Selasa, 26 Maret 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 4: Buku : Tidak Bisa Didapatkan

 Volume 01

Chapter 4: Buku : Tidak Bisa Didapatkan



“Oke, setelah dari sini kita beli daging. Kita belinya tidak sedikit dan nanti harus kita garami atau asapi agar bisa awet disimpan.”
<TLN: https://www.liputan6.com/hot/read/5302529/10-cara-menyimpan-daging-tanpa-kulkas-yang-benar-bisa-awet-sampai-6-bulan?page=4>

Setelah membeli sayur-mayur dan buah-buahan, Ibu melanjutkan jalan untuk belanja ke bagian dalam pasar. Stan penjual daging rupanya cukup dekat dengan tembok bagian luar.

“Untuk apa kita beli banyak-banyak daging?”
“Kita harus persiapkan stok makan untuk musim dingin nanti, iya, kan? Sekarang sudah akhir musim gugur, jadi para peternak sudah pada memotong hampir semua bintang ternak mereka dan menyisakan sedikit bintang ternak mereka yang bisa bertahan selama musim dingin. Banyak sekali jenis-jenis daging yang dijual sekarang ini dibandingkan musim-musim lain selama satu tahun. Ditambah, biasanya bintang-bintang bertambah gendut karena mereka bersiap untuk hibernasi. Sekarang adalah waktu yang paling mudah untuk membeli daging gurih dan berlemak.”
“... Umm, berarti nanti pas musim dingin tiba, pasar ini tidak buka?”
“Itu sudah pasti bukan? Sedikit sekali tanaman pangan yang bisa tumbuh selama musim dingin. Salju yang turun juga cukup tebal, jadi jarang sekali ada pasar yang buka di musim dingin.”

Itu adalah hal yang sudah pasti, dan aku tidak terpikirkan akan hal itu terjadi. Bahkan di Jepang juga, sebelum masanya green house dikenal banyak orang, buah-buahan dan sayur-mayur yang dijual di toko bersifat musiman jadi kalau musimnya sudah lewat maka harus menunggu musim itu datang agar ada di pasar lagi. Di zaman sebelum pendingin atau lemari es dapat mempertahankan tingkat kesegaran bahan pangan, masyarakat harus memasak makanan yang tahan lama di rumah mereka masing-masing. Jadi di dunia ini, memang sudah seharusnya beli dan mengawetkan bahan pangan.

Jujur saja, aku merasa tidak sama sekali bisa membantu banyak dalam kebutuhan pokok itu. Aku bersyukur sekali direinkarnasikan sebagai anak gadis yang tidak akan menerima omelan jika tidak membantu keperluan keluarga.

“... Ba-bau.”

Aroma udara semakin memburuk begitu kami mendekati stan yang jadi tempat berjualan pedagang daging. Aku harus sedikit tahan lubang hidungku karena aroma bau ini, tapi Ibu terus melanjutkan jalan tanpa memperhatikan aroma bau pasar. Aku sedikit tidak percaya ini. Aroma bau ini sangat berlebihan sampai lubang hidungku tertutup sepenuhnya; aku coba sedikit nafas lewat mulut tapi bau ini masih tetap menusuk dan sampai membuat mata aku basah, sedangkan Ibu tidak sama sekali terganggu dengan semua itu.

Apa iya daging beraroma seperti ini? Ngggh, aku punya perasaan buruk sekarang.

Kami sampai di stan-stan penjual daging. Irisan daging becon dan paha daging babi digantung di sana sini, lalu ada bintang yang aku kenali digantung sepenuhnya setelah dikuliti kulitnya. Stan yang punya gantungan dipenuhi dengan bintang-bintang mati, mereka digantung agar darah mereka kering, dan dibawahnya ada banyak kelinci dan unggas-unggas dengan mata terbuka lebar.

“HIGGYAAAAAAH!”

