Kamis, 07 Maret 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 2: Berpetualang Dalam Rumah Baru

 Volume 01

Chapter 2: Berpetualang Dalam Rumah Baru



Tiga hari sudah berlalu sejak aku hidup sebagai Myne. Tiga hari itu sangat penuh kejadian. Aku berhasil selamat dari berbagai macam pertarungan brutal yang tak bisa aku ceritakan tanpa air mata.

Bermula dari usahaku untuk menyelinap turun dari kasur dan coba jalan-jalan dalam rumah untuk mencari buku, tapi aku gagal karena ketahuan oleh Ibu dan langsung segera dipaksa kembali ke atas kasur. Dia benar-benar marah padaku. Aku sudah berulang kali mencoba lepas dari kasur tapi selalu berakhir gagal. Setiap kali gagal dari semua percobaanku. Rintanganku semakin tinggi begitu Ibu mulai langsung bertindak memindahkanku ke kasur tepat di saat dia melihatku! Kecuali aku sedang di kamar mandi.

Pada akhirnya, aku tidak punya kesempatan untuk cari buku. Yang buruk bukan itu saja, meskipun kebebasan yang aku dapatkan hanya bisa pergi ke kamar mandi, itu masih jadi perjuangan sulit yang aku hadapi. Karena ‘kamar mandi’ yang ada di tempat ini hanyalah satu kendi yang di taruh di sisi pojok kamar.

Perkara itu semakin memburuk, karena Myne rupanya tidak bisa buang air sendiri sebelumnya, jadi aku terpaksa buang air sambil diperhatikan oleh satu anggota keluargaku. Mau sebanyak apapun aku berteriak “Aku bisa sendiri! Jangan bantu!”, tidak ada satu dari mereka yang bergerak mundur. Mereka malah marah padaku, dan mempertanyakan jika aku buang air sembarangan.

Aku terpaksa memakai kendi itu sambil menangis, dan percaya atau tidak, Tuuli memuji tindakanku. “Wow, Myne! Kamu mulai terbiasa mandiri. Nanti kamu pasti bisa buang air sendiri,” katanya. Aku bisa memahami ucapan selamat itu karena dia senang adiknya mulai tumbuh mandiri, tapi mulai dari harga diri, kehormatan, dan martabat aku sebagai manusia telah runtuh.

Masih soal itu, isi kendi yang dipakai untuk buang air tadi langsung di buang keluar jendela. Tidak aku sangka sekali.

Berganti baju juga jadi perjuangan keras. Aku berusaha ganti baju sendiri, tapi ayahku, yang tidak aku kenal dengan baik, ambil alih prosesnya dan menggantikan pakaianku. Rasanya malu sekali, aku sampai meneteskan air mata, karena yakin bisa ganti baju sendiri, tapi dia menilai tindakanku tadi sebagai bentuk egois. Benar-benar tidak disangka.

Ayah asliku sudah mati saat aku masih kecil, jadi aku tidak tahu cara berinteraksi dengan seorang ayah. Tapi melihat dari ingatan Myne, aku menyayangi ayahku yang ini, sedangkan aku melihat dia sebagai pria yang tampak kejam dan berotot. Dia benar-benar kuat karena kerjanya jadi prajurit, dan semua perlawananku padanya hancur di hadapan keperkasaannya.

Selama tiga hari aku mengalami kekalahan melawan keluargaku, yang mana membuat hati gadis muda dan rasa malu aku tergerus hancur berkeping-keping.

Aku hanya seorang anak gadis. Keluargaku harus mengurusi aku. Memang itulah yang seharusnya terjadi ... Jika aku tidak berpikir seperti itu, maka aku akan mati! Tapi aku tidak bisa terus-menerus menerima perlakuan ini! Cobaan hidup ini sudah berlebihan! Dan seterusnya, aku berteriak seperti itu dalam kepalaku, tapi itu tidak membantu keadaan yang aku hadapi berkembang baik. Bila aku lari dari rumah, tubuh lemah dan penyakitan milik anak gadis seperti aku ini tidak akan bisa berbuat apa-apa sendiri. Aku pasti akan berakhir lari tidak jelas di jalan berusaha mencari tempat untuk mandi, lalu berteriak aneh melihat orang-orang membuang isi kendi mereka, dan akhirnya aku mati menyedihkan karena kelaparan.

