengah jalan?”

“Memang benar itu mengganggu. Mereka bahkan memiliki pohon-pohon besar dan kecil yang tumbuh bersama.”

Sebagian besar pohon lebih pendek dari aku dan bentuknya sangat aneh. Pangkal batangnya terbelah menjadi dua dengan dua cabang tebal tumbuh di sisinya, seperti…

“Hei, bukankah menurutmu pohon-pohon ini… tampak seperti manusia?”

Baik Ramis maupun aku tidak bisa berkata apa-apa.

Kami semua memikirkan hal yang sama. Selain itu, jika kita perhatikan lebih dekat, satu pohon besar dengan pohon-pohon kecil di sekitarnya tampak seperti… orang tua dan sekelompok anak-anak yang melarikan diri sambil berpegangan tangan.

“Kudengar ada monster di lantai ini yang bisa mengubah manusia menjadi pohon. Orang dewasa dan Hunter yang kuat hanya akan terkena dampak minimal, paling banyak mereka akan mengalami sedikit mati rasa. Namun, perempuan, anak-anak, dan orang tua berada dalam bahaya yang lebih besar.”

Jadi itu sebabnya sebagian besar pohonnya sangat pendek. Semakin aku melihatnya, semakin mirip mereka dengan manusia. Garis-garis dan cekungan pada kulit kayu kini tampak seperti wajah-wajah terdistorsi yang dipenuhi rasa takut, sehingga sulit untuk melihatnya secara langsung.

Biasanya, pemukiman sunyi yang dihuni oleh pepohonan yang menyerupai manusia akan cukup menakutkan. Namun, dengan Ramis yang menggendongku dan Hyurumi yang menaiki kepalaku, rasanya tidak terlalu menakutkan.

Kalau dipikir-pikir, jika monster hanya bisa mengubah individu tertentu menjadi pohon, apa yang terjadi pada manusia dan Hunter?

Jika informasi Hyurumi benar, mereka pasti masih ada.

“Kita harus mencari yang selamat. Jangan lengah, Ramis, Hakkon.”

Ramis mengangguk dalam diam dan mereka dengan hati-hati maju melewati desa.

Selain pepohonan yang tersebar dan ditempatkan secara aneh, kerusakan bangunan sangat minim. Bukti perkelahian? Apapun itu, kekerasannya tidak cukup untuk membuat satu bangunan pun menjadi puing-puing.

Kami sampai di suatu tempat yang terlihat seperti jalan utama dan suara pertempuran sengit terdengar dari kejauhan. Suara orang-orang berteriak dan benturan kayu dengan kayu bergema di udara.

“Sepertinya ada seseorang di sini! Aku akan berlari sekuat tenaga, jadi tunggulah Hakkon, Hyurumi!”

“B-baiklah!”

Dulu ada tali yang lebih baik di tubuhku yang bisa digunakan Hyurumi ketika dia harus menempelkan tubuhnya ke tubuhku. Namun, sekarang setelah hal itu hilang, aku bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Hyurumi. Aku masih bertanya-tanya ketika aku mendengar dia berebut di atasku dan melihat tangannya ditampar ke samping saat dia meratakan dirinya agar menempel lebih erat padaku.

Kalau ini Ramis, dadanya yang besar pasti akan menempel padaku, memberiku pemandangan indah untuk dilihat bahkan tanpa sensasi disentuh. Namun, dengan Hyurumi, aku tidak tahu apakah dadanya diremas atau tidak.

“Apakah kamu baru saja mempunyai pemikiran yang tidak pantas, Hakkon?”

Aku bisa merasakan matanya yang marah menatapku. Ah, mari kita coba berpura-pura tidak memperhatikan apa pun.

Ramis berlari dengan kecepatan penuh dengan Hyurumi menempel erat agar dia tidak terguncang. Kami meninggalkan jejak debu saat kami berlari melewati jalan utama, berbelok di tikungan dan melihat gerbang.

Gerbangnya sedikit terbuka dan monster menyerang dari sana.

Pohon-pohon raksasa dengan akar-akarnya yang terpelintir menjadi sesuatu seperti kaki, benda-benda seperti wortel dengan anggota badan yang panjang, dan bunga-bunga raksasa dengan tanaman merambat yang melambai-lambai seperti tentakel.

Sepertinya para Hunter dan penghuni lantai ini berjuang mati-matian melawan monster tumbuhan ini.