Aku mungkin pernah lihat gambar bintang yang sudah dikuliti, tapi hampir semua yang aku lihat di dunia nyata selalu sudah siap olah, sudah dipotong-potong dan terbungkus. Stan penjual daging yang ada dunia ini cukup mengejutkan diriku. Rasa merinding menyebar ke kulitku dan air mata mulai jatuh dari mataku. Aku coba tutup mata untuk menghalangi pemandangan ini, tapi mata aku tetap terbuka, seperti lupa cara menutupnya saat berkedip.

“Myne?! Myne!”

Ibu sedikit terkejut karena aku dan menepak sedikit pantatku. Tapi tak lama kemudian, aku melihat babi bersuara takut karena dia melihat tukang daging yang siap menyembelihnya. Banyak orang mulai sedikit terganggu dan menunggu akhir dari babi itu yang bersuara keras.

“Ah!”

Aku sedikit teriak kecil, dan tepat dihadapan babi yang baru saja kehilangan nyawanya, aku tak sadarkan diri dalam gendongan Ibu.


Aku merasa ada sesuatu yang mengalir kedalam mulutku. Yang mengalir itu punya aroma kuat alkohol, rasanya aku ingin muntah. Aku tidak mau meminum itu, dan tanpa disadari cairan itu masuk ke saluran pernafasanku. Aku batuk keras, aku bangun duduk dan berkedip berkali-kali dengan cepat.

“Uhuk! Ngggh! Uhuk, uhuk!”

Um, apa yang tadi itu alkohol!? Orang tega macam apa yang memberi alkohol kuat seperti itu pada anak gadis polos! Apa yang akan dia lakukan jika aku mengalami keracunan alkohol?! Aku buka mataku dengan lebar dan melihat Ibu, dia sedang memegang botol yang mungkin isinya wine.

“Myne, kamu bangun? Syukurlah. Stimulan dari botol ini bekerja.”
“Uhuk! Ibu...?”

Dia memegangiku dengan wajah yang sangat lega, karena dia sangat memperhatikanku aku jadi tidak bisa mengeluhkan ini terang-terangan, tapi biarkanlah aku untuk mengoceh hal ini dalam hati.

Mau itu stimulan atau bukan, apa yang membuatmu memberi anak kecil alkohol sekuat itu?! Selain itu, anak kecil, seorang gadis yang selalu sakit dan baru saja sembuh hampir saja terbunuh karenamu!

“Oke, Myne. Karena kamu sudah bangun, yuk belanja lagi daging.”
“Bwuh?!”

Secara naluri aku geleng-gelengkan kepala. Apa yang baru saja aku lihat tadi itu sudah berbekas di penglihatanku. Tadi itu sangat tidak mengenakan sampai-sampai aku merasa akan bermimpi buruk karena itu, memikirkannya saja sudah membuatku merasa merinding. Aku tidak mau kesana lagi selamanya.

“...Ummm, aku masih merasa mual. Boleh aku tunggu disini? Ibu pergi saja belanja.”
“Eh? Tapi....” Ibu mengerutkan alisnya.

Aku melihat sekitar untuk cari bantuan dan memutuskan berjalan menuju stan di belakang yang dijaga oleh wanita berumur. Aku perlu tempat untuk menunggu Ibu sebelum dia mengajak paksa aku.

“Um, permisi, bolehkah saya menunggu sebentar di stan punya Bu? Saya akan diam dan menunggu saja, tidak akan mengganggu stan Anda.”
“Kamu gadis kecil yang sopan sekali. Boleh saja, tadi ibumu beli satu botol alkohol itu dariku. Nah Bu, cepat selesaikan belanjamu. Pastinya kau tidak mau anakmu yang sedang sakit pingsan lagi, bukan?”

Wanita penjual alkohol, yang rupanya menjualkan stimulan tadi pada ibu, terkekeh pada dirinya sendiri dan pemintaan yang aku ajukan tadi dia terima dengan tangan terbuka.

Pria paruh baya yang terlihat menjalankan usaha jual alat-alat produksi, dia juga bersimpati dan mendekat untuk menawarkan bantuan padaku.