Mungkin apa yang aku sebutkan tadi terdengar seperti aku baru saja mengalami hal yang kurang berguna dan tidak ada hasilnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Aku berhasil mendapat kemenangan kecil. Sebagai contohnya, setelah bertahan cukup lama dengan keadaan tubuhku yang kotor ini, aku berhasil membersihkan diriku dari itu berkat bantuan Tuuli yang mau menerima permintaanku untuk menyekakan tubuhku dengan kain basah yang hangat. Ya, untuk apa lagi coba? Kalau misalnya aku harus buka baju, kenapa tidak aku minta bantuannya untuk menyeka aku sampai bersih? Tapi itu membuat aku melewati rasa malu.

Aku penasaran jika orang dunia ini punya semacam budaya yang membuat mereka tidak saling membersihkan badan. Karena Tuuli terlihat sangat aneh ketika dia setiap kali menyekakan aku, tapi aku merasa nyaman. Air hangat yang ada dalam ember sangat kotor sekali saat pertama kali aku pakai, tapi dari hari ke hari jadi tambah bersih. Tapi meski begitu, kepalaku masih gatal. Aku tahu tidak ada itu di rumah, aku ingin sekali pakai sampo.

Masih ada hal lain yang ingin aku dapatkan juga, itu; tusuk rambut yang dapat membuat rambut kepalaku tetap terikat! Aku minta satu stik kayu agar bisa mengikat rambutku yang panjang dan lurus yang sulit diatur, dan ternyata Tuuli mau memahatkan aku satu stik itu untukku.

Tapi ya, yang pertama aku temukan adalah boneka milik Tuuli dan aku minta izin jika boleh aku patahkan bagian kakinya, yang mana itu membuat dia sedih menangis. Aku merasa tidak enak bertanya itu padanya. Tapi kalau boleh jujur, meski boneka kayu itu dibuat sebaik mungkin oleh tangan Ayah dan baju bagus yang dibuat oleh Ibu, bagiku itu terlihat seperti mainan murah. Sekilas, aku tidak mengira itu adalah barang yang berharga sekali.

Baiklah. Aku gulung rambutku dan diikat sanggul, tapi Tuuli bilang ikat sanggul hanya boleh setelah wanita memasuki usia dewasa, jadi aku buat setengah sanggul saja. Budaya dunia ini benar-benar berbeda.

Aku hanya bisa mengumpat pada diri sendiri setiap hari, jadi yang tersisa sekarang untuk aku lakukan adalah berusaha menjalani semuanya dan meningkatkan apa saja yang bisa aku lakukan. Yang nantinya akan membawakan aku pada banyak buku.

Jalan pertama untuk meningkatkan peluang aku hidup adalah dengan mendapatkan buku. Dengan adanya buku, maka aku tidak keberatan menghabiskan waktu seumur hidup di atas kasur, dan aku bisa mengurusi sisi aspek hidup lain yang lebih keras. Aku bisa dan aku yakin bisa.

Jadi, aku putuskan untuk menjelajahi semua sisi rumahku, setotal totalnya. Aku sudah lama sekali tidak membaca buku jadi penyakit aku mulai kambuh. Aku rasa tidak lama lagi aku akan mulai teriak “Buku, aku mau buku! Waaah!” sambil terisak-isak dan mukul benda yang ada dengan tidak jelas.

“Myne, kamu masih tidur?”

Tuuli membuka pintu dan menonjolkan kepalanya untuk melihat ke dalam kamar. Setelah melihat aku terbaring diam di kasur, dia mengangguk puas.

Sudah lebih dari tiga hari aku berusaha terus menerus turun dari kasur setelah bangun dari tidur untuk mencoba cari buku, jadi baik Ibu dan Tuuli, yang selama ini selalu mengurusiku, dalam posisi penuh pengawasan padaku. Tuuli sangat berusaha sebisa mungkin membuat aku tetap berbaring di kasur seharian, karena dia yang dipercaya untuk mengurusku. Tubuh kecilku tidak berdaya untuk melawan Tuuli, mau sekeras apapun aku mencoba lari darinya.

