Kamis, 29 Februari 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 1: Kehidupan Baru

Volume 01

Chapter 1: Kehidupan Baru



... Panas sekali. Aduh sakit sekali. Aku benci semua iniiii.....

Suara seorang anak kecil melintas di benak kepalaku, dia merasa sangat kesakitan dan perih.

Oke, memangnya kau mau aku melakukan apa agar rasa sakitnya hilang? 

Aku tidak tahu harus berbuat apa, namun suara dia semakin mengecil.
Ketika aku sudah tidak bisa mendengar suara anak itu, terjadi letusan dari gelembung melingkar yang menyelimutiku, aku merasa kesadaranku mulai kembali.
Disaat yang bersamaan, aku merasakan panas dari demam dan rasa sakit yang menjulur ke semua bagian tubuhku, rasa seperti aku terkena influenza. Aku mengangguk dan setuju dengan pendapat anak tadi, Ini memang rasanya panas dan perih sekali. Aku benci ini juga.
Namun, anak tadi tidak membalas perkataanku.

Aku merasa sangat panas. Aku mencoba bergeser di sekitar kasur untuk mencari bagian kasur yang masih dingin. Mungkin akibat demam ini, aku tidak bisa menggerakkan tubuhku sesuai keinginanku. Tapi tetap mencoba untuk bergeser, lalu disaat aku mencoba itu, ada suara seperti kertas dan jerami yang saling bergesek di bawahku.

“... Suara apa itu tadi?”

Tenggorokanku pasti serak sebab demam, tapi suara yang muncul dari mulutku terdengar layaknya anak-anak dengan nada suara yang tinggi. Sudah jelas ini bukan suaraku, tetapi ini terdengar seperti suara anak kecil tadi yang barusan aku dengar.
Aku membuka kelopak mataku yang terasa berat ini perlahan-lahan, sebenarnya aku ingin tetap tidur sebab demam ini membuat tubuhku terasa sangat lesu, tapi aku tidak bisa diam dengan kasur yang kugunakan ini tidak seperti biasanya dan suara yang muncul dari diriku bukanlah suara asliku.
Demam yang kualami pasti sangat parah, sebab mataku penuh dengan air dan pandanganku tidak bisa fokus. Untung saja, berkat air mata yang terus bergenang ini menjadi pengganti lensa dari kacamata yang perlu aku gunakan, aku bisa melihat lebih jauh dari biasanya.

“Apa?”

Anehnya, aku melihat tangan kecil dari tubuh seorang anak kecil yang sedang sakit dalam keadaan berbaring. Aneh sekali. Tanganku seharusnya terlihat lebih besar dari tangannya. Aku memiliki tangan berukuran orang dewasa, bukan tangan anak kecil dan kekurangan gizi.
Aku bisa menggerakkan tangan anak kecil itu layaknya ini tanganku, aku mengepalkan kemudian membukanya kembali. Tubuh yang bisa aku gerakan sesuai keinginanku bukanlah tubuh asliku. Angin kejutan dari kejadian aneh ini membuat mulutku kering.

“... Ada, apa ini?”

Aku pastikan sedikit air mata yang mengalir dari mataku, aku melirik ke sekitar dalam keadaan kepala tetap diam. Tidak perlu waktu lama-lama untuk menyadari aku tidak berada di kamarku. Kasur di bawah yang kugunakan sangat keras dan kekurangan busa, ini terbuat dari semacam gumpalan benda kasar dan keras. Selimut yang dilebarkan di atasku memiliki bau yang aneh, dan sekujur tubuhku terasa gatal seperti ada serangga atau kutu kasur yang hinggap pada tubuhku.

“Tunggu, dulu... Aku ada dimana?”

Terakhir kali aku ingat sedang dihantam oleh runtuhan banyak buku, sepertinya aku tidak dapat diselamatkan tepat waktu atau sebelum menghembuskan nafas terakhir. Apabila berhasil, aku sangat yakin tidak ada rumah sakit di Jepang yang menyediakan pelayanan kasur kotor seperti ini pada pasiennya. Apa yang sebenarnya terjadi?

“Aku... pasti sudah mati, iya, kan?”

Semua fakta mengatakan iya. Aku mati dalam keadaan dihantam oleh banyak buku. Gempa bumi yang terjadi kurang lebih sekitar tiga atau empat skala Richter. Gempa sebesar itu tidak akan membuat orang mati. Itu berati, kematianku pasti akan menjadi sebuah berita, yang dikemas, “Menjelang kelulusannya, seorang mahasiswi ditemukan tewas sebab tertimpa tumpukan buku di rumahnya,” oleh media.

