Rabu, 17 April 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 8: Belajar dari Budaya Mesir

 Volume 01

Chapter 8: Belajar dari Budaya Mesir



Sekarang, menanggapi tekad besarku dalam pembuatan buku apa pun caranya, aku tidak bisa mendapatkan kertas. Jiwa rakyat Jepang dalam diriku memberi saran bahwa aku bisa pergi ke department store dan belilah lima ratus lembar kertas dengan harga dua ratus yen, tapi sayangnya dalam dunia ini, jatah utuh gaji satu bulan punya Ayahku akan hangus begitu digunakan untuk membeli satu lembar perkamen.

Dalam proses membuat selembar perkamen, perlu orang yang menguliti kulit binatang, membersihkan bulu binatang tersebut dari kulitnya, dan terakhir memotong kulit binatang itu jadi persegi agar mudah digunakan. Selembar perkamen yang aku lihat di tempat kerja Ayah punya ukuran kertas A4. Mau sekecil apapun aku bagi, jumlah lembar yang bisa aku dapatkan dari pembagian itu paling-paling lima sampai delapan lembar saja.

Dengan kata lain, perkamen yang ada sangatlah mahal harganya bagi rakyat miskin seperti diriku ini dan tidak mungkin bagi diriku ini untuk mendapatkan jumlah yang cukup agar bisa jadi satu buku. Untuk meluruskan masalah ini: Sebelum aku bisa membuat buku, maka aku perlu belajar cara membuat kertas. Tapi ilmu yang aku miliki dalam pembuatan buku hanya sebatas pengalaman mendaur ulang kertas dari bungkus susu. Sisanya hanya baca dari buku.

Pastinya ada orang-orang yang mengira akan cukup belajar dari baca buku saja untuk membuat sesuatu, benar bukan? Tapi coba pikirkan itu baik-baik, maka mereka akan sadar bahwa hal itu tidak semudah yang mereka kira.

Sejauh yang aku ketahui, tidak ada mesin pembuat kertas di dunia ini. Tanpa mesin itu, aku harus melakukan proses pembuatan kertas pakai tangan langsung. Sedangkan aku ini gadis kecil yang sakitan dan punya kekuatan anak berumur tiga tahun. Ada sedikit sekali proses yang bisa aku lakukan sendiri. Langkah pertama yang penting dalam pembuatan kertas adalah tahu jenis kayu, dan langkah itu saja sudah terbukti berat bagiku.

Kesimpulannya: Itu hal yang tidak mungkin untukku. Tapi masih terlalu awal untuk menyerah sekarang.

Pencatatan cukup penting baik untuk ekonomi dan politik, bumi punya catatan sejarah yang sangat luas. Sejarah tercatat dan tersimpan dalam ribuan tahun, tapi masih belum lama ini manusia baru mengembangkan mesin untuk pembuatan kertas. Singkatnya, semakin aku melihat ke sejarah, maka akan memungkinkan untuk aku membuat ulang cara penulisan sejarah yang dilakukan pada zaman itu.

Mmm... apa yang dilakukan peradaban tanpa mesin menuliskan sejarah mereka...? Aku lebarkan telapak tanganku selebarnya dan meliriknya. Peradaban zaman kuno, peradaban zaman kuno... pasti kalau membahas zaman kuno maka akan aneh bila tidak ambil peradaban Mesir sebagai contohnya! Membahas peradaban Mesir kurang lengkap bila tidak menyebut papyrus! Hidup zaman Mesir!

Menyambungkan poin-poin itu dalam ingatanku, aku sadar bisa membuat kertas papyrus yang ada di zaman Mesir. Di kalangan sosial itu dihadirkan kembali dalam bentuk teknologi terbaru dan sesuai dengan zamanku, jadi mungkin saja dengan tangan kecilku ini bisa aku buat.

Itu terbuat dari semacam tanaman.... aku tidak yakin jenisnya, tapi aku rasa bisa yang mana saja, karena, itu terbuat dari serat lurus yang ada di batang kayu atau batang basah... atau semacamnya.


Dunia ini punya tanaman sejenis itu. Aku yakin jika aku pergi ke hutan, pasti di sana ada banyak sekali tanaman yang cocok untuk membuat kertas.

... Oke, jadinya hutan. Ayo pergi ke hutan. Aku adalah wanita yang dapat rasa hormat dan juga keluhan dari keluarga dan teman-temanku atas kelincahan yang aku miliki begitu ada suatu urusan yang menyangkut buku. Aku segera bertindak begitu ada pikiran muncul di kepala.

Kalau soal ini, aku langsung meminta bantuan pada Tuuli agar aku bisa ikut bersamanya ke hutan.

“Tuuli, aku ingin pergi ke hutan juga. Boleh tidak aku iku---”
“Eh?! Myne, mau apa? Mustahil.”

Dia menolak keinginanku sebelum aku selesai ucapkan. Dari reaksi cepatnya punya arti dia tidak perlu pikir panjang untuk memberi jawaban padaku. Lalu dari nada dia bicara “mustahil” sudah memberi aku semacam ketegasan bahwa dia tidak akan berpikir ulang lagi meski aku coba yakinkan dia. Aduh.

