Senin, 14 Juni 2021

Kuma Kuma Kuma Bear Light Novel Bahasa Indonesia Volume 2 : Chapter 40. Beruang Menaklukkan Ular

 Volume 2 :

Chapter 40. Beruang Menaklukkan Ular



Beberapa jam setelah beralih menunggangi Kumakyu, kami kembali menunggangi Kumayuru dan melanjutkan perjalanan. Kami tiba di desa tepat saat matahari mulai tenggelam.  Kumayuru menurunkan laju langkahnya begitu memasuki batas desa. Hening menyelimuti kawasan tersebut. Aku hampir tidak mendengar suara apapun—suasananya sudah seperti kota mati.

Pikiran tentang warga desa semuanya telah musnah melintas di kepalaku. Aku merasa sedikit mual. 

Kai turun dari Kumayuru dan berlari ke dalam desa.

"Semuanya, apa kalian di sini? Ini aku, Kai. Aku telah kembali!" teriaknya. Tak ada seorang pun yang menjawab. Setelah hening untuk beberapa saat, sebuah pintu dari rumah terdekat berderit dan terbuka. 

"Kai, kaukah itu?" 

Seorang pria muncul dari dalam.

"Ayah! Di mana ibu? Dan mana penduduk desa yang lain?"

"Ibumu baik-baik saja. Dia hanya terbaring lesu karena belum makan apa-apa belakangan ini."

"Bagaimana dengan penduduk desa yang lain?"

"Mereka tidak akan keluar."

"Kenapa?"

"Monster itu bereaksi terhadap suara. Keluarga Ermina mencoba kabur dan berakhir dimakan. Londo tewas saat hendak menimba air di sumur. Sudah tidak ada yang berani keluar rumah karena takut akan menjadi korban selanjutnya."

"Kalau begitu, bukannya berbicara di luar sini akan berbahaya?"

"Ya, memang."

"Lantas..."

"Tapi seseorang harus melakukannya, demi Domgol."

"Paman Domgol?"

"Saat kami memberangkatkanmu untuk memanggil bantuan tempo hari, Domgol bertindak sebagai umpan dan tewas."

"Paman Domgol telah..."

"Sebab itulah, ayah perlu mendengar kabar yang kau bawa dan memutuskan langkah kita selanjutnya. Dengan begitu, setidaknya kematian Domgol tidak akan sia-sia."

"Baik, ayah..."

"Dan siapa gadis beruang ini?"

Ayah Kai menatapku.

"Nona ini adalah petualang yang akan bertindak sebagai pengumpul informasi."

Wajahnya berubah suram dan lesu.

"Memangnya apa yang bisa seorang gadis berkostum beruang laku..."

"Ayah, Guildmaster akan segera menyusul kemari. Mereka juga bilang akan memberangkatkan party Rush, petualang peringkat C."

Wajah ayah Kai menjadi lega. Yah, kurasa siapapun tanpa terkecuali akan menunjukkan raut yang sama saat nasib yang mereka miliki dipercayakan kepada seorang yang tidak lebih hanyalah gadis dengan kostum aneh.

"Kapan kira-kira Guildmaster akan datang?"

"Kami berhasil sampai kemari hanya dalam setengah hari berkat makhluk panggilan nona ini, tapi Guildmaster bilang dia baru akan tiba besok."

"Begitu ya, jadi apa yang akan kau lakukan sekarang, nona?"

"Pertama aku akan mengumpulkan informasi, kemudian jika memungkinkan, aku akan membunuh ular itu."

"Berhentilah bercanda. Membunuhnya, kau bilang? Itu tidak mungkin," lontar ayah Kai, meluapkan rasa frustasinya.

"Bukan kau yang memutuskan, tapi aku. Cukup katakan semua yang kalian tahu tentang ular itu."

"Tidak banyak yang kami tahu. Ular itu selalu datang kemari setiap pagi untuk makan. Makhluk tersebut akan menghancurkan satu rumah warga, dan setelah memakan semua orang yang ada di dalam, makhluk itu pergi. Lalu, jika ada yang mencoba lari, makhluk itu akan memakannya juga. Jika kau membuat suara gaduh, kau akan berakhir menjadi yang pertama diincar makhluk itu."

