Volume 2 :
Chapter 42. Beruang Pergi ke Panti Asuhan
Berkat kostum beruang putih yang kukenakan saat tidur, aku bangun dalam keadaan segar bugar. Aku mengeluarkan beberapa telur dari penyimpanan beruang, memasaknya, dan memadukannya dengan roti dan sayuran. Sepotong sandwich siap disantap. Sedikit lagi—seandainya ada nasi, shoyu, dan miso, aku bisa menikmati sarapan pagi layaknya di jepang dulu.
Sebenarnya hari ini aku diminta datang ke guild oleh Guildmaster, tapi karena dia tidak menentukan secara khusus kapan waktunya, aku memutuskan untuk pergi setelah sarapan. Aku segera dibawa ke ruangan Guildmaster oleh salah seorang pegawai setibanya di sana.
"Kau datang lebih cepat dari perkiraanku."
"Aku langsung tidur begitu sampai di rumah kemarin. Bukannya kau sendiri sama, sudah di sini pagi-pagi sekali?"
Guildmaster sudah di ruang kerjanya, bahkan sebelum aku datang.
"Aku tidak tidur semalaman karena tumpukan pekerjaan yang belum selesai dan banyaknya surat permintaan masuk dari orang-orang yang menginginkan material Black Viper."
"Material Black Viper?"
"Rumor tentang dirimu mengalahkan Black Viper sudah tersebar luas, jadi banyak penawaran yang masuk untuk materialnya."
"Aku kan belum memutuskan apakah akan menjualnya atau tidak."
"Aku mengerti, tapi meski kau bilang begitu, bukannya akan menjengkelkan jika para saudagar dan pandai besi yang menginginkannya mulai mendatangimu?"
"Apa memang sepopuler itu?"
"Yah, sisiknya adalah bahan baku yang bagus untuk pembuatan armor—kuat, ringan, dan punya resistensi bagus terhadap sihir. Banyak petualang yang menginginkannya. Dagingnya juga cukup enak untuk dimakan. Semua bagian dari ular itu bisa diuangkan. Kau bisa mengolah taringnya untuk berbagai kebutuhan, dan tergantung dari ukuran spesiesnya, ada kemungkinan kristal sihir yang terkandung di dalam Black Viper punya tingkat kelangkaan B. Dengan kata lain, tak ada seorang pun yang tidak menginginkannya."
"Jadi maksudmu aku harus menjualnya?"
"Menjualnya atau tidak, itu terserah padamu. Namun, jika kau tidak menjualnya..."
"Orang-orang akan terus mendatangiku dan berusaha menawarnya?"
"Tepat sekali. Dari perspektifku selaku guildmaster, kau sebaiknya menjualnya langsung kepada kami daripada menjualnya kepada orang lain."
"Aku tidak keberatan menjualnya, tapi aku menginginkan kristal sihirnya dan beberapa bagian yang lain."
Kristal sihirnya mungkin akan berguna di masa depan.
"Oke, tidak masalah. Bisa mendapatkan daging dan sisiknya sudah lebih dari cukup bagi kami."
"Jadi di mana aku harus meletakkannya? Memilahnya di gudang mustahil, bukan?"
Guildmaster termenung dan tampak kebingungan.
"Kita harus melakukannya di luar."
"Di luar?"
"Tidak akan ada yang protes jika pemilahannya dilakukan di luar gerbang kota, bukan? Maaf kalau mendadak, tapi bisakah kau membawa mayatnya ke sana sekarang?"
"Tentu."
Aku dan Guildmaster meninggalkan ruangan.
"Helen, kumpulkan semua pegawai yang bisa melakukan pemilahan dan buat seminimal mungkin pegawai yang tinggal agar gudang guild tetap beroperasi."
Helen bergegas dan mengumpulkan sekitar sepuluh orang secara keseluruhan, Gentz dan Fina termasuk di antaranya.
"Aku cuma berpikir kalau kita mungkin butuh lebih banyak orang," terang Gentz, mencoba menjawab raut terkejutku karena melihat Fina.
Aku dan para pegawai yang sudah dikumpulkan tadi bersama-sama pergi ke luar gerbang kota. Kami kemudian memilih tempat yang sekiranya tidak mengganggu pengguna jalan.
"Di sini sepertinya cocok."
Karena Guildmaster telah menyatakan demikian, aku pun mengeluarkan mayat Black Viper dari dalam penyimpanan beruang. Semua pegawai yang hadir terkejut dengan apa yang mereka lihat.
"Besar sekali."
"Apa benar gadis beruang itu yang mengalahkannya?"
"Aku heran, bagaimana mungkin mayat sebesar itu bisa muat di dalam tas sihirnya?"
"Apa menurut kalian kita bisa menyelesaikannya hari ini juga?"