“Kenapa mustahil?”
“Kamu kan tidak bisa jalan jauh-jauh? Jadi mustahil bagimu bisa jalan sampai ke hutan kalau misalnya jalan sampai gerbang saja tidak bisa. Selain itu begitu kita sampai di hutan, kita harus kembali dengan membawa kayu bakar dan buah-buahan yang kita ambil di sana. Selama itu, tidak ada waktu untuk istirahat. Bukan hanya itu, kamu juga tidak bisa memanjat pohon di sana. Apa kamu bisa jalan sampai rumah dalam keadaan membawa banyak barang yang akan melelahkanmu? Kita harus sekali kembali sebelum jam gerbang ditutup, kamu tidak bisa berhenti sejenak dan beristirahat dalam waktu lelahmu. Sudah mengerti? Jadi mustahil bagimu bisa ke hutan.”

Tuuli mengutarakan satu per satu, dia sebutkan semua alasan aku tidak bisa pergi ke hutan, dia lakukan itu sambil berhitung di jari. Ada banyak sekali alasan yang dia sebutkan, tapi itu semua bisa disimpulkan dalam satu kalimat “Kamu itu terlalu lemah”.

“Lalu, musim dingin akan segera tiba, jadi tak banyak kebutuhan kita yang bisa diambil sekarang....”

Dari penjelasan Tuuli, kelihatannya nanti jika aku pergi ke hutan aku tidak akan mendapat kebutuhan yang aku inginkan meski sudah bersusah payah jalan ke sana. Aku sendiri pasti akan sangat kecewa.

Antara aku ambil risiko tak dapat apa-apa di hutan, atau aku ambil keputusan menyerah membuat kertas. Tak ada pilihan yang mudah aku lakukan.

“Kamu mau cari apa di hutan? Aku rasa tidak ada buah meryl yang tersisa.” Tuuli memiringkan kepalanya dan berusaha memikirkan alasan lain aku ingin ke hutan.

Karena buah meryl adalah bahan utama dalam pembuatan kejamas serbaguna sederhana, kami perah minyak dari buah itu sepenuhnya jadi tidak kami makan sedikitpun. Kami gunakan minyak dari buah itu untuk pemeliharaan rambut kami mulai kini dan seterusnya. Aku terima buah meryl yang diberikan, tapi aku lebih mementingkan buku dibanding tampilanku. Aku perlu serat dari tanaman untuk membuat kertas papyrus.

“Ummm, apa ada rumut (berserat yang mudah dipisahkan)?”
“Huh? Apa?” Tuuli membalas tanyaku dengan ekspresi bingung. Apa yang tadi aku sebutkan pasti keluar dalam bahasa Jepang.

Mmm, aku pikirkan masalah itu, dan sudah aku usahakan agar aku tanyakan itu dengan ucapan yang sederhana.

“.... Apa ada rumput lurus, dengan batang tebal? Aku ingin batang rumput itu.”

Tuuli pegang kepala dan mencari jawaban untuk pertanyaanku. Apa aku membuatnya ingat pada rumput tertentu? Aku tunggu dengan sabar dia menjawab.

Tak lama kemudian, Tuuli mengangkat bahunya.

“Aku tahu, aku bantu saja Ralph dan Lutz.”
“Apa? Kamu bantu mereka, bukan buat mereka yang bantu kita?”

Aku miringkan kepala karena bingung, yang mana itu malah mengejutkan Tuuli.

Setelah berkedip berkali-kali, dia berkata, “Sebelumnya kita pernah bahas soal ini bukan? Keluarga Ralph berternak ayam, jadi mereka butuh pakan hewan agar ternak mereka bisa makan selama musim dingin, kamu ingat tidak?”

Um... Tidak, aku tidak ingat. Tuuli katakan itu seperti ini adalah hal yang sudah seharusnya aku ketahui, jadi aku balas “Iya, aku ingat.” padahal aku abaikan ingatanku.

“Nah aku berpikir aku bisa coba minta ambilkan rumput pada mereka kalau misalnya aku bantu cari dan ambilkan mereka sayur dan kebutuhan dapur lainnya. Tapi musim banyak sayur dan tanaman tumbuh sudah lewat, jadi aku rasa tidak akan dapat banyak.”
“Tidak apa-apa. Makasih. Tuuli!”

Sama seperti biasanya, Tuuli berusaha jadi kakak yang diandalkan. Aku beruntung sekali punya dia.


Di hari selanjutnya, aku turun tangga bersama Tuuli dan meminta bantuan pada Ralph dan Lutz. Untungnya mereka mau membantu, tapi aku tidak bisa sepenuhnya bergantung pada orang lain. Jadi aku lanjutkan jalan untuk mencari rumput di sekitar.

Beruntungnya, ada rumput yang tumbuh di dekat sumur, di luar bagian pijakkan kaki dari batu. Aku mungkin bisa pakai rumput itu.

“Ibu, aku temani Ibu ke sumur.”
“Ara, kamu mau bantu Ibu?”
“Ah tidak. Bukan itu. Aku mau ambil rumput di sana.” Aku kasih lihat tas ranjang kecil yang dibuat Tuuli sebelumnya.
“Oke, semangat ya.”

Dengan jelas aku tolak untuk membantunya, tapi Ibu tetap izinkan aku ikut dengannya kesana, dia senang karena melihat aku bisa jalan-jalan dalam keadaan sehat ini.

Kali ini Ibu turun dengan membawa banyak pakaian kami, jadi aku naik turun tanpa digendong. Karena ini yang ketiga kalinya aku turun tangga sendiri, sudah pasti aku akan kehabisan nafas begitu sampai di bawah, itu membuat aku tidak dalam kondisi untuk segera cari rumput.

Aku beristirahat disebelah Ibu yang sedang menimba air dari sumur, begitu selesai dia kucek-kucek pakaian kami dengan kuat yang sudah dia berikan sabun binatang yang tidak menghasilkan busa sabun. Tuