Kamis, 07 Maret 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 3: Berpetualang Dalam Kota Baru

 Volume 01

Chapter 3: Berpetualang Dalam Kota Baru



Kemarin, aku menangis dan menangis dan menangis. Orang tuaku marah karena aku jatuhkan selimut mereka ke lantai, kemudian waktu makan malam datang, tapi aku tetap terus menangis tanpa merespons perkataan mereka. Begitu pagi hari datang, mata aku merah dan bengkak karena sudah menangis dalam waktu lama. Darah naik ke kepala membuat aku pening.

Tapi panas demamku turun, dan aku tidak merasa lemas seperti sebelumnya. Ditambah, aku merasa lebih baik secara keseluruhan karena kemarin aku luapkan tangisan dalam hatiku. Tapi di pagi ini, tidak ada keluargaku yang tahu cara menawari aku makan.

“Mmm, sepertinya demammu sudah turun.”

Ibu menyentuh dahiku dengan tangan yang terasa dingin, mungkin itu karena dia baru saja mencuci piring. Dia juga perlahan dan lembut menekan mataku. Rasa dinginnya membuatku nyaman.

“Jika kamu merasa baikkan, Myne mau ikut Ibu ke pasar? Hari ini Ibu dapat hari libur.”

Tunggu.... bukankah dia bilang tahun ini adalah tahun yang paling padat jadwalnya sebagai pekerja pewarna kain, kerjaanya sibuk sekali sampai-sampai dia terus melanjutkan kerjanya dan pergi dari sisi aku, anaknya yang sedang sakit?

Ibu menyadari aku bingung karena ucapannya, dia melirik bawah sedikit sedih.

“Tuuli, dia sudah lama sekali tidak dapat kesempatan keluar karena dia mengurusi kamu, dan dia itu sangat khawatir padamu yang terus menangis tanpa henti kemarin. Jadi, kami pikir kamu itu merasa kesepian diam di rumah, jadi Ibu usahakan dan berhasil meyakinkan rekan-rekan kerja ibu untuk memenuhi target tugas Ibu untuk hari ini.”

Begitu aku dengar penjelasannya, aku mengerti. Aku tidak sangka menangis seharian dihadapan banyak orang! Aku ingin menggali lubang dan diam di dalam sana. Bersikap tenang saja tidak akan cukup, apalagi setelah tahu sebegitu memalukannya dirimu di hari sebelumnya.

“U-um, maaf.”
“Tidak usah minta maaf, Myne. Kita semua memang berhati lemah di waktu kita sakit.”

Ibu mengelus-elus kepalaku dengan lembut, dia ingin aku terhibur, tapi semakin baik dirinya maka semakin aku merasa bersalah.

Aku benar-benar, minta maaf. Aku menangis seperti itu karena rasa putus asa karena tidak adanya buku. Aku tidak merasa kesepian tanpa kalian. Tuuli memang sangat mengkhawatirkan aku, tapi yang aku perhatikan darinya adalah langkah dia pergi agar aku bisa mencari buku. Aku sangat meminta maaf.

“Tuuli akan pergi ke hutan bersama anak-anak yang lain, tapi kamu itu masih terlalu lemah untuk jalan kesana. Jadi, apa kamu mau ikut Ibu belanja?”
“Uh mau!”
“Duh, Ibu penasaran dari mana rasa semangatmu itu berasal.”

Ibu tersenyum senang, mengira aku senang bisa menghabiskan waktu bersamanya, dan aku membalas dia dengan senyuman yang lebar.

“Ahaha, Ibu tahu pasti kamu juga senang belanja.”

Karena Ibu terlihat sangat senang aku jadi tidak perlu repot-repot membenarkan kesalahpahaman dia, rasa semangatku ini baru saja menembus atap atas dasar kegembiraanku yang bertemu dengan kesempatan menemukan buku di luar sana.