"Dengar kalian, mayat ini tidak akan memilah dirinya sendiri, jadi berhentilah melamun dan lekaslah bekerja. Segera masukkan bagian yang sudah dipilah bersih ke gudang penyimpanan beku milik guild begitu semuanya selesai. Utamakan daging terlebih dahulu—kita gagal jika ada daging yang busuk. Sisik bisa masuk belakangan."
Para pegawai bersorak dengan penuh semangat.
"Jadi, Yuna, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Aku?"
"Kau mau melihatnya atau pulang?"
"Jadi aku boleh pulang?"
Jika memang boleh, aku lebih memilih pulang. Aku tidak tertarik melihat pemotongan ular raksasa.
"Tentu, tidak masalah. Kami akan membawa semua bagian yang sudah dipilah ke guild. Kau bisa menentukan bagian mana yang ingin kau ambil di sana."
"Baiklah, kurasa aku akan pulang. Kapan kira-kira pemilahannya akan selesai?"
"Tidak tahu. Aku akan mengirim orang ke rumahmu begitu pemilahannya selesai."
"Kalau begitu, tolong kirimkan Fina—dia sudah kuberi akses keluar masuk dengan bebas ke rumahku."
"Oke."
Langsung pulang ke rumah rasanya akan membosankan, jadi aku memutuskan untuk mampir ke alun-alun kota dan mencari makan siang di sana. Aku menikmati waktuku berjalan-jalan di alun-alun setelah membeli makan siang. Aku bisa tenang karena makanan yang sudah masuk ke dalam penyimpanan beruang akan tetap pada kondisi awalnya. Ketika sedang berkeliling, aku mendapati sejumlah anak dengan pakaian kumal berdiri di pojokan jalan.
Aku berjalan ke kios terdekat. Itu adalah kios yang menjual sate daging serigala.
"Oh, gadis beruang, selamat datang! Tidak biasanya melihatmu mampir pagi-pagi sekali."
Kios ini sudah menjadi langgananku. Aku memesan setusuk sate dan bertanya mengenai anak-anak tersebut.
"Ah, mereka adalah anak-anak dari panti asuhan. Mereka memang sesekali datang ke sini."
"Untuk apa?"
"Menunggu sisa-sisa makanan dari pelanggan yang datang."
"Menunggu sisa makanan?"
"Mereka mengais sisa-sisa dari pelanggan yang tidak menghabiskan makanannya. Kami tidak keberatan karena dari awal itu memang makanan yang sudah dibuang, tapi pemandangan tersebut membuat orang-orang tidak nyaman."
Aku mengembalikan pandanganku kepada anak-anak tadi. Yang paling muda tampaknya berkisar pada umur lima tahunan. Aku berani bertaruh tidak ada yang berumur lebih dari dua belas tahun.
"Paman, tolong satenya, dua puluh tusuk."
"Hentikan saja. Kau mungkin bisa memberi mereka makan hari ini, tapi bagaimana dengan besok? Daripada menolong setengah-setengah, lebih baik tidak usah," ucap si penjual. Aku mengerti maksud perkataannya. Jika yang di sana itu adalah orang dewasa, aku mungkin akan mengabaikannya, tapi aku tidak bisa diam saja saat melihat anak kecil menderita.
"Apakah tidak ada kucuran dana dari kota untuk panti asuhan?"
Aneh rasanya jika panti asuhan tidak mendapat bantuan sosial sama sekali.
"Aku tidak tahu. Bisa jadi dananya tidak sampai, atau dana yang diberikan cuma sedikit. Yah, jika boleh berasumsi, kurasa dana yang masuk memang tidak banyak."
Cliff memang tampak seperti penguasa yang baik, tapi opiniku terhadapnya langsung berubah seketika itu juga. Aku kembali meminta dua puluh tusuk sate yang sudah kupesan tadi.
"Aku sudah memperingatimu loh."
Aku mengambil pesananku dan menyebrang ke pojokan jalan, di mana anak-anak itu berkumpul. Mereka menatap dalam-dalam saat melihat aku datang.
"Satu orang ambil satu."
Anak-anak itu saling memandang satu sama lain dalam kebingungan.
"Kami boleh memakannya?" tanya seorang gadis dengan suara lirih.
"Awas panas, makannya pelan-pelan saja."
Aku memberi gadis tadi satu tusuk. Dia segera memakan sate yang kuberi begitu menerimanya. Pemandangan tersebut membuat anak-anak yang lain mengambil jatah mereka dan mulai ikut makan juga.
"Nona, terima kasih banyak," ucap gadis tadi. Aku tentu tidak bisa membiarkan mereka begitu saja.
"Bisakah kamu mengajakku ke panti asuhan?" tanyaku kepada gadis itu.
Gadis tadi memiringkan kepalanya, tampak tidak paham dengan apa yang kukatakan.