“Suatu hari nanti, aku akan (naik derajat) dari sini.”
“Tadi kamu bilang apa, Myne?”
“... Mmm? Aku tadi bilang aku sudah tidak sabar tumbuh dewasa.”

Tuuli, tidak menyadari adanya makna lain dari ucapan manis yang aku sebutkan tadi, dia membalas dengan senyum sungkan.

“Kamu pasti akan bertambah besar begitu penyakitmu sembuh. Karena kamu sakit terus jadi jarang makan. Terkadang ada yang menganggapmu tiga tahun padahal sebenarnya kamu itu sudah lima tahun.”
“Kalau kamu berapa tahun, Tuuli?”
“Aku enam tahun, tapi banyak juga mengira aku sudah tujuh atau delapan tahun, aku rasa itu biasa saja.”

Umur kami hanya berbeda satu tahun tapi perbedaannya sudah sejauh ini diantara kami? Sepertinya kenaikan derajatku akan jadi suatu perjuangan yang lebih berat dari perkiraan. Tapi aku tidak akan menyerah. Akan aku bersihkan tempat ini, makan teratur dan mendapatkan kesehatan sesegera mungkin.

“Ibu sedang pergi bekerja, aku mau cuci piring dulu. Jangan turun dari kasur ya? Jangan sampai ya. Kamu tidak akan sembuh-sembuh jika tidak mau tidur, dan jika kamu tidak sembuh maka kamu tidak akan tumbuh.”

Akhir-akhir ini aku pura-pura menjadi anak penurut agar Tuuli lengah dalam mengawasiku, aku diam berbaring menunggu dia pergi dari rumah.

“Mengerti ya, aku pergi dulu. Jadilah penurut ya.”
“Iyaaaa.”

Aku memberi jawaban yang Tuuli inginkan dan dia menutup pintu kamar tidur.

Heh.... ehehheheh....! Ayo, waktunya cepat pergi.

Aku bersabar menunggu Tuuli mengumpulkan alat makan yang akan dia cuci ke dalam keranjang dan membawanya keluar. Aku tidak tahu tempat di mana dia mencuci alat makan kami, tapi yang aku tahu dia akan pergi selama tiga puluh untuk mencuci semua itu. Rumah kami tidak memilik air mengalir, jadi bisa berasumsi bahwa ada sumber air yang melimpah di luar sana. Aku mendengar kunci pintu bersuara dan mendengar baik-baik langkah kaki Tuuli turun ke bawah.

Yeees.... waktunya berburu. Umur Tuuli seharusnya sudah layak untuk menerima satu atau dua buku bergambar yang tersimpan dalam rumah. Aku pasti akan menemukan satu atau dua buku tak lama aku mulai mencari. Sudah pasti ketemu. Tidak mungkin ada keluarga yang tidak memiliki satu buku pun dalam rumah mereka. Aku mungkin tidak bisa membaca buku itu, tapi aku bisa mendapat gambaran kasar apa yang dituliskan dalam buku itu dengan lihat gambar yang ada dalam buku itu dan juga menduga arti dari kata yang muncul.

Begitu suara langkah kaki Tuuli menghilang, sepenuhnya tak aku dengar, aku perlahan turun dari kasur. Aku merasa sedikit tidak nyaman begitu meletakkan telapak kakiku ke lantai, ternyata itu karena lantai ini kotor dan penuh dengan debu. Keluargaku juga yang membuat lantai ini kotor karena alas kaki yang mereka pakai kotor terkena tanah luar, dan rasanya tidak enak saja berjalan di lantai kotor seperti ini tanpa alas kaki, Tuuli sudah mengamankan sepatu kayu punyaku demi mencegah aku jalan-jalan. Aku tidak punya pilihan sekarang.

Tapi ya.... Menemukan buku lebih utama daripada menjaga kakiku tetap bersih.

Kasur yang aku pakai tidur selama berhari-hari agar bisa sembuh dari deman yang tiada tanda menurunnya, punya keranjang yang berisikan banyak mainan anak terbuat dari kayu dan ranting, tapi tidak ada buku di dalamnya.

“Pastinya akan memudahkan aku jika ternyata ada di dalam sini...”