Aku pastinya akan ikut belanja dengannya dan membuat dia beli satu buku untukku. Aku tidak meminta buku tebal. Mau bagaimana bentuknya, aku ingin suatu hal yang bisa dijadikan sumber belajar cara menulis di dunia ini. Sejujurnya, aku tak masalah menerima buku tugas untuk anak. Jika satu buku saja sudah memberatkan, maka aku masih bisa menerima lembaran yang berisi alfabet atau apapun namanya dunia ini itu.

Aku yakin jika aku bilang, “Aku tidak akan merasa kesepian bila ada buku di sisiku! Aku bisa tinggal seharian di rumah sendirian!” yang aku sebut dengan nada gemas, dia pastinya akan membeli satu atau dua buku bergambar untuk putrinya yang sedang sakit. Eheheh. Aku sudah tidak sabar lagi.

“Baik, Ibu. Aku pergi dulu ya!” ucap Tuuli dengan penuh senyuman lebar selagi dia mengintip ke kamar tidur. Karena Ibu akan tinggal, tidak kerja hari ini, Tuuli tidak perlu mengurusiku seharian ini.
“Tetap berdekatan dengan anak-anak yang lain ya? Hati-hati di jalan.”
“Iyaaaa.”

Tuuli mengenakan keranjang ransel besar yang melebihi pundak, dan dia segera bertolak dari rumah. Dia seperti terlihat pergi untuk main dan senang-senang, tapi dia sebenarnya membantu keluarga pada bagian penting: yaitu mengumpulkan kayu bakar. Dia juga akan kembali membawa kacang-kacangan, jamur-jamur dan hal lainnya yang bisa dia temukan di sana. Mau tanaman yang dia bawa itu bagus atau tidak, biaya makan murah di tiap harinya bergantung dari hasil bawaan Tuuli.

Um... Berjuanglah, Tuuli! Makan siang aku tergantung usahamu!

Dunia yang penuh kemiskinan ini tidak memiliki sekolah, jadi anak-anak pada umumnya membantu urusan keluarga mereka atau bekerja. Atau itulah yang aku ketahui dari ingatan Myne yang tidak menunjukkan adanya sekolah. Begitu anak berumur lebih tua dari Tuuli, mereka mulai bekerja magang di suatu tempat. Jika dapat kesempatan memilih tempatnya, aku akan lebih memilih untuk magang di perpustakaan, atau magang jadi sales buku. Pergi ke pasar akan menjadi kesempatan yang bagus untuk mengumpulkan informasi soal ini. Aku akan cari toko buku terdekat, jadi teman dekat pemilik toko, dan kerja magang di tempatnya.

“Yuk, Myne. Kita pergi belanja.”

Ini adalah kali pertamanya dalam hidupku sebagai Myne untuk pergi meninggalkan rumah dan juga kali pertamanya aku pakai baju selain piama. Pakaian yang aku kenakan sekarang adalah baju lama punya Tuuli dan yang aku pakai terdiri dari banyak lapisan kain tebal. Rasanya aku dibalut pakaian ini dan sulit untuk gerak jalan, tapi meski begitu aku raih telapak Ibu dan mengambil langkah pertamaku keluar rumah.

... Dingin! Sempit! Bau! Ini terjadi mungkin karena bangunan ini terbuat dari batu, jadi angin yang lewat dingin karena hawa dari batunya dan lapisan kain yang aku pakai saja masih kurang untuk menahan suhu dingin ini. Rasanya aku ingin sekali pakai jaket bulu atau sarung tangan hangat. Termasuk masker yang bisa menahan rasa bau tidak sedap dan juga angin dingin masuk ke hidung.

“Myne, hati-hati turunnya agar tidak jatuh.”