... Memalukan sekali! Aku mati dua kali di hari itu, mati secara fisik dan juga sosial. Aku merasa sangat malu sampai ingin berguling-guling di kasur, tapi khawatir rasa sakit dan pusing dikepala bertambah, jadi aku putuskan untuk menepakkan kedua tanganku pada wajahku.

“Yah, aku memang pernah bercanda mengenai ini. Aku memang memikirkan kejadian ini, bila aku dihadapkan dengan kematian, maka aku memilih mati ditimpa banyak buku. Justru, aku lebih memilih ini terjadi daripada mati perlahan di atas kasur rumah sakit.”

Tapi semua ini seharusnya tidak terjadi. Aku ingin mati dalam keadaan senang, hidupku berakhir dengan ditemani banyak buku. Jujur saja, aku tidak mengira gempa terjadi dan buku di atasku jatuh menimpaku sampai mati.

“Ini terlalu kejam. Aku baru saja diterima kerja. Oooh, aku rindu perpustakaan kampus....”

Sekarang ini sedang marak tingginya tingkat pengangguran, dalam masa itu aku berhasil mendapatkan pekerjaan di perpustakaan kampus. Dimulai dari nekat dan tekad kuat untuk memenuhi hidup bahagiaku, yaitu hidup dikeliling banyak buku, aku berhasil menuntaskan ujian dan wawancara yang diperlukan agar bisa diterima. Pekerjaan mengurusi buku akan mengambil banyak waktu kerja dibanding pekerjaan lainnya, perpustakaan yang aku lamar juga memiliki banyak buku dan dokumen lama.

Ibu aku, yang selama ini mengkhawatirkan masa depanku nanti, mulai menangis begitu dia mendengar berita diterimanya aku di sana. “Kamu hebat sekali. Urano, akhirnya kamu menemukan tempat kerja yang sesuai dengan mintamu, bagus. Ibu bangga sekali padamu,” katanya, dalam keadaan air mata yang menetes. Sehari setelah itu, aku terkena bencana dan mati?

Aku terbawa dalam arus pemikiran yang menunjukkan isak tangis ibu aku setelah tahu anaknya mati karena hal itu. Beliau, adalah sosok ibu yang tak akan pernah aku temui lagi, pasti marah juga padaku. Aku bisa yakin dia pasti akan mengeluh keras, “Sudah berapa kali Ibu bilang padamu, kamu harus mengurangi sedikit jumlah buku yang kamu simpan?!”

“Maafkan aku, Ibu...” dengan susah payah aku angkat tanganku yang terasa berat untuk mengusap air mataku.

Dengan usaha keras, aku perlahan-lahan mengangkat kepalaku dan menggerakkan tubuhku yang panas ini agar bisa duduk dan melihat-lihat isi kamar ini, aku ingin tahu keadaan kamar ini sebaik  mungkin, aku abaikan perasaan rambutku yang menempel di leher yang berkeringat. Dalam kamar ini ada sedikit keranjang untuk menyimpan barang dan dua meja, dan ada satu kasur lagi, yang masing-masing dipasangkan seprai kotor. Sayangnya, aku tidak melihat adanya lemari buku.

“Aku tidak melihat ada buku... Mungkin ini hanyalah mimpi buruk? 

Mati dalam mimpi buruk? Jika ada satu dewa yang mengabulkan keinginanku dan mereinkarnasikan diriku, harusnya ada buku yang dekat denganku sekarang ini. Keinginanku adalah untuk tetap bisa membaca buku jika aku dilahirkan kembali. Aku melanjutkan berpikir dalam keadaan tubuh panas dan kepala pusing, lalu aku melihat ke atas dan menemukan sarang laba-laba yang tergantung di langit-langit kamar yang hitam karena endapan dari asap jelaga.

Lalu, tak lama kemudian, pintu kamar terbuka dan seorang wanita datang masuk. Mungkin dia masuk karena mendengar gerakanku duduk, atau karena mendengar aku bicara pada diriku sendiri. Ya, mau apapun alasannya, dia ini wanita yang cantik memakai kain segitiga diikat menutupi rambutnya, dia ini terlihat berumur dua puluh tahun ke atas. Wajahnya cukup cantik, tapi sayangnya kotor. Saking kotornya sampai aku kira dia ini orang terlantar yang aku melihat ada di jalanan.

Aku tidak tahu siapa wanita ini, tapi dia seharusnya membersihkan wajahnya dan memastikan dirinya tampil bersih. Dia membuat sia-sia kecantikan yang dia miliki.