Secara sadar aku merasakan tumpukkan debu terus bertambah di telapak kakiku setiap kali aku melangkah. Memang sudah jadi hal yang biasa untuk keluarga ini memakai sepatu dalam rumah, jadi aku sudah tahu ini dan tidak bisa komplain banyak. Aku tahu ini, tapi aku tidak bisa menahan diriku lagi.

“Ada orang yang bisa membawakan aku sapu dan lap pel, tolong?”

Sudah pasti, tidak ada yang membalas permintaanku, dan sapu atau lap pel juga tidak secara magis muncul entah dari mana.

“Ngggh! Sudah masuk rintangan besar lagi?”

Bagiku, rintangan besar penjelajahan ini bermula dari kamar tidur. Aku bisa menggapai gagang pintu setelah aku rentangan tangan serentang-rentangnya, tapi proses menggerakkan pintu ini lebih sulit dari yang aku kira.

Aku melihat sekitar untuk mencari benda yang bisa aku naiki, dan aku lihat dari kotak besar yang digunakan untuk menyimpan baju aku. “Nmmm...!” Aku pastinya tidak punya masalah memindahkan ini di waktu aku masih jadi Urano, tapi sekarang tanganku itu kecil sekali dan tidak punya cukup kekuatan yang bisa mendorong kotak ini mau sekuat apapun aku mencoba. Aku berpikir untuk memutar balikkan keranjang yang berisikan mainan anak dan coba dinaiki karena aku masih bertubuh kecil, tapi aku masih punya berat badan yang mungkin bisa merusak keranjang itu.

“Aku harus segera tumbuh besar. Ada banyak sekali hal yang tidak bisa aku lakukan dengan tubuh ini,”

Aku melihat isi kamar lagi dan menilai benda yang bisa aku gerakan, aku putuskan untuk menggunakan selimut yang dipakai orang tuaku sebagai pijakan naik. Aku sendiri tidak mau selimut yang aku pakai menyentuh lantai kotor ini, tapi karena orang tuaku ini sudah terbiasa dengan lingkungan yang kotor ini, aku yakin mereka tidak akan keberatan jika aku manfaatkan selimut mereka. Aku yakin. Um... Aku minta maaf, Ibu. Ayah. Tiada tindakan apapun yang akan menghalangi aku jika menyangkut buku, itu termasuk mendapat amarah dari kalian nanti.

“Oof.”

Aku berhasil menjadikan selimut ini jadi sebuah pijakan dan bisa menggerakkan pintu melalui gagangnya setelah memakai berat badanku sebagai pendorongnya.
Terdengar suara dari pintu terbuka. Yang belok ke arahku.

“Bwuh?!”

Aku menarik gagang pintu ke bawah karena aku tarik dengan berat badanku, dan pintunya terbuka berayun ke arahku. Aku segera melepaskan gagang pintu sebelum mengenai kepala, tapi aku itu sudah terlambat. Aku jatuh ke belakang dan tersungkur balik ke selimut yang aku jadikan pijakkan, sebelum akhirnya aku terduduk di atas lantai. Suara jatuhku cukup terdengar juga.

“Oooow...”

Aku berdiri kembali sambil memegangi kepala, dan melihat sedikit ruang dari celah pintu yang tetap terbuka. Luka di kepala ini jadi luka penghargaan.

Aku menyelipkan jari di celah pintu yang terbuka dan mendorong pintu itu sampai terbuka dan menutupi setengah jalan masuk, itu membuat selimut orang tuaku ikut tergeser. Terlihat sedikit bagian lantai yang jadi lebih bersih dari sebelumnya, tapi aku anggap aku tidak melihat itu terjadi. Aku tidak sengaja menjadikan selimut ini jadi kotor sekali.

Aku... aku minta maaf.

“Oh, aku di dapur.”

Aku meninggalkan kamar tidur dan melihat dapur tepat di sebelah kanan kamar. Tapi, dapur ini tidak begitu lengkap peralatan untuk bisa dipanggil dapur memadai. Yang disediakan dapur ini adalah tempat untuk memasak sesuai keinginan, tapi aku mungkin tidak akan mau memasak.