"Kamu masih lapar, kan? Mau makan lagi? Aku punya banyak daging yang bisa dimakan beramai-ramai, jadi bisakah kamu mengantarku ke panti asuhan?"
Dia mengangguk pelan.
"Sebelah sini." ajak gadis itu.
Anak-anak yang lain ragu sejenak, sebelum akhirnya mengikuti kami dari belakang.
Kami berjalan cukup jauh sampai ke pinggiran kota, yang mana menurutku sedikit berlebihan untuk ditempuh anak kecil. Panti asuhannya mulai tampak dari kejauhan. Itu lebih tepat disebut bangunan usang tak layak huni yang terisolasi dari pemukiman setempat. Retakan di tembok, lubang di sana sini, bahkan kondisi atap yang memprihatinkan menambah kesan bobrok bangunan tersebut.
Jadi kondisinya seburuk ini ya? Pikirku. Tahu begini, aku tidak usah memberi Cliff pedang raja Goblin. Dia seharusnya lebih memperhatikan kesejahteraan rakyatnya daripada mencoba mencari muka di depan raja. Seandainya aku tidak memberikan pedang tersebut, aku mungkin bisa menjualnya untuk mendanai panti asuhan ini.
Ketika kami sampai di depan pintu, seorang wanita tua keluar dan menyambut kami.
"Maaf, anda siapa? Nama saya Bow, saya adalah kepala pengurus di panti asuhan ini."
"Namaku Yuna, seorang petualang. Aku melihat anak-anak ini di pusat alun-alun kota."
"Di pusat alun-alun kota... kalian pergi ke sana lagi?"
Ibu kepala pengurus memberikan tatapan penuh arti kepada anak-anak. Mereka semua kemudian meminta maaf.
"Sudah, tidak apa-apa," ucapnya. "Lagipula ini salahku karena tidak bisa memberi kalian makanan yang cukup. Maaf, apa mungkin anak-anak ini telah menyebabkan masalah kepada anda?"
"Tidak, hanya saja mereka terlihat kelaparan."
"Saya mohon maaf. Mungkin memalukan untuk mengatakannya, tapi tidak banyak yang bisa anak-anak ini makan di panti asuhan," terang ibu kepala pengurus. Wajahnya tertunduk malu setelah mengucapkan kata-kata tersebut.
"Apa panti asuhan tidak mendapatkan dana dari kota?"
"Sejak tahun lalu, dana yang masuk kian menipis setiap bulannya. Tiga bulan lalu adalah kali terakhir kami menerima kucuran dana."
"Mereka menghentikannya...?"
Dasar penguasa itu...
"Ya, mereka bilang tidak ada cukup dana untuk disalurkan kepada kami."
"Lalu bagaimana cara kalian mendapat makan selama ini?"
"Kami biasanya meminta produk-produk yang sudah rusak dan tak layak jual dari rumah makan, penginapan, atau kios-kios setempat yang menjual buah-buahan dan sayur."
Si Cliff sialan itu...
Aku bisa merasakan darah di kepalaku naik.
"Meski demikian, tidak banyak yang kami peroleh, jadi anak-anak terkadang pergi ke alun-alun untuk mencari tambahan makan..."
"Ibu kepala, aku ingin berbagi beberapa bahan makanan kepada panti asuhan. Tolong biarkan anak-anak ini memakannya."
Aku meminta mereka memanduku ke dapur. Di sana aku mengeluarkan setumpuk daging serigala yang sudah dipilah bersih oleh Fina. Karena memakan daging saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi harian, aku juga mengeluarkan beberapa pasok roti dan satu drum penuh berisi jus jeruk.
"Um, Yuna-san..."
"Tolong bantu aku, ibu kepala. Namun sebelum itu, apa pengurus di sini cuma anda seorang?"
"Tidak, ada satu gadis lagi bernama Liz, tapi sekarang dia sedang keluar untuk memasok bahan makanan."
Kami mulai memanggang daging serigala, memotong-motong roti, dan menuangkan jus jeruk ke dalam gelas-gelas. Kami kemudian menatanya dengan rapi di atas meja makan.
"Semuanya kebagian, jadi tolong pelan-pelan saja makannya."
"Semuanya, berterima kasihlah kepada Yuna-san."
Anak-anak mulai makan setelah ibu kepala pengurus mempersilahkan. Mereka makan dengan sangat lahap, seperti pekerja kasar yang baru selesai dari pekerjaannya.
"Yuna-san, terima kasih banyak. Aku akhirnya bisa melihat anak-anak tersenyum setelah sekian lama."
"Aku masih punya banyak daging serigala, jadi jika kurang, anda bisa memasaknya lagi."
"Terima kasih."
Aku menyaksikan sebentar anak-anak itu makan, kemudian pergi diam-diam keluar. Beberapa anak menyadari dan mulai mengikuti.