“Myne, %&$#+@*+#%?”
“Ahaaaa!”

Momen saat aku mendengar ucapan aneh dari wanita itu, luapan mental dan ingatan yang aku seperti pernah kualami, namun itu bukan milikiku, ingatan-ingatan itu masuk ke dalam pikiranku. Dalam hitungan detik, semua ingatan dari tahun ke tahun milik gadis bernama Myne memasuki data ingatanku dan memenuhi otaku, itu membuatku secara refleks memegangi kepalaku seperti ketakutan.

“Myne, kamu baik-baik saja?”

Bukan, aku bukan Myne! Aku ingin menentang itu, tapi tidak bisa. Aku terbebani oleh perasaan aneh yang aku alami, kamar kotor dan dua tangan yang lemah ini, terasa begitu familier bagiku. Aku terdiam terkejut karena ucapan aneh yang sebelumnya tidak aku mengerti jadi aku pahami sepenuhnya.

Luapan informasi ini membuatku panik, semua yang aku ketahui atas terjadinya ini adalah, satu fakta pasti: Kamu bukan Urano lagi. Sekarang kamu adalah Myne.

“Myne? Myne?” 

Wanita itu memanggilku berkali-kail, dengan nada khawatir, tapi bagiku dia ini adalah orang asing. Mungkin, seharusnya begitu tadi, tapi aku tidak tahu, entah kenapa aku merasa kenal dia. Bukan itu saja, aku merasa menyayanginya.

Perasaan sayang ini aneh dan tidak aku ketahui. Tapi rasa ini bukan milikku. Aku masih belum bisa terima untuk menerima sepenuhnya bahwa ternyata wanita yang ada di hadapanku ini adalah ibuku. Dalam perasaanku menolak rasa sayang ini berlangsung, wanita itu terus memanggil namaku. Myne.

“... Ibu.”

Ketika aku melihat ke atas pada wanita asing yang belum pernah aku temui sebelumnya dan aku berhenti hidup sebagai Urano dan berubah menjadi Myne di saat aku memanggilnya “Ibu”.


“Kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu masih pusing kepala ya.”

Aku secara alami tidak mau bersandar pada ibuku, dia bukan ibu, karena ibu yang aku kenal ada dalam ingatanku, aku bersandar ke belakang dan jatuh ke kasur bau untuk menjauhkan diri dari raihan tangannya. Aku lalu tutup mata sepenuhnya untuk menghitamkan segala yang aku lihat.

“... Kepalaku masih pusing. Aku mau tidur.”
“Baik. Istirahat yang baik, sayang.”

Aku menunggu Ibu keluar kamar sambil berpikir sebisa mungkin untuk memahami situasi sekarang. Kepalaku pusing sekali karena demam ini, selain itu aku tidak bisa tidur dengan tenang karena rasa panik yang aku alami sekarang.

Aku tidak tahu kenapa semuanya malah jadi seperti ini. Tapi lebih penting berpikir gerakan selanjutnya, dari pada terjebak dalam masa lalu. Mengetahui mengapa ini terjadi tidak mengubah fakta bahwa aku harus berbuat sesuatu.

Jika aku tidak memakai ingatan Myne untuk mengerti situasiku sekarang ini, maka keluargaku akan curiga. Aku mulai perlahan mencerna segala ingatan yang dimiliki Myne. Aku berusaha sebisa mungkin untuk mengingat semuanya, tapi ingatan yang dia miliki hanya sebatas sampai gadis kecil yang tidak mengerti banyak kosa kata. Dia tidak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan Ibu dan Ayah, jadi tidak banyak yang dia ketahui. Kosakata yang aku tahu sangat sedikit, lebih dari setengah ingatan ini tidak berguna.

“Aduh, bagaimana ini...?”

Dari ingatan visual miliknya, aku yakin pada sejumlah hal: Satu, keluargaku terdiri dari empat anggota jiwa: Ibu, Effa; kakak perempuan, Tuuli; dan ayah, Gunther. Rupanya ayah kerja jadi tentara atau sejenisnya.

Yang paling mengejutkan adalah, dunia ini bukan dunia yang aku kenal. Ingatanku soal ibu yang selalu memakai kain bandana, dia ternyata punya rambut berwarna hijau muda, warnanya seperti warna giok terbaik. Warnanya itu tidak seperti diwarnai hijau. Dia memang punya warna rambut hijau. Warna hijau itu begitu nyata sampai-sampai aku ingin menariknya untuk memastikan dia tidak pakai wig.