Ada meja kecil di tengah ruangan berserta tempat duduknya yang terdiri dari dua kursi tiga kaki dan peti kayu panjang. Di sebelah kanan ada lemari dengan pintu penutup, mungkin di sana tempat alat makan di simpan. Di tembok paling dekat dengan kamar tidur ada gantungan besi dan tergantung di sana kuali besi, centong dan wajan. Ada perapian juga di dekat sana yang mungkin digunakan sebagai tungku masak. Ada tali panjang yang terhubung dengan dua tembok, dan ada kain kotor yang digantung di sana, kain itu terlihat sangat kotor sampai-sampai yang disentuh kain itu akan semakin kotor.

“Iiiiih. Rasanya sekarang aku tahu kenapa aku sering sakit.”

Di sisi lain yang berseberangan dengan perapian itu ada tong air besar dan tempat seperti untuk cuci tangan. Seperti yang aku duga, tidak ada sumber air mengalir di rumah. Lalu, ada keranjang besar di sebelahnya yang didalamnya terdapat kentang, bawang dan bahan mentah lainnya. Ada banyak sekali bahan pangan di sana yang tidak aku ketahui, jadi bisa ada kemungkinan kentang yang aku lihat bukan kentang ternyata.

“Hm? Buah ini.... seperti alpukat. Aku ingin tahu apa bisa aku dapat minyak dari buah ini?”

Aku melihat buah-buah yang aku temukan dan menemukan satu jenis buah yang menarik perhatianku. Jika aku bisa dapat minyak dari buah ini, mungkin aku bisa mendapat suatu solusi yang dapat mengatasi gatal di kepalaku.

Ibu di waktu aku masih hidup sebagai Urano, dia punya semacam hobi yang membuatnya melakukan hal acak dan aneh, itu terus berganti juga. Dia bisa aku gambarkan sebagai orang yang penuh rasa penasaran pada hal ganjil. Dia bertindak dan berpacu pada hal yang dia ketahui di hari itu: Acara TV mengenai tata cara berhemat pengeluaran, majalah tentang hidup mandiri di alam, acara luar negeri yang berfokus pada aktivitas budaya mereka, dan apapun itu. Dia selalu saja menarik-narik aku untuk ikut serta, dia jelaskan “ingin aku punya hal lain yang diminati selain buku,” tapi aku tahu bahwa dirinya sendirilah yang berminat belajar itu. Aku tidak ada pilihan lain, jadi aku selalu mengikuti acara itu bersama dia, dan berkat tindakannya itu, aku mungkin saja bisa membuat sampo secara mandiri dengan ilmu yang aku dapatkan itu.

Terima kasih, Ibu. Aku rasa aku mungkin bisa bertahan hidup di sini. Aku mendapat rasa percaya diri dengan temuan tadi, lalu aku lihat sekitar ruangan lagi dan melihat ada dua pintu lain, pintu ini tidak ada hubungannya dengan pintu ke kamar tidur.

“Eheh. Ke kiri atau kanan, manakah yang ada untungnya?”

Dapur tadi sama sekali tidak memiliki tempat untuk rak buku. Aku pilih salah satu pintu dan membukanya ke arah depan.

“Mmm, ini gudang barang? Aku rasa bukan di sini tempatnya.”

Ruangan ini dipenuhi dengan barang yang tidak aku ketahui cara pakainya. Ada rak yang penuh dengan barang, tapi itu penuh sekali dan tidak terlihat seperti bukan tempatnya rak buku berada.

Aku menyerah cari di sana dan beralih ke pintu yang satunya lagi. Ada suara hantaman besi ketika aku tarik ke dalam, itu pertanda pintu ini dikunci. Aku coba berulang kali menariknya namun tidak membuahkan hasil. Pintu ini tidak mau terbuka.

“... Tunggu. Ini pintu yang dikunci Tuuli sebelum dia pergi? Berati sudah semua ruangan aku jelajahi?”

Jika ini adalah pintu untuk keluar, maka rumah kami tidak punya bak mandi, tempat buang air, air mengalir, dan rak buku. Tidak aku temukan sama sekali. Mau sekeras apapun aku lihat, tidak ada ruangan lain lagi.