Tepat di sebelah kana rumah kami ada tangga turun. Tubuhku berukuran anak usia tiga tahun jadi tiap anak tangga ini sudah membuat aku merasa takut. Sambil dipandu Ibu melangkah maju, aku melompati tangga kayu satu per satu, terdengar suara derak kayu setiap kali kami menuruni anak tangga bangunan ini. Entah kenapa, anak tangga mulai dari lantai dua terbuat dari bayu kokoh.

Kami ini tinggal di bangunan yang sama, kenapa mereka dapat perlakuan spesial? Aku manyunkan bibir, menggembungkan pipi, selagi dalam dan akhir perjalanan turun dari bangunan untuk keluar. Jika hitungan aku benar, apartemen ini punya lima belas lantai dan kami tinggi di lantai tujuh. Jujur saja, bagi orang lemah, kecil dan sakit seperti aku, sudah cukup melelahkan sekali hanya untuk keluar dari rumahku. Sekarang aku tahu alasan dibalik hanya ingatan dalam kamar tidur saja yang aku tahu. Sekarang pun, aku sudah kehabisan nafas dengan berjalan menuruni tangga. Sepertinya aku akan pingsan di tengah jalan menuju tujuan kami.

“Haaaah, haaaah.... Ibu, aku sulit nafas. Tunggu sebentar.”
“Tapi kita baru saja sampai luar. Apa kamu baik-baik saja.”
“Aku hanya perlu.... sedikit, istirahat....”

Selagi aku mengatur nafas, aku mengingatkan diriku lagi untuk tetap sadarkan diri jika ingin sampai di toko buku, aku lihat sekitar untuk mencari tahu keadaan lingkungan warga. Jaraknya tak jauh dari bangunan kami tinggal ada plaza kecil yang ditandai dengan sumur timba di tengahnya. Hanya area sekitar sumur itu yang dipasangi batu, dan aku bisa lihat aktivitas sejumlah wanita-wanita berumur yang sedang mencuci pakaian mereka. Itu sudah pasti sumur yang didatangi Tuuli untuk mendapatkan air yang dipakai mencuci alat makan dan juga sumber air untuk kami setiap hari.

“Ibu gendong kamu di punggung Ibu, Myne.”

Ibu, yang mengambil keputusan jika dia menunggu aku kembali kuat untuk jalan maka kami tidak akan sampai pasar tepat waktu, dengan agak kasar dan cepat dia menggendongku di belakang dan mulai berjalan. Aku sendiri kurang yakin ingat soal ini, karena dia membawa semacam gendongan bayi dipunggungnya, mungkin itu bukti dia sudah terbiasa menggendong Myne kesana kemari.

Di area luar sekitar plaza bersumur itu dikelilingi apartemen tinggi di empat sisinya, ini jadi kompleks perumahan yang kotak, dengan satu jalan yang terhubung ke jalan luar. Setelah melewati jalan, yang sempit dan gang-gang minim pencahayaan, jalan ini akhirnya tembus ke jalan lebar.

Wow! Jalan ini sama seperti yang aku lihat di foto kota-kota Eropa zaman dulu. Pemandangan yang sebelumnya belum pernah aku lihat memenuhi penglihatanku, mulai dari gerobak yang ditarik semacam kuda atau keledai yang saling berpapasan di jalanan lebar tersusun dari bebatuan bulat, di setiap sisi jalan dipenuhi oleh toko-toko. Aku melirik kesana kemari, melihat ke segala arah seperti turis yang sedang mencari tujuan mereka, tujuanku adalah toko buku.

“Ibu, kita belanja ke toko apa?”
“Kamu tanya apa, Myne? Kita itu mau ke pasar. Kita hampir tidak mungkin mampir ke toko-toko itu.”

Dari penjelasan Ibu, kebanyakan toko yang punya petaknya sendiri menjual barang untuk para orang yang berkecukupan tinggi dan jarang sekali ada barang yang bisa kami, rakyat miskin beli. Kami beli sebagian besar kebutuhan pokok kami di pasar utama.