"Kalau begitu, aku akan langsung pergi memeriksa ular itu."

"Selarut ini?"

Dalam waktu kurang lebih satu jam, matahari akan benar-benar menghilang dari cakrawala. 

"Aku memang berniat pergi karena sekarang adalah waktu yang tepat. Jika aku bertemu makhluk tersebut dan berakhir menjadi sebuah pertarungan, kalian bebas menggunakanku sebagai umpan dan melarikan diri. Kalian pasti bisa kabur selama ada kuda, bukan?"

"Kurasa tidak, orang-orang di sini sudah menyerah untuk melarikan diri. Mereka yakin akan tewas jika melakukan hal itu. Dan kami juga tidak punya cukup kuda untuk dinaiki semua orang."

"Terserahlah, aku berangkat sekarang."

"Nona, tolong berhati-hatilah."

Aku mengelus kepala Kai, kemudian naik ke atas Kumayuru dan pergi.

Kemampuan Bear Detection milikku mendeteksi sesuatu tidak jauh di depan. Kurasa hanya butuh beberapa menit untuk sampai ke sana dengan kecepatan Kumayuru saat ini. 

Kami tiba di sebuah dataran kosong. Ular itu pasti akan muncul tidak lama lagi. Di bawah cahaya malam yang redup, aku melihat sesuatu berwarna hitam di depan. Awalnya kupikir itu batu, sampai aku sadar ternyata itu adalah tubuh seekor ular raksasa yang melingkar.

Tubuhnya sangat besar dan sepertinya makhluk itu tengah tertidur. Yah, pikirku, siapa yang menyerang duluan, dia yang menang.

Aku turun dari Kumayuru dan mengembalikannya ke dalam sarung tangan beruang. Saat aku menoleh kembali, ular itu telah bangun. Matanya yang tajam menatap ke arahku. Lidahnya terjulur, mengumpulkan bau yang ada di udara. Melihat makhluk tersebut bangkit dan bergerak dengan tubuh raksasanya yang mengerikan, nyaliku mendadak ciut.

Ular itu merayap maju, dengan cepat, memotong jarak di antara kami. Dalam sekejap, mulut besarnya telah mengarah kepadaku.

Aku menghindar dengan melompat ke kanan. Badannya yang besar menyerempet melewati sisi kiriku. Sejenak aku berpikir telah selamat dari terkamannya, tetapi makhluk itu tiba-tiba memutar tubuhnya dan menghantamkannya ke arahku. Aku segera mengambil posisi bertahan dengan menyilangkan kedua tangan, tetapi hantaman tubuhnya menghempaskanku ke tanah.

Aku mengira akan menerima rasa sakit yang luar biasa, tetapi ternyata tidak. Mungkinkah kostum beruang ini meredam damage yang kuterima? Ular itu sama sekali tidak memberiku jeda; makhluk itu telah siap di posisinya untuk melancarkan serangan selanjutnya.

Aku tidak bisa keluar dari jangkauan ular tersebut. Setiap kali aku berhasil menghindari terjangannya dengan melompat ke kanan atau ke kiri, tubuh dan ekornya akan bergerak menyerangku dua sampai tiga kali berturut-turut. Tubuhnya yang besar menciptakan awan debu saat bergerak, mengacaukan penglihatanku. Selain itu, makhluk tersebut juga diselimuti oleh sisik berwarna hitam; menjadikannya semakin sulit untuk ditemukan dalam kegelapan.

Makhluk itu bereaksi terhadap suara. Mungkin datang ke sini saat petang adalah kesalahan.

Aku merapal sihir angin dan menghempaskan awan debu yang ular itu ciptakan.

Aku menembakkan sihir setiap kali ada celah, tetapi sisiknya yang keras meredam semua seranganku. Tubuhnya juga terlalu besar untuk dijebak dalam sebuah lubang. Menggunakan sihir beruang rasanya agak berlebihan; aku yakin sihir beruang apiku dapat menembus pertahanannya dengan mudah, tapi karena sisiknya kelihatan cukup berharga, aku tidak ingin membakarnya jika memungkinkan.

Dalam game, mau dibunuh dengan cara apapun, monster akan selalu meninggalkan drop item ketika mati. Di dunia nyata, benda yang sudah rusak tidak bisa kembali seperti semula. Menyerang dengan pedang akan meninggalkan goresan, sementara menggunakan sihir akan merusak kualitas material.

Sihir api tidak mempan, dan angin kelihatan kurang menjanjikan. Saat aku mengira sudah melukainya dengan bilah angin, lukanya langsung menutup dalam hitungan detik.

Jika menyerang dari luar tidak mempan, pikirku, bagaimana kalau dari dalam?

Aku melompat mundur untuk mengambil jarak. Ular itu merayap maju dan mengejarku. Aku menghindar ke sana kemari, menunggu makhluk tersebut membuka mulutnya. Namun, ular itu hanya menerjang tanpa mencoba menerkamku sama sekali. Mungkin makhluk itu tidak akan membuka mulutnya jika aku terus menghindar seperti ini. Bagaimana kalau aku melompat saja?

Aku menendang tanah dan melompat tinggi-tinggi. Saat aku berada di udara, ular itu membuka lebar-lebar mulutnya dan bersiap untuk menerkam. Pada kesempatan itu, aku menciptakan sepuluh beruang api sebesar kepalan tangan.

Beruang-beruang api kecil itu berjajar, membentuk satu barisan lurus. Ular itu menerjang maju dengan mulut terbuka seolah menyuruhku menembakkan semua beruang api itu ke sana. Beruang-beruang apiku melesat, membakar lidah serta seluruh isi perut dari makhluk tersebut.


Ular itu meronta kesakitan, kemudian roboh, meninggalkan bunyi gedebuk yang luar biasa. 

Tubuhnya yang jatuh menggeliat, memukul-mukul tanah. Namun, setelah beberapa saat, gerakannya melemah dan, pada akhirnya, berhenti sama sekali.

Hanya antara kau dan aku saja: mulutnya mengeluarkan aroma daging panggang yang cukup menggiurkan.

"Apakah sudah berakhir?"

Kemampuan deteksi milikku tidak lagi merespon sosoknya. Itu artinya ular tersebut telah benar-benar mati.

Kurasa untuk mengalahkan monster sekelas ini, sihir normal saja tidak cukup. Apakah ini berarti aku perlu mengasah sihir beruangku mulai dari sekarang? Aku tidak ingin, tanpa sengaja, membakar material dari monster buruanku karena kontrol sihir yang kurang baik.

Aku memasukkan mayat ular tadi ke dalam penyimpanan beruang. Misi telah selesai. Aku memanggil keluar Kumakyu dan memutuskan untuk kembali ke desa. Tampak Kai tengah berdiri di luar batas desa saat aku tiba di sana.

"Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?"

"Aku sedang menunggumu."

"Menungguku?"

"Ya, untuk jaga-jaga seandainya ular itu mengejarmu sampai kemari, aku bisa menjadi umpan dan memberimu waktu untuk melarikan diri," tukasnya dengan mata penuh tekad. Dia kemungkinan tidak main-main saat mengatakan hal itu.

"Kenapa?"

"Kau adalah pembawa informasi yang penting? Jika kau mati, maka pengorbanan paman Domgol, yang sudah membantuku lari untuk memanggil bantuan, menjadi sia-sia."

Aku takjub dengan anak-anak di dunia ini, semuanya punya tekad yang kuat. Aku dengan lembut mengelus kepala Kai.

"Nona?"

"Tenang saja. Ularnya sudah kukalahkan," ucapku, mencoba menghiburnya. 

"Huh?"

"Bisakah kau panggil para warga kemari? Aku ingin menunjukkan buktinya pada mereka."

Aku tersenyum.

"Mundurlah sedikit."