Untuk keluargaku yang lain, Tuuli punya warna rambut hijau dan ayah berambut biru. Sedangkan aku punya rambut warna biru tua. Aku tidak tahu aku harus senang karena warna rambutku masih mendekati hitam yang aku miliki sebelumnya atau sedih karena tidak berwarna hitam.

Rupanya tidak ada kaca cermin dalam bangunan ini, tempat ini semacam apartemen, rumah kami berada di lantai atas. Jadi mau sedalam apapun aku cari di ingatanku, aku tidak tahu penampilan aku selain yang bisa aku lihat tanpa cermin. Jika aku tebak dari apa yang aku lihat dari kedua orang tuaku dan Tuuli, aku bisa bilang tampilanku tidak termasuk buruk. Tapi ya, penampilanku bukan masalah selama aku bisa membaca buku, jadi aku tidak begitu peduli soal itu. Penampilanku waktu dulu sebagai Urano tidak begitu luar biasa. Jadi aku bisa hidup tanpa harus menjadi wanita cantik.

“Haaah. Sumpah, ingin sekali aku baca buku. Aku merasa akan hilang penyakit demam ini begitu aku pegang buku.”

Aku bisa hidup di mana saja selama aku punya buku. Aku pastikan bisa bertahan. Jadi aku mohon. Banyak buku. Biarkan aku punya buku. Aku menempatkan jari di dagu dan mulai mencari buku dalam ingatanku. Hmm. Aku penasaran, di manakah semua buku-buku mereka sembunyikan.

“Myne, kamu bangun?” Seperti sengaja mengganggu jalan pikirku, seorang gadis kecil yang terlihat berumur tujuh tahun masuk ke dalam kamar.

Dia adalah Tuuli, kakakku. Rambut hijaunya, diikat kepang namun tidak begitu rapi, rambutnya terlihat kering jadi aku bisa bilang dia tidak keramas rambutnya. Sama halnya dengan Ibu, aku harap dia juga mencuci wajahnya. Dia juga membuang tampilan cantiknya.

Mungkin karena tempat lahirku di Jepang, aku jadi punya pikiran itu, karena di negara itu aku mendapati kebersihan yang melekat bahkan sering dijadikan contoh oleh negara lain. Tapi bukan itu yang aku pedulikan. Karena ada hal penting lain yang perlu aku utamakan di dunia ini. Dan sekarang lah, hal penting itu yang aku perjuangkan.

“Tuuli, boleh aku minta kamu bawakan aku (buku)?”

Kakakku sudah masuk usia yang cukup untuk membaca buku, jadi aku yakin sekali pastinya ada satu lusin buku bergambar yang ada di sekitar kami. Aku masih bisa membaca buku meski aku sedang dalam keadaan sakit dan harus berbaring di kasur. Sudah menjadi sebuah keajaiban bisa terlahir kembali seperti ini, karena aku lebih memperhatikan banyak buku yang bisa aku baca dari dunia ini. 

Namun tak ada keberuntungan, Tuuli hanya melihatku dengan wajah bingung padahal aku sudah tersenyum manis padanya.

“Huh? Apa itu (buku)?”
“Kamu tidak tahu....? Ummm, buku itu berisi (kata-kata) dan kalimat yang (dituliskan). Ada juga yang berisi (ilustrasi).”
“Myne, kamu bilang apa tadi? Bisa kamu ucapkan dengan baik?”
“Sudah aku bilang, (buku)! Aku ingin (buku bergambar).”
“Iya, itu benda apa? Aku tidak mengerti apa yang kamu ucapkan.” Ternyata, kata yang aku sebut tadi tidak ada dalam ingatan Myne, jadi terlontarkan dalam bahasa Jepang, karena itulah kenapa Tuuli menggeleng-gelengkan kepalanya kebingungan, tak peduli mau sejelas apa aku beritahu dia.

“Aaah, hadeh! (Kerja kek, penerjemah otomatis!)”
“Apa yang membuatmu marah, Myne?”
“Aku tidak marah. Aku hanya merasa pusing.”

Rupanya tugas pertamaku adalah untuk memperhatikan semua yang dikatakan orang-orang dan mempelajari kata bahasa dunia ini sebanyak mungkin. Dibantu otak muda Myne dan akal dan ilmu yang aku dapatkan saat berkuliah, mempelajari bahasa ini sudah pasti mudah. Aku harap... mudah.

Sewaktu dulu aku masih jadi Urano, aku belajar keras agar bisa memahami bahasa asing dengan memegangi buku kamusnya. Jika aku anggap belajar bahasa dunia ini berarti membaca buku dunia ini, maka aku tidak keberatan dengan usaha yang harus kulakukan. Kecintaan dan gairahku membaca buku sangatlah besar, sampai menjauhkan aku dari orang-orang.