Mmm, itu berarti, toko buku mungkin masuk kategori toko dengan petaknya sendiri? Ibu melanjutkan jalan dan aku terus melihat sekitar untuk menemukan toko buku, tak lama kemudian terlihat bangunan besar yang bisa dibilang bagian penting dari kota. Itu terbuat dari batu putih dan, meski desainnya cukup sederhana, tapi ada semacam kesan agung dari bangunan itu.

“Um, apa itu istana?”
“Bukan, itu kuil. Nanti begitu kamu berusia tujuh tahun, kamu akan dibaptis di sana.”

Ooooh.... itu kuil. Sepertinya aspek kepercayaan agama dianjurkan di sini, yang mana itu menjengkelkan. Aku akan menghindar dari tempat itu sebisa mungkin.

Insting dan pengetahuanku dari kehidupan sebelumnya membuat aku ingin jauh-jauh dari suatu kepercayaan. Aku kurang tahu apa seorang ateis diperlakukan baik atau tidak di dunia ini, jadi aku tutup mulutku soal itu dan melihat tembok yang ada di sekitar kuil itu.

“Ibu, tembok apa itu?”
“Itu benteng milik istana. Di dalam benteng itu ada istana tempat tinggal tuan penguasa dan kediaman para bangsawan. Tapi, bagi kita, itu semua tidak ada hubungannya sama sekali dengan hidup kita.” 

Benteng tinggi dari batu ini terlihat seperti penjara saja, karena yang aku lihat hanyalah tembok pembatas, bukan istana atau kediaman bangsawan. Mungkin memang didesain seperti itu agar para prajurit bisa langsung bersiap bertahan atau melawan jika terjadi keadaan darurat. Tembok putih itu masih berlanjut sampai ke sisi selanjutnya, meski punya desain yang lebih mengedepankan sisi martabatnya tanpa memikirkan sisi keindahannya, tembok ini tidak memiliki kesan kejam atau menakutkan. Ini dibuat seperti memang untuk pemisahan saja, karena akan benar-benar penuh celah jika serangan benar terjadi.

Mmm... bangunan-bangunan ini terlihat sedikit berbeda dengan konsep istana Eropa yang aku lihat di film sejarah dan sejenisnya.

“Nah, Ibu. Kalau tembok yang sebelah sana?”
“Itu tembok bagian luar. Itu jadi pelindung kota. Gerbang selatan adalah tempat Gunther kerja, masih ingat kan?” Aku tahu dari ingatan Myne bahwa ayah kerja sebagai prajurit, tapi aku tidak tahu dia jadi penjaga gerbang masuk kota.

Hm... ada istana yang menjadi tempat tinggal penguasa wilayah ini, lalu ada tembok bagian luar dan dalam. Aku rasa bisa menarik kesimpulan bahwa ini adalah ibu kota? Tapi aku tidak merasa ini adalah kota yang besar, menilai dari panjang tembok itu dan jumlah orang yang berjalan. Tapi aku rasa sebaiknya jangan ambil Tokyo atau Yokohama sebagai skala yang tepat.

Tapi ini akan termasuk kota besar bila dibandingkan dengan kota berbenteng yang aku baca di buku sewaktu aku masih jadi Urano, tapi punya rambut warna hijau atau biru adalah hal yang normal dalam dunia ini, jadi tidak ada keyakinan pengetahuan yang aku miliki sewaktu jadi Urano akan terus akurat. Tapi rasanya agak kurang pas saja jika aku menentukan besar kecilnya suatu kota sebelum aku belajar baik tentang dunia ini.

... Aaah, jika setiap kota punya ukurannya masing-masing, maka sebesar apakah toko buku yang mereka miliki, tapi aku masih tidak mengerti faktor yang menjadikan sebuah kota besar! Apa kota ini besar?! Atau kecil?! Seseorang, tolong beritahu aku!

“Myne, kita harus buru-buru ke pasar. Nanti semua bahan segarnya akan habis begitu kita sampai sana.”

