Minggu, 07 April 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 6: Para Anak Lelaki Tetangga

 Volume 01

Chapter 6: Para Anak Lelaki Tetangga



Ibu pergi bekerja, meninggalkan Tuuli dan aku di rumah. Info yang bisa aku dapatkan hanya berasal dari Tuuli, karena dia yang selalu bersamaku.

“Tuuli, apa kamu tempat beli (kertas) dimana?”
“Tadi tanya apa, Myne?”
“Aku tanya (kertas).... Ah!”

Tuuli memiringkan kepalnya, rambut kepangnya ikut bergerak, aku merasa pernah melihat postur yang dia tampilkan sekarang. Dia menunjukkan ekspresi yang sama ketika dia mendengar kata yang aku sebutkan dalam bahasa Jepang, pasti dia tidak mengerti lagi. Aku tidak tahu cara mengucap kata “kertas” di dunia ini.

Oh tidak....! Aku harusnya tanya pada pria penjual alat itu soal kertas itu apa!

“Um, Tuuli, jadi kamu tidak tahu apa itu (kertas)...?”
“Maaf. Aku tidak tahu. Tapi ucapanmu terdengar aneh dan lucu.”

Pundakku turun dan aku menghela nafas kecewa. Sebenarnya, cari toko yang jual buku bukan satu-satunya masalah yang aku hadapi. Aku juga tidak tahu dimana tempat beli pena atau pensil. Melihat dari keadaan rumah dan zaman yang ada di kota ini, aku ragu aku akan menemukan toko yang jual pena tipe bolpoin atau pensil mekanik. Ada kemungkinan juga pensil masih belum ditemukan.

Kalau begitu, apa, alat tulis macam apa yang aku pakai? Dan apa cara yang perlu aku lakukan agar mengusai alat tulis itu? Mau ada atau tidak, halangan yang sering aku hadapi adalah kurangnya uang dan sedikitnya tenaga tubuh yang aku miliki untuk mencari bahan-bahannya. Perkara ini tidak akan mudah aku atasi.

“Aaaah! Aku tidak mengira Ayah lupa bawa ini?”

Aku mendengar Tuuli teriak di dapur jadi aku lihat apa yang jadi masalah. Dia sedang mengangkat barang yang sudah dibungkus... isinya tidak aku ketahui.

Seingatku, Ayah sedang mengantuk dan meminta siapkan sesuatu pada Ibu, “buatkan untukku sekarang, nanti kerja mau dibawa,” yang mana pemintaannya itu agak membuat Ibu sedikit kesal karena Ibu setiap paginya dipenuhi dengan kesibukan dan Ayah tidak bilang dari kemarin. Ibu sudah buatkan yang dimintanya dalam waktu sibuknya itu dan Ayah lupa untuk membawanya. Aku merasa aura dingin mengalir di darahku begitu memikirkan marah macam apa yang akan dikeluarkan Ibu begitu dia tahu ini.

“Tuuli, Ibu pasti akan marah soal ini, betul kan? Kamu sebaiknya antarkan ini ke Ayah?”
“Kamu sepemikiran juga...? Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian, Myne...”

Dia pergi untuk cuci piring, aku menyelinap keluar dari kamar dan dia temukan aku dalam keadaan menangis. Aku pergi bersama Ibu ke pasar dan aku pingsan di sana. Rasa percaya keluargaku padaku telah jatuh ke bawah dan rupanya Tuuli tidak berpikir lagi untuk meninggalkan aku di rumah sendirian.

“Tapi, nanti Ayah yang kena masalah jika tidak bawa ini?”
“... Myne, apa kamu bisa jalan lama sampai gerbang?”

Tuuli putuskan untuk mengajakku daripada meninggalkan aku di sini sendirian. Aku sedikit khawatir, mengingat kejadian yang aku alami di pasar, tapi aku lebih takut lagi marahnya Ibu nanti.

Aku kepalkan telapak tanganku dan mengangkatnya ke atas untuk menunjukkan tekadku.

“A-aku akan coba sebisanya.”
“Ok, ayo.”

Aku pakai baju berlapis lagi, sama seperti aku pergi belanja bersama Ibu, membuat aku jadi manusia bungkus berlapis-lapis. Baju berlapis ini tidak untuk tampil menarik, ini merupakan usaha agar aku terjaga dari suhu dingin. Sebagai tambahan, aku kasih tahu pakaian apa saja yang aku pakai, dua pasang pakaian dalam, dua baju dari wol, satu sweter wol, dua celana panjang dari wol, dan dua pasang kaus kaki wol. Ketika pergi keluar rumah, aku pakai semua itu.