“Kau bisa tunggu di stanku, jika di dalam tokoku. Tidak ada yang akan datang menculikmu.”

Aku memasuki tokonya dan duduk diam tanpa rasa ragu. Efek dari alkohol kuat tadi masih terasa dan membuat tubuhku agak aneh. Akan membahayakan jika aku berjalan-jalan dalam keadaan ini.

“Ibu akan segera kembali. Myne, jangan kemana-mana ya?”

Ibu pergi menjauh dan segera menyelesaikan belanjanya, aku duduk di bawah dan leha-leha sambil memperhatikan dua toko yang sedang menjual dagangan mereka. Jadi ternyata ini adalah musim dimana toko penjual wanita tua itu dapat stok buah baru untuk membuat wine, jadi banyak pembeli yang keluar masuk membeli tong kecil wine darinya.

Dilain sisi, tidak banyak orang yang mengunjungi toko alat-alat ini. Hmm... Aku penasaran alat macam apa yang dipakai produksi oleh orang-orang dunia ini? Aku perhatikan satu per satu dari meja toko yang ada di sekitarku dan aku tidak dapat memahami kegunaan dari alat-alat yang dijual di toko ini, itu lebih dari setengahnya.

Aku menunjuk alat yang ada di depanku dan bertanya kepada pria penjaga toko soal salah satu alat di meja dagang.

“Pak, benda apa iniii?”
“Kau belum pernah pakai itu? Itu adalah alat yang kegunaannya untuk menenun kain. Terus itu ada jebakan untuk berburu.”

Pria itu terlihat sedikit bosan karena sedikit pengunjung pasar yang datang ke tokonya, karena dia menjelaskan cara pakai alat yang ada di tokonya padaku begitu aku tanyakan.

Hampir semua hal yang dianggap normal dalam kehidupan di sini merupakan hal yang tidak aku ketahui. Aku sudah coba cari soal ini dari ingatan Myne, tapi aku tidak menemukan hal yang serupa dengan ini dari ingatannya, mungkin in terjadi karena dia kurang tertarik.

Aku memperhatikan semua alat yang ada di meja dagangnya, mengeluarkan suara kagum karena kegunaan alat-alat itu, dan hingga akhirnya aku melihat pada meja depan toko, dimana aku menemukan kumpulan kertas yang disatukan, itu seperti buku.

Sampulnya bagus sekali, ada lempengan emas yang dipasang di setiap sisi buku. Tingginya sekitar empat puluh centimeter dan terlihat sama seperti buku yang pernah aku lihat di dalam lemari kaca di perpustakaan yang dulu aku kunjungi.

Buku? Um, tunggu, bukankah itu buku? Saat-saat aku menyadari kumpulan kertas itu adalah buku, aku merasa dunia sekitarku jadi berwarna merah jambu. Hatiku penuh dengan cahaya dan aku rasa awan hitam yang mengelilingiku hari-hari sebelumnya telah pergi sepenuhnya dari sisiku.

“Pa-PAK! Itu apa? Benda apa itu?”
“Oh, ini buku.”

... YES! Akhirnya ketemu satu! Satu buku! Ya, hanya satu, tapi ada!  Dalam masa-masa penuh keputusasaanku terhadap fakta ada atau tidak adanya buku di dunia ini, aku akhirnya lihat ada buku di sini. Aku melihat sampul buku itu penuh dengan gemetar dalam hati.

Buku itu cukup besar dan berat dengan dekorasi mewah. Aku tidak akan bisa membawa buku itu dengan tanganku yang lemah. Lalu, itu terlihat sangat mahal, dan aku yakin bahwa ibu tidak akan beli buku itu mau sememohon apapun aku padanya. Tapi jika ada buku di dunia ini, itu berarti ada buku yang lebih kecil dari itu, ada buku yang mudah dibawa kemana-mana.

Aku mengalihkan perhatian dan bertanya pada pria itu dengan penuh usaha.