Dalam perjalanan ke pasar, aku melihat sekitar sebisa mungkin dengan harapan menemukan toko buku, tapi hampir keseluruhan toko yang aku temui dari kedua sisi jalan hanya menampilkan plang dan lambang sederhana mengenai toko mereka. Plang itu terbuat dari papan kayu yang diberi gambar, atau dari bahan besi yang sudah dicetak sesuai gambaran toko mereka, tapi dari semua itu aku tidak menemukan suatu hal yang menyerupai huruf. Tapi itu masih hal yang bagus bagiku, orang yang belum bisa baca huruf dunia ini, tapi perasaan hawa dingin mulai menusuk punggungku.

... Tunggu dulu. Um, perasaan aku dari tadi tidak menemukan satu huruf pun setelah berkeliling kota. Apa serendah itukah tingkat kemampuan membaca? Atau jangan bilang dunia ini tidak punya tata cara menulis sama sekali? Gagasan seperti itu membuat aku merasa merinding dingin. Aku tidak sama sekali mengira ada kemungkinan suatu dunia tanpa huruf baca. Tanpa adanya huruf, maka buku tidak mungkin ada.

Kami sampai pasar selagi aku tertegun. Aku meluruskan kepala pada sumber suara ramai pasar dan melihat pada stan berjual yang berjejer panjang, banyak sekali orang yang lewat sana. Ini seperti datang ke festival budaya Jepang yang membuat aku merasa rindu. Aku tanpa disadari tersenyum dan, setelah melihat ke meja dagang berisikan buah, aku menemukan suatu hal yang mengejutkan aku, sampai-sampai aku tarik-tarik pundak Ibu.

“Ibu, lihat itu! Apa yang ada di papan itu?!”

Dalam papan kecil yang menonjol di antara buah-buahan itu ada goresan simbol. Aku tidak bisa membaca itu, tapi setidaknya aku bisa yakin, bahwa itu adalah huruf atau angka atau semacamnya yang ada di dunia ini. Nafsu makanku terhadap huruf saja sudah tinggi sekali, melihat hal simbol kecil seperti itu saja sudah membuat wajahku menyala karena senang sekali.

“Oh, itu harganya. Itu memberitahu kita nominal uang yang perlu kita bayar.”
“Eh, Ibu. Itu dibaca apa?”

Ibu terlihat terkejut setelah melihat betapa semangatnya diriku, tapi aku tidak peduli soal itu. Aku meminta dia untuk membacakan setiap nominal angka yang ada di papan kecil itu, dan aku merasa angka-angka itu berhubungan dengan angka yang aku ketahui. 

Oke, bagus! Terus lanjutkan, penuhi hasratku!

“Oh, jadi ini dibaca tiga puluh Lions?”

Setelah Ibu membacakan berbagai angka kepadaku, aku mencoba membaca sejumlah angka dan menunggu responsnya. Aku pasti membaca itu dengan benar, melihat reaksi dia yang langsung melihat papan itu dan mengedipkan mata berkali-kali.

“Ibu terkejut kamu bisa belajar secepat ini, Myne.”
“Eheh.”

Terdapat sepuluh simbol yang menyerupai angka, jadi aku asumsi sistem angkanya bilangan desimal yang mana mudah dipahami. Aku bersyukur sekali mereka tidak pakai bilangan biner atau bilangan seksagesimal. Aku seharusnya bisa berhitung dengan baik selama aku tidak salah ingat semua simbol itu.

... Eh tunggu dulu, apa aku akan ambil jalan jadi anak jenius? Di usia sepuluh aku jadi anugerah dewa dewi yang diberikan kepada manusia dan di usia lima belas aku akan jadi seorang jenius, tapi begitu aku berusia dua puluh aku jadi manusia biasa. Oh, oke.





TLBajatsu

0 komentar:

Posting Komentar