“Tuuli, berat sekali aku sulit jalannya.”
“Iya, tapi kamu harus pakai semua itu agar tidak ada celah angin masuk. Siapa tahu ada angin yang lewat tanpa kita sadari? Kamu itu mudah kena demam, Myne, jadi harus kamu pakai semaunya.”

Aku punya harapan Tuuli akan sedikit beri aku ruang daripada Ibu, tapi rasa tanggung jawabnya tinggi yang membuatnya mencegah aku keluar rumah tanpa pakaian berlapis itu agar memastikan aku tetap dalam keadaan hangat dan aman dari penyakit. Akhirnya aku menyerah dan pakai semua itu, tapi soal aku sulit gerak itu benar.

Tuuli tidak pakai berlapis seperti aku karena tubuhnya yang sehat. Selain itu dia punya stamina yang banyak berkat dia sering pergi ke hutan bersama anak-anak lain dan dia juga diberi tugas dari Ibu untuk membantu keperluan rumah yang membuatnya sering pergi ke kota.

Baik stamina dan kelincahan, aku kekurangan keduanya. Yang aku miliki hanyalah beban berat dari pakaian yang aku kenakan.


“Kamu masih kuat, Myne?”
“Haaah, haaah.... Jika, kita jalannya, pelan saja....”

Sama seperti sebelumnya, aku kehabisan nafas begitu sampai di bawah menuruni tangga. Jadi, aku jalan sesuai kecepatanku. Aku hanya akan mempersulit Tuuli jika memaksakan diri jalan cepat dan berakhir pingsan di jalan. Cukup penting untuk membangun rasa percaya darinya secara perlahan-lahan.

... Tapi sungguh sulit, berjalan di trotoar batu ini.

Jalanannya cukup bergejolak dan aku bisa saja jatuh jika tidak lihat kemana aku memijak. Aku pegang tangan Tuuli dan agar aku dibimbing arah jalannya dan bisa fokus melihat pijakkanku.

“Huh? Halo, Tuuli! Sedang apa di sini?”

Aku angkat kepala untuk melihat ke depan karena ada suara anak laki-laki dari kejauhan. Tiga anak laki-laki lari menghampiri kami, mereka menggendong keranjang dan juga bawa busur serta anak panahnya. Warna rambut mereka seperti kombinasi pelangi, mulai dari merah, emas dan merah jambu, secara berurut. Rasanya agak sulit memalingkan pandangan dari rambut kepala mereka.

Abu-abu muda adalah warna pakaian mereka, terdapat noda tanah dan sedikit makanan yang menempel. Desain pakaian yang semakin usang menandakan pakaian yang mereka kenakan ini adalah pakaian pemberian, dan wajah mereka yang terbilang cukup sama juga jadi penanda mengapa pakaian mereka serupa, aku bisa menebak kami sama-sama miskin.

“Ah, Ralph! Hei Lutz, Fey!”

Tuuli cukup dekat dengan mereka, aku anggap Myne pernah menghabiskan waktu bersama mereka waktu dulu. Aku sentuh keningku dan berpikir dalam, mencari dalam ingatannya. Mmm... Ah, itu ada mereka. Huh. Rupanya mereka tetangga kami.

Ralph seumuran dengan Tuuli. Dia yang berambut merah dan paling tinggi di antara mereka bertiga. Dia seperti ketua bagi para anak-anak lain, banyak dari mereka yang menganggap dia sebagai kakak mereka.

Fey juga seumuran dengan Tuuli. Dia yang berambut merah jambu dan punya wajah paling menggambarkan seorang tukang jahil di dunia ini. Mungkin karena punya perasaan takut menyakiti Myne, gadis lemah dan sering sakit, secara tidak sengaja, dia selalu biasa mengambil jarak darinya. Myne tak punya banyak ingatan soal dia.

Lutz adalah adiknya Ralph dan yang berambut pirang emas. Kami seumuran. Dia berusaha bersikap seperti kakak yang tegas di hadapan Myne, yang mana aku menganggap itu tindakan yang menggemaskan. Seperti berusaha terus berjinjit agar terlihat tetap tinggi.

Sudah jadi keseharian Tuuli untuk pergi ke hutan bersama mereka, dan rupanya mereka pernah membawa Myne ke sana beberapa kali. Ingatan soal itu lebih jelas dibanding ingatan yang lain.