"Nona beruang, kemana kamu akan pergi?"
"Aku berpikir untuk melakukan beberapa perbaikan. Lubang-lubang di tembok ini pasti mengganggu, bukan?"
Aku memastikan setiap retakan dan lubang, kemudian menambalnya dengan sihir tanah.
"Itu sangat menakjubkan, nona beruang"
"Dapatkah kalian menunjukkan padaku bagian mana lagi yang harus kuperbaiki?"
Karena ini adalah rumah mereka, mereka pastinya lebih tahu bagian-bagian mana saja yang butuh perbaikan. Aku mengikuti arahan mereka dan mulai memperbaiki dinding luar. Aku juga memeriksa atap, tapi karena aku tidak tahu bagian mana yang bocor, aku terpaksa menambal semuanya. Aku selanjutnya pindah ke dalam untuk memperbaiki dinding dalam. Ibu kepala pengurus tampaknya memperhatikan dan bertanya padaku apa yang kulakukan. Aku menjelaskan padanya kalau aku sedang memperbaiki tembok.
Aku beralih ke ruang tidur dan mendapati banyak ranjang dalam satu ruangan. Meski demikian, aku bisa melihat sedikit upaya yang dilakukan untuk memisahkan sisi tempat tidur laki-laki dengan sisi tempat tidur perempuan.
Setiap ranjang memiliki sepotong kain tipis di atasnya. Mungkinkah mereka menggunakan itu sebagai selimut? Pikirku. Aku tidak berpikir kain setipis itu bisa menjaga mereka tetap hangat.
Aku menghitung jumlah semua kasur. Seluruhnya ada dua puluh tiga. Aku mengeluarkan tiga puluh potong bulu serigala, kemudian menyerahkannya kepada ibu kepala pengurus.
"Yuna-san?"
"Tolong bagikan ini kepada anak-anak. Ada lebihnya untuk ibu kepala juga. Sisanya bisa disimpan untuk jaga-jaga."
Aku kembali memeriksa setiap ruangan dan menyelesaikan pekerjaanku.
Aku mendapati anak-anak telah selesai makan saat aku kembali. Anehnya, daging serigala yang kusiapkan tidak mereka habiskan.
"Kalian tidak menghabiskannya?"
"Ya. Jika boleh, aku ingin menyimpannya untuk besok. Anak-anak juga bilang ingin menyisakannya agar bisa dimakan lagi besok."
"Oh, maaf. Aku lupa bilang—sebenarnya aku sudah menyiapkan kalian jatah makanan selama beberapa hari, jadi kalian tidak usah khawatir kalau ingin menghabiskan yang ini."
Aku kali ini mengeluarkan lebih banyak potongan daging serigala dan roti.
Jika ada sebanyak ini, mereka harusnya baik-baik saja selama beberapa hari ke depan.
"Um, mengapa kamu melakukan semua ini untuk kami?"
"Jika orang dewasa tidak makan, itu salah mereka sendiri karena tidak bekerja. Namun anak-anak berbeda, mereka adalah tanggung jawab orang tua. Jika orang tua mereka tidak ada, maka orang-orang dewasa di sekitar merekalah yang harusnya merawat mereka. Itulah alasanku membantu mereka."
"Te-terima kasih banyak."
"Aku sedikit kenal dengan tuan tanah di sini. Aku akan coba bicara dengannya dan meminta agar dana untuk panti asuhan dihidupkan kembali."
Selain itu, aku belum bisa tenang jika belum bicara empat mata dengan Cliff.
"Kumohon jangan."
"Kenapa?"
"Tuan tanah sudah membiarkan kami tinggal tanpa menarik biaya sepeser pun. Jika kami membuat beliau marah dan beliau mengusir kami dari sini, maka kami tidak akan punya tempat lain untuk tinggal."
"Bukankah itu artinya tuan tanah sangat kejam?"
"Aku tidak bisa memvonis beliau seperti itu..."
"Tapi dia kan sudah memutus dana untuk panti asuhan."
"Diberikan tempat untuk tinggal saja, kami sudah bersyukur."
Cliff sialan. Aku mulai berpikir untuk meninjunya daripada harus bicara empat mata dengannya.
"Kalau begitu, aku pulang dulu."
"Ya, um, terima kasih banyak."
"Apakah kamu akan pulang, nona beruang?"
Anak-anak mulai mengerumuniku.
"Ya, tapi aku akan mampir ke sini lagi nanti."
Aku mengelus kepala mereka.
"Lihat, Yuna-san kerepotan kan. Semuanya, ayo bilang terima kasih ke Yuna-san."
"Terima kasih banyak, nona beruang."
"Terima kasih."
Anak-anak tadi tersenyum. Melihat mereka bahagia membuatku senang.
0 komentar:
Posting Komentar