“Pak, tahu dimana tempat beli buku?”
“Huh, maksudmu tokonya? Tidak ada toko yang berjualan buku.” Pria itu melihatku, merasa aneh dengan pertanyaanku. Semangat yang aku miliki tadi langsung menurun.
“... Um, kenapa bisa ada buku, tapi tidak ada yang jualan buku?”
“Karena untuk satu buku baru, perlu disalin dulu per halamannya. Jadi harganya itu sangat mahal, tidak ada satu penjual pun yang mampu menjual buku. Buku yang kau lihat itu adalah agunan dari bangsawan yang belum bisa melunasi hutangnya, jadi ini bukan barang jualan. Semakin kesini, aku mulai merasa dia tidak akan melunasi hutang itu tepat waktu, jadi ya dalam waktu dekat akan aku jual ini, tapi kembali lagi, hanya bangsawan saja yang tertarik pada barang seperti ini.”

Iiih, dasar bangsawan! Ini berarti aku bisa saja membaca buku jika terlahir sebagai bangsawan, benar begitu? Lantas mengapa dirimu jadikan hamba ini rakyat, wahai dewa dewi? Aku merasa punya niat membunuh pada para bangsawan. Nikmat yang mereka dapatkan itu tidaklah adil, karena bisa hidup berdampingan dengan banyak buku dari lahir.

“Apa ini pertama kalinya kau melihat buku, gadis kecil?”

Aku mengangguk dan mengulanginya lagi tanpa menoleh sedikit pun dari buku itu. Ini adalah pengalaman pertama aku melihat buku asli dunia ini, itu sebanya. Dan karena hanya para bangsawan yang punya buku, ditambah lagi dengan minimnya toko buku, ini mungkin jadi kesempatan terakhir aku melihat buku. Yang artinya!

“Pa-Pak! Saya punya permintaan!”

Aku mengepalkan kedua telapak tanganku erat-erat dan setelah berdiri tegak di hadapannya, aku langsung berlutut sampai bawah.

“Hrm? Kau sedang apa?”

Pria itu membuka matanya dengan lebar karena terkejut karena tindakanku yang tiba-tiba berlutut seperti itu di hadapannya. Apa yang aku lakukan adalah sebuah tindakan paling standar untuk menunjukkan betapa jelas dan tulusnya dirimu dalam meminta. Lalu, berlutut dan sujud adalah bentuk paling akhir dari seseorang yang menunjukkan ketulusannya. Dalam keadaan kepala di atas tanah, aku memberitahu niat terdalamku padanya.

“Saya tahu saya tidak bisa membeli buku itu, tapi kumohon, beri saya izin untuk menyentuhnya. Saya ingin sun pipi berulang kali buku itu. Ingin saya hirup aromanya dan mencium bau tintanya, hanya sekarang saja waktu yang saya miliki sebelum saya pergi!”

Aku sudah memberitahu permintaanku dengan penuh semangat, tapi balasan yang aku dapat hanyalah keheningan. Dia tidak balas satu kata pun padaku.

Aku perlahan menaikkan kepala ke atas dan melihat dia, yang tak aku ketahui kenapa malah berekspresi terkejut dan jijik, pria itu seperti melihat orang aneh seaneh-anehnya dari dekat. Um...? Aku merasa ketulusan yang aku berikan ini tidak tersampaikan padanya.

“A-aku tidak tahu kenapa kau jadi begitu.... tapi rasanya bukan hal yang baik jika aku biarkan kau sentuh buku itu.”
“Ba-bagaimana mungkin!”

Aku coba sekali lagi meminta padanya, tapi sebelum itu terjadi, aku kehabisan waktu.

“Myne, Ibu sudah selesai. Ayo pulang.”

Aku menahan tangisanku begitu mendengar suara Ibu. Di sana ada sebuah buku yang jaraknya cukup dekat tapi belum aku baca. Belum aku sentuh. Aku juga belum mencium aroma tinta buku itu.

“Kamu kenapa? Apa pria itu berbuat sesuatu padamu, Myne?!”
“Ti-tidak, dia orang baik kok!”