Jumlahnya sekitar 30 orang, sebagian besar bersenjatakan kapak. Aku kira kapak akan menjadi senjata terbaik melawan makhluk mirip tumbuhan selain api.

Monster kecil seperti wortel bergerak cepat dalam huru-hara, bermain-main dengan para Hunter dan memuntahkan semacam jus dari tubuh mereka ke wajah lawan. Apakah mereka mencoba membutakan mereka?

Kapak terlalu berat untuk melawan lawan yang lincah, jadi untuk sesaat, pihak rakyat tertahan. Kemudian, anak panah datang dari suatu tempat dan menjepit makhluk mirip wortel itu ke tanah.

“Aku akan mengurus Monster Lobak!”

Suara lucu dan bernada tinggi bergema dengan jelas melalui huru-hara. Bahkan tanpa konfirmasi visual, aku sudah langsung tahu siapa orang itu.

Aku mengalihkan pamdanganku, mengikuti lintasan anak panah dan melihat Shui berdiri di atap salah satu rumah. Dia menembakkan panah demi panah, menembaki Monster Lobak dengan presisi luar biasa.

“Tolong menjauhlah dari Evil Flower. Jika kamu mencium baunya, itu bisa menyebabkan halusinasi!”

Pria yang menghimbau para Hunter untuk berhati-hati juga sangat familiar, terutama bola besi berduri. Namun, aku tidak dapat menghitung siapa dia saat ini karena ekspresi bermartabat di wajahnya.

“Jika ada di antara Kamu yang kebetulan terkena sari tanaman, tolong serahkan. Mereka mungkin mengandung zat yang berbahaya bagi tubuh Kamu.”

Jika mulutmu tidak seperti itu, tindakanmu akan sempurna, Hevoy.

Haruskah aku memuji dia atas dedikasinya terhadap sepatu bahkan dalam keadaan seperti itu?

Tetap saja, aku senang melihat kalian berdua selamat.

“Ayo bergabung dengan mereka!”

Biarkan aku turun dulu!

Hyurumi buru-buru turun saat Ramis menyerang ke depan dan menghancurkan salah satu pohon yang bergerak dengan tinjunya.

“Ya ampun, ini Ramis. Terima kasih atas bantuannya.”

“Ah, hai, Ramis! Dan Hakkoooooon!! Aku sudah menunggu dan menunggumuuuu!!!”

Respons Hevoy tenang sementara Shui berteriak dari atap.

Aku yakin dia mungkin lebih senang melihat barang daganganku. Selain sapaan hangatnya, air liur yang menetes dari sudut mulutnya dan matanya yang terlalu cerah cukup menjelaskan. Untuk saat ini, mari fokus pada pertempuran.

“Simpan penjelasannya untuk nanti, ayo kalahkan monster-monster ini sekarang!”

“Ya, akan sangat membantu kami jika Kamu dapat menebang Elder Tree, mereka adalah pohon raksasa di sana. Semuanya, wanita dengan magic tool di punggungnya ini adalah sekutu kita.”

“Oooh, begitu! Terima kasih untuk bantuannya!"

“Hei, apakah itu magic tool bernama Hakkon yang selalu dibicarakan oleh Shui?”

Sepertinya berita tentangku telah menyebar ke para Hunter di lantai ini.

Baiklah, ayo segera atasi situasi saat ini agar aku dapat memenuhi peranku yang sebenarnya sebagai mesin penjual otomatis.

Dengan bergabungnya Ramis dalam pertempuran, pohon-pohon raksasa yang lambat namun kokoh dengan mudah dihancurkan, dan gelombang pertempuran dengan cepat menguntungkan para Hunter.

Setelah semua monster berhasil diusir, Ramis menggunakan kekuatannya yang luar biasa untuk mendorong gerbang yang telah terjerat oleh banyak tanaman merambat dan akar hingga tidak dapat dengan mudah dipindahkan dan akhirnya menutup gerbang tersebut.

Para Hunter yang masih hidup bersorak dan menjatuhkan diri ke tanah, kelelahan. Namun, ada seorang Hunter yang dengan cepat berlari melewati kelompok itu ke arahku.

Baiklah, haruskah aku menyiapkan makanan dan minuman sebelum mereka menyantapku?




TL: Hantu 
EDITOR: Zatfley