Selama aku mencoba mengingat-ingat itu, Tuuli sedang seru berbicara dengan Ralph.

“Ayah aku lupa bawa ini, jadi kami sedang berjalan ke gerbang. Apa kalian bertiga lagi perjalanan mau ke hutan, Ralph?”
“Ya. Ayo kita jalan bareng sampai gerbang.”

Tersenyum lebar berbicara dengan Ralph membuat jelas padaku bahwa bagi Tuuli cukup terbebani mengurusiku. Masuk akal sekali, karena pergi ke hutan pastinya lebih menyenangkan daripada urus aku di rumah.

Um... Maafkan aku sudah jadi adik yang kurang baik. Tapi demam aku mulai menghilang akhir-akhir ini, jadi aku rasa kamu bisa pergi keluar sebentar lagi. Pergi keluar yang aku maksud, aku ingin kamu bantu aku cari toko yang jual kertas, jika kamu masih mau berbaik hati padaku.

Laju jalan Tuuli bertambah cepat begitu dia berjalan bersama dengan Ralph dan saudara-saudaranya. Karena kami jalan sambil bergandengan tangan, dia akhirnya menarik aku yang berada di belakangnya dan aku tersandung jatuh.

“Oh tidak!”

Tuuli berhenti di hadapanku, aku tidak sepenuhnya jatuh, aku berhasil bertahan jatuh berdiri setengah lutut.

“Maaf, Myne. Kamu tidak apa-apa?”
“... Uh iya.”

Aku tidak terluka, tapi rasanya sulit berdiri lagi setelah jatuh sampai tanah. Aku ingin tetap dalam keadaan ini dan lanjut tidur. Rasanya sesak sekali untuk bernafas, pikirku sebelum akhirnya ada tangan yang diulurkan padaku.

“Hei, Myne. Mau aku gendong?”

... Lutz, baik sekali kau! Aku coba cari di ingatan Myne dan aku lihat dia selalu diperlakukan seperti anak kecil oleh Ralph dan Fey, jadi dia selalu berperilaku seperti kakak tangguh dihadapan Myne, padahal umur mereka sama. Dia akan bawakan barang bawaan Myne, melindungi Myne disaat sedang lelah, dan segala tindakan lainnya yang membuat dia seperti pria gentel yang punya masa depan cerah. Perlu diketahui kalau aku itu lebih familiar dengan orang berambut warna pirang bukan merah jambu atau hijau, jadi berada disekitarnya sudah membuatku tenang.

“Myne, kau masih sakit, bukan? Pastinya kau pusing. Sini aku bantu dengan menggendongmu.”

Aku menghargai niat baik Lutz. Tapi tetap saja aku punya ukuran tubuh lebih kecil darinya, padahal dia masih seumuran denganku. Aku merasa tidak enak digendong olehnya, karena aku khawatir bila dia jatuh karenaku. Aku masih memperdebatkan terima atau tidak bantuan darinya tapi tak lama Ralph menyela kami dengan helaan nafas dan menurunkan bawaannya.

“Kita tak akan sampai hutan jika Lutz yang menggendongnya. Ayo, Myne, akan aku gendong kau. Lutz, bawakan busurku. Fey bisa bawakan keranjangku.”
“Ralph...”

Lutz pelototi Ralph dengan tatapan sedikit frustrasi. Mungkin dia merasa niat baiknya disingkirkan.

“Kamu yang pertama khawatir soal aku, Lutz. Kamu baik sekali. Terima kasih. Aku merasa senang.”

Aku tersenyum lebar dan memberi Lutz jabat tangan sebentar dan ucapan terima kasih tadi.

Lutz, kelihatan puas karena melihat ada orang yang menyadari hal baik yang akan dia lakukan, dia tersenyum malu dan pelan-pelan mengambil busur Ralph.

“Yuk, naik.”
“Uh iya. Makasih, Ralph.”

Aku jalan mendekati Ralph dan merangkang naik ke punggungnya, yang lebih besar dari punggung Tuuli. Rasanya malang sekali saat aku tahu membuat seorang anak laki menggendongku, tapi bagi gadis kecil sepertiku tidak perlu khawatir soal rasa malu. Tak perlu!