Aku secepat mungkin menggeleng-gelengkan kepala begitu melihat Ibu melirik tajam pria itu. Jika tidak segera aku jelaskan kesalahpahaman ini, maka aku akan memberi masalah pada orang baik yang menyelamatkanku dari adegan eksekusi penjual daging, dia ini sudah memberiku tempat untuk menunggu dan memberi info soal buku.

“Kepalaku rasanya aneh. Tadi Ibu meminumkan aku air apa? Aku merasa pusing pas bangun tadi.”
“... Aaah, mungkin stimulan tadi terlalu banyak buatmu. Nanti rasa pusingnya akan hilang setelah kamu minum air dan istirahat yang cukup begitu kita sampai rumah.”

Ibu mengangguk begitu untuk meyakinkan aku, tidak ada rasa salah dari tindakan dia meminumkan alkohol pada anaknya yang masih kecil. Dia menggapai tanganku dan menariknya sedikit, agar aku tahu sudah waktunya pulang.
Aku mengitari dua pemilik toko tadi dan memberi senyum cerah.

“Terima kasih sudah mengizinkan saya menunggu di tempat bapak dan ibu.”

Akan buruk bagi mentalku jika tidak memberi ucapan terima kasih pada mereka. Dari yang aku ketahui di ingatan Myne, menunduk dan berterima kasih bukan hal yang biasa di dunia ini, jadi aku hanya memberi senyum dan lambaian tangan pada mereka. Satu senyuman cukup penting dalam menjalin hubungan yang baik antar manusia. Mereka berdua membalas juga dengan senyuman, jadi aku rasa maksudku tersampaikan.

“Myne, kamu masih merasa pusing?”
“.... Mhmm.”

Kami mengobrol sedikit dalam perjalanan pulang, aku kembali digendong oleh Ibu. Aku melihat kesana-kemari lagi, tapi tidak aku temukan adanya toko buku. Aku punya pemikiran dapat meminta buku bergambar untuk anak-anak agar bisa belajar huruf dunia ini, tapi di akhir hari ini aku tidak mendapat apa-apa.

Aku sekarang tahu tidak ada toko buku. Saat ini aku tinggal di kota yang punya istana dan gerbang batu serta benteng megah, namun tidak ada satu toko buku di dalamnya. Pria tadi bilang buku bukan hal yang layak untuk diperjualbelikan, jadi ada kemungkinan kota ini bukan tempat spesial. Mungkin tidak ada toko buku di dunia ini.

Ini kejam sekali. Aku sangat mencintai buku sampai aku rela tidak makan karena sedang membaca buku, dan sekarang aku diminta hidup di dunia tanpa buku, oleh dewa dewi? Cobaan ini keterlaluan sekali. Meski aku beritahu kepada orang tuaku bahwa aku ingin jadi bangsawan agar aku bisa membaca banyak buku, mereka malah perlakukan aku seperti anak kecil yang punya mimpi besar.

Aku tidak bisa bilang pada mereka bahwa aku tidak mau lahir di keluarga seperti ini. Tapi pada batasan sedikitnya, aku berharap dilahirkan di keluarga yang punya kekayaan yang cukup agar bisa mendapatkan barang-barang dari bangsawan jatuh dan mungkin saja aku bisa dapat buku dari sana. Keadaan keluargaku saat ini sudah sangat buruk sampai aku sudah tidak punya kesempatan lagi untuk melawan. Aku tahu aku tetap tidak akan dapat buku mau sebesar dan berisiknya aku menangis atau marah besar pada mereka. Tanpa adanya toko buku, aku tidak punya cara untuk dapat buku.

... Lalu, apa yang harus aku lakukan jika tidak bisa dapat buku? Ya, pilihan apa lagi yang aku punya selain membuatnya sendiri? Begitu jalan yang dilalui penuh dengan duri, maka dengan duri itu harus tetap terus berjalan. Aku akan dapatkan buku bagaimana pun caranya! Tak akan aku biarkan kehidupan ini mengalahkanku!





TLBajatsu

0 komentar:

Posting Komentar