“.... Kamu kesel karena kamu masih sakit demam?”

Tuuli meletakan tangannya yang kotor di dahiku, dia sepertinya berusaha mengukur panas demamku. Aku secara langsung memegang tangannya.

“Aku masih sakit, nanti kamu bisa tertular.”
“Iya, betul. Aku akan berhati-hati.”

Syukurlah. Dengan bertingkah memperhatikan kesehatannya, aku bisa menghindar dari hal yang tidak aku suka. Aku berhasil selamat dari tangan kotor Tuuli memakai metode terkini yang sering digunakan orang dewasa. Dia bukan kakak yang jahat, tapi aku tak mau dia menyentuhku sebelum dia bersih-bersih diri.  Itulah yang aku pikirkan, sebelum akhirnya aku lihat ke bawa dan mengeluh pada diriku sendiri karena tanganku yang kotor.

“Haaah. Aku ingin (mandi). Kepalaku gatal sekali.”

Di momen aku berguam itu, ingatan Myne memberitahuku berita yang tidak menguntungkan: Jumlah air yang bisa aku dapatkan untuk mandi hanya satu ember, dan aku hanya bisa merendam kepalaku di ember itu, sedangkan untuk badan, pakai kain basah untuk membersihkan badan.

Tidaaak! Itu bukan mandi. Dan, tidak ada tempat buang air?! Hanya sebatas buang di kendi?! Yang benar saja. Kepada dewa-dewi yang membawakan aku kemari... aku ingin hidup di tempat yang modern dan akses yang mudah dijangkau.

Lingkungan aku tinggal sangat buruk, jujur saja ini membuatku ingin menangis. Sewaktu jadi Urano, aku hidup di keluarga yang biasa-biasa saja. Aku tidak pernah sama sekali mendapati masalah kekurangan makan, pakaian, kamar mandi yang layak atau sulit mendapatkan buku. Kehidupan baru ini, punya kualitas hidup yang benar-benar turun jauh sekali.

Aku... rindu Jepang. Di sana penuh sekali dengan hal-hal luar biasa yang aku ingin terjadi. Kain seprei lembut, kasur yang nyaman, buku, buku, buku... tapi mau sebanyak apapun aku mengingat itu semua, aku tidak punya pilihan lain selain menjalani hidup di dunia baru ini. Menangisi nasib tidak akan membawaku kemana-mana. Aku harus ajari keluargaku pentingnya menjaga kebersihan.

Dari yang bisa aku ceritakan dalam ingatanku, Myne adalah gadis lemah yang sering sekali kena demam dan menghabiskan harinya di kasur, berbaring karena sakit. Banyak sekali ingatan yang dia rasakan di sekitar kasur ini. Jika aku tidak memperbaiki lingkungan aku hidup sekarang, aku mungkin akan mati tak lama setelah ini. Aku bisa mengira-ngira dari keadaan miskin dan sakit seperti ini, perawatan medis sebisa mungkin mereka hindari.

... Aku harus membersihkan kamar ini dan cari cara agar bisa mandi sesegera mungkin. Aku termasuk seorang pemalas, jadi sering kali aku menghindar dari tugas bantu bersih-bersih rumah, padahal sudah ada alat elektronik yang bisa aku pakai. Aku lebih memilih membaca buku daripada membantu ibuku bersih-bersih rumah. Apa aku bisa menjalani semua itu di sini?

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk mengeluarkan semua itu dari pemikiranku. Tidak, tidak semuanya. Seperti yang aku bilang tadi, sebuah keajaiban aku direinkarnasikan. Aku harus punya pemikiran ke yang lebih positif. Beruntungnya aku! Bisa baca buku-buku yang tidak pernah ada di bumi! ... Nah. Aku kembali bersemangat lagi.

Hal pertama, agar aku bisa baca buku tanpa ada masalah, aku harus menjaga kesehatan tubuhku. Aku perlahan menutup mata agar aku bisa beristirahat. Dalam keadaan kesadaranku menurun, satu ide memenuhi pemikiranku:

Aku tidak peduli jadinya. Sekarang ini, aku hanya ingin segera bisa membaca buku. Aaah, kepada dewa dewi yang mengirim saya ke sini, mohon berbelas kasihlah kepada saya dan tolong saya mohon kabulkanlah keinginan saya, saya mohon beri saya satu buku! Saya tahu yang saya minta berlebihan, tapi bolehkah saya juga meminta perpustakaan besar yang berisikan banyak buku.





TLBajatsu

0 komentar:

Posting Komentar