Aku sudah naik di punggung Ralph dan dia mulai melangkah maju dengan kepala tegak. Pandangan kota yang aku lihat bertambah tinggi sekitar empat puluh sentimeter dari tinggi tubuhku. Untuk lebih spesifiknya, sebelumnya aku habiskan waktu melihat jalan batu yang aku lewati, tapi sekarang aku bisa melihat ke depan dan melihat banyak bangunan dari kejauhan. Bukan hanya itu, karena dia melangkah lebih cepat dariku, jadi bangunan yang kami lewati lebih cepat terjadi.

“Wow, tinggi sekaliii! Cepat jugaaa!”
“Jangan terlalu girang, oke? Nanti kau tambah sakit lagi.”
“Uh iya. Aku akan hati-hati.”

Tapi luar biasa juga, anak laki yang ditugaskan bawa kayu bakar ke rumah berakhir punya banyak tenaga. Dia punya banyak otot padahal diumurnya yang masih kecil. Tidak ada anak-anak sekolah dasar di Jepang yang punya postur tubuh seperti dia. Tapi masih saja bukan suatu hal yang bisa dibandingkan karena perbedaan lingkungan hidup dan keturunan yang membedakan kami.

Itu hal yang penting juga karena tidak aku bandingkan kota ini dengan tempat-tempat yang ada di Jepang. Aku tidak seharusnya menilai orang-orang ini berdasarkan tampilan kumuh selokan kota ini, atau perilaku keledai sini yang buang kotoran di jalanan kota ... H-hei, bukan berarti aku rela melihat hal-hal yang menjijikkan ini! Yang terjadi di sini sangat berbeda jauh dari apa yang aku lihat di Jepang yang merupakan hal menarik bagi mataku!

Kami pastinya tadi melewati area pengrajin, berbeda dengan toko dekat pasar, aku tidak bisa melihat barang dagang di lantai satu toko. Toko dekat pasar didesain agar barang dagang mereka bisa dilihat dari luar, toko area sini hanya memperlihatkan lambang atau gambar barang yang mereka jual di atas pintu toko, tidak ada yang lain atau bagian depan yang terbuat dari kaca jendela. Bukan hanya itu, semua bangunan di sini punya desain dan warna yang sama. Karena jika bukan karena itu, kedua mata aku tidak akan terpancing untuk melihat kesana karena bagian tembok kotor yang kena debu jalanan. Debunya yang terlalu mencolok, bukan salah mataku!

“Ralph, kau masih kuat? Myne tidak berat, kan?” tanya Tuuli, sambil melihat baik-baik Ralph dan aku, wajahnya kelihatan penuh dengan rasa khawatir.

Ralph sedikit putar kepala sambil mengatur-atur posisi aku diam di pundaknya lalu dia seperti melihat kearah yang begitu jauh.

“Masih aman. Myne ini kecil dan ringan sampai kurang kerasa beratnya. Kau pastinya akan repot jika kau bawa dia jalan dan kambuh lagi sakitnya?”

Menilai dari ekspresi malu dari wajah dan nada bicaranya, rupanya dia ingin membantu Tuuli. Atau ada kata lainnya, dia ingin Tuuli merasa terbantu atas tindakannya.

Ohoho, lelaki muda Ralph. Kau lagi incar Tuuli, kesayanganku? Memang ada yang bilang jika ingin jatuhkan sang jendral, maka jatuhkanlah kudanya terlebih dahulu. Mmm, tak masalah jika aku dianggap jadi kuda itu. Lanjutkanlah, tumbuhlah kisah asmara muda kalian! Jelas sekali, itu hanya perasaanku saja.

Tapi tak lama kemudian, Ralph menyentuh rambut kepang Tuuli dan mencium aromanya, dan berkata, “Tuuli, entah kenapa aku, merasa kau ini harum sekali.”

Sedang apa kau, jadi protagonis di manga shoujo?! Aku tak bisa berkata ini jadi aku usik ini dalam hati. Karena ya, Tuuli membalas ucapannya dengan berkata, “Sungguh? Terima kasih...” sedangkan wajahnya memerah. Siapa yang bisa salahkan aku?

Mereka ini masih kecil jadi aku ragu jika mereka saling jatuh cinta, tapi dalam dunia tanpa buku sebagai bahan hiburan, aku ingin kalian izinkan aku punya sedikit fantasi seperti itu dalam kepalaku. Aku belum pernah punya pengalaman hubungan cinta dalam hidupku padahal aku ini sebentar lagi lulus dari perkuliahan, dan dihadapanku ada Tuuli, dengan umur enam tahun memamerkan kisah asmara di masa muda. Aku tidak bisa apa-apa selain sedikit berfantasi soal itu dan menghibur diri.