Segera setelah Kai berada di jarak yang cukup aman, aku mengeluarkan mayat Black Viper dari dalam penyimpanan beruang.

"Apa makhluk itu telah mati?" tanyanya.

Aku melayangkan tinjuku ke mayat tersebut untuk menghilangkan keraguannya. Merespon pukulan dariku, mayat ular itu sama sekali tidak bergerak.

"Oh, benar ternyata..."

Kai dengan takut-takut menyentuh tubuh raksasa ular itu. 

"Aku akan memanggil semua orang."

Dia kemudian berlari ke desa.

Setelah beberapa saat, para warga keluar dari rumah mereka dan berbondong-bondong datang kemari.

"Apa kau yang mengalahkannya?"

"Ini mayat Black Viper sungguhan."

"Apa makhluk ini benar-benar telah mati?"

Beberapa warga menangis haru, mengetahui ular yang selama ini mengancam mereka telah mati.

"Apa gadis beruang itu yang mengalahkannya?"

"Te-terima kasih."

"Terima kasih banyak."

"Terima kasih, nona."

Tidak ada yang mempermasalahkan penampilanku, semuanya berterima kasih. Ayah Kai keluar dari balik kerumunan dan menghampiriku.

"Nona, maaf untuk yang sebelumnya. Juga, terima kasih. Kau telah menyelamatkan kami." Dia menundukkan kepalanya.

"Tak usah khawatir soal itu. Orang lain pasti akan berpikiran sama jika ada seorang gadis berkostum aneh mengatakan mampu mengalahkan seekor ular raksasa."

"Jika butuh sesuatu, tolong katakan saja. Aku akan memenuhinya selama itu masih dalam kesanggupanku. Lagi pula, kau adalah penyelamat kami."

"Tidak ada yang kuinginkan secara khusus. Tetaplah menyambung hidup demi putramu yang pintar ini."

Sementara ayah Kai meminta maaf, seorang pria tua muncul di sebelahnya. Lagi-lagi wajah baru. Kali ini siapa?

"Aku adalah kepala desa di sini, namaku Zun. Terima kasih banyak karena telah menyelamatkan desa kami." Pria tua itu menundukkan kepalanya.

"Jika saja aku datang lebih cepat..."

"Tidak, kami sudah mendengarnya dari Kai. Kau langsung bergegas kemari begitu mendengar apa yang dia ceritakan. Bisa datang dalam setengah hari itu terbilang cukup cepat. Kupikir akan butuh beberapa hari sampai bantuan datang. Jadi, tidak perlu membebani dirimu atas orang-orang yang sudah tiada, nona."

Sungguh, aku tidak tahu harus berkata apa.

Kepala desa berbalik, menatap kerumunan massa.

"Kalian pasti sudah lama tidak makan makanan yang layak. Mungkin telat untuk mengatakan hal ini, tapi mari berpesta."

Ucapan kepala desa disambut gembira oleh para warga. 

"Tidak banyak yang bisa kami suguhkan, tapi silahkan bergabung."

Kepala desa kembali menunduk, sebelum akhirnya pergi untuk menyiapkan pesta. Para warga keluar dari rumah masing-masing sambil membawa bahan makanan. Mereka kemudian menyalakan api di tengah desa dan mulai memasak berbagai hidangan. Mereka menari, tertawa, makan, dan membuat keributan. Semua itu mereka lakukan sebagai bentuk penghormatan bagi orang-orang yang sudah tiada dan rasa syukur karena masih diberikan hidup.

Sementara aku bersantai menikmati pemandangan tersebut, para warga satu per satu datang. Mereka menghampiriku untuk menyuguhi makan atau sekedar ingin mengucapkan terima kasih. Aku sudah seperti bahan pertunjukan bagi anak-anak. Mereka terus saja menyentuhku. Aku bisa melihat orang tua anak-anak itu kewalahan dengan tingkah laku mereka.

Pesta berlanjut sampai larut, dan aku berakhir menginap di rumah kepala desa.




TL: Boeya
EDITOR: Zatfley

0 komentar:

Posting Komentar