... Um, dewa dewi, adakah Anda sekalian membenci saya? Jika ini candaan, maka sudah keterlaluan? Saya minta dilahirkan kembali agar bisa membaca buku lagi setelah mati. Saya tidak minta dikirimkan ke dunia lain dengan ingatan saya dari Jepang dan ingatan tambahan ini, tidak saya minta dipaksa tinggal di rumah tanpa bak mandi, tempat buang air dan sumber air. Saya kira dengan pasti, Anda-Anda sekalian akan mengirimkan saya ke dunia yang penuh dengan buku-buku.

“.... Jangan-jangan, buku sangat mahal sekali di sini?”

Berdasarkan sejarah yang aku pelajari, sebelum ditemukannya mesin cetak yang menuntun terjadinya produksi masal buku, harga buku saat itu sangatlah mahal. Bagi orang-orang yang tidak lahir sebagai bangsawan atau keluarga kaya maka tidak ada satu kali pun kesempatan bagi mereka untuk membaca buku. Yang mana ini jadi dasar kemungkinan tidak adanya budaya untuk memberi hadiah buku bergambar pada anak tetangga yang sedang ulang tahun.

“Ngh, baiklah. Mungkin aku bisa cari satu atau dua kata tulis.”

Aku tidak sepenuhnya perlu buku agar bisa belajar tata cara dunia ini menulis kata-kata jadi kalimat. Poster, koran berita, panduan penggunaan barang, kalender, dan hal-hal semacam itu bisanya ada tulisan kata. Atau itulah yang terjadi di Jepang.

“.... Tidak ada. Tidak ada satu kata pun yang tertulis! Tidak ada!”

Aku sudah berjalan di setiap ruangan dan mencari di setiap rak dan lemari yang aku temukan, tapi yang aku temukan bukanlah buku, aku bahkan tidak menemukan satu benda pun yang ada hurufnya. Aku tidak dapat menemukan surat atau kertas.

“Kok bisa ini terjadi?”

Kepalaku mulai sakit, seperti panas demam yang tiba-tiba keluar entah dari mana. Jantungku terasa berdebar-debar dan aku rasa akan segera teriak keras, aliran peredaran darahku terasa sempit. Aku terjatuh seperti boneka yang benang kendalinya diputus. Mata aku terasa terbakar dari dalam.

Ya, oke, aku sudah pernah tertimpa banyak buku. Itu sudah tidak ada gunanya dibahas. Karena itu memang yang aku impikan untuk terkubur banyak buku. Aku sudah berdamai dengan itu. Dan benar aku yang minta direinkarnasikan. Aku mengerti semua itu.

... Tapi, ketahuilah, tidak ada satu buku pun di sini. Tidak ada satu kata yang tertulis juga. Termasuk kertas tidak ada! Benarkah aku bisa hidup dan tinggal di tempat seperti ini? Apa aku punya tujuan untuk melanjutkan hidup?

Tetesan air mata mengalir di pipi. Tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku bahwa akan ada dunia tanpa buku. Hal semacam itu tidak pernah aku bayangkan terjadi padaku. Dan lihat sekarang apa yang menimpa aku. Aku tidak bisa memikirkan satu tujuan pun yang bisa aku jadikan patokan agar menjalani hidup sebagai Myne di dunia ini, bagian dalamku terasa hampa. Aku tidak bisa berhenti menangis.

“Myne! Kenapa kamu turun dari kasur?! Jangan jalan-jalan tanpa sepatu!”

Hingga akhirnya Tuuli sampai rumah, dia meneriaki aku dengan mata melotot karena marah padaku yang dia temukan diam di lantai dapur.

“... Tuuli, tidak ada (buku)?”
“Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja?”
“Tuuli, aku ingin (buku). Aku ingin baca (buku). Aku ingin sekali baca, tapi tidak ada (buku) di sini.”

Tuuli mencoba memanggilku karena khawatir, saat itu aku sedang meneteskan banyak air mata yang mengalir deras di pipiku. Tapi dia ini sudah terbiasa dengan dunia tanpa buku. Dia tidak mungkin memahami penderitaan yang aku sampaikan padanya.

... Adakah orang yang paham rasa penderitaanku? Adakah orang yang tahu tempat aku bisa dapat buku? Siapapun, tolonglah aku. Aku mohon.





TLBajatsu

0 komentar:

Posting Komentar