Aku tahu apa yang orang-orang pikirkan, tapi jangan diumbar. “Mungkin kau itu akan lebih dikenal banyak pria jika tidak terus menghabiskan waktu membaca buku dan menjalani hidup dalam fantasi belaka selamanya.” Keluargaku dan tetanggaku sendiri Shuu sudah mengatakan hal yang sama padaku. Aku tidak mau dengar itu. Dasar Shuu berotak udang. Bodohnyaa.

Selagi aku mengingat masa-masa mengecewakan dalam hidupku sebagai Urano, kisah cinta masa kecil Tuuli dan Ralph berubah jadi kisah lebih lanjut yaitu cinta segitiga.

“Iya, betul. Kau memang harum.”
“Coba aku cium aromanya.”

Fey dan Lutz, keduanya membungkuk ke arah rambut Tuuli dan mencium aroma rambutnya. Jika mereka ini anak laki dan gadis yang berusia cukup, maka sudah dipastikan tidak jauh lagi mereka akan berusaha untuk memenangkan hati Tuuli.

“Rambutmu halus juga. Kau apa kan?”

Eheheheh. Benarkan? Ya, benar sekali. Atas kepuasan mereka yang tampak di wajah, aku mengangguk berkali-kali.

Aku sedang dalam proses memperbaiki tingkat kebersihan dalam rumahku. Aku keringkan bunga-bunga yang punya aroma harum dan aku masukkan itu ke dalam kotak tempat kami menyimpan baju, aku minta Ibu didihkan airnya sebelum dia gunakan untuk memasak, aku seka badan Tuuli ketika kami sedang mandi bersama, dan aku sisir rambutnya setelah dia basuh pakai kejamas. Kelihatannya buah matang hasil kerja kerasku mulai bermunculan.

Sekarang ini aku mulai terbiasa mencium bau tidak sedap yang ada di kota ini, tapi tetap saja aku masih merasa tidak kuat mencium bau badan Ralph dan saudaranya. Aku tidak bisa bilang itu secara terang-terangan karena keadaanku sedang digendong oleh Ralph, tapi rasanya aku ingin sekali membuat mereka ini mandi pakai sabun. Aku cukup kecewa karena di rumah kami hanya ada sabun binatang dan digunakan untuk keperluan bersih-bersih perabot rumah dan pakaian, tidak ada sabun tanaman yang digunakan untuk kebersihan tubuh dan beraroma harum setelah pemakaian. Aaah.... ingin sekali aku punya sabun harum.

Ketika aku sedang memimpikan dunia tanpa bau tidak sedap, Lutz menyentuh rambutku. Dia menghirup nafas dalam-dalam, seperti dia mencium aroma rambut Tuuli.

“Rambutmu harum juga, Myne.”

Lutz tersenyum ramah dan melihatku secara langsung dengan matanya yang berwarna hijau giok.

Oh... Oh tidak! Lutz punya kombinasi warna yang luar biasa cocok! Rambut pirang emas dan mata hijau giok, itu saja sudah membuat dia ini super keren, pria ganteng!

“Lalu, kamu kelihatan lebih cantik, aku bisa melihat wajahmu lebih baik lagi karena kamu ikat sedikit rambutmu kebelakang.”

Hyaaah! Satu pukulan terakhir! Dia ini masih kecil, tapi rasanya aku malu sekali! Aku tahu dia tidak berkata itu karena sengaja, tapi astaga! Tolonglah, jangan! Aku mungkin sudah berumur, tapi belum pernah dapat pengalaman seperti ini! Aku tidak tahu harus berbuat apa!

Hanya aku saja yang terdiam disana karena kebingungan. Yang lain sedang dalam diskusi mau melakukan apa begitu mereka sampai di hutan, atau membicarakan tinggal tersisa waktu berapa lama lagi sebelum salju turun. Lalu ada pembicaraan soal Lutz yang semakin mahir dalam memanah dan itu membuat aku semakin takut. Tuuli memberinya semacam apresiasi, tapi aku bisa diam saja karena terkejut. Hatiku masih berdetak.

... Apakah hal itu sangat normal bagi anak usia lima tahun yang hidup di sini? Um, ada apa dengan dunia ini? Aku gadis perawan Jepang yang baik dan berhati pemalu, tapi ini sudah berlebihan bagiku!





TLBajatsu

0 komentar:

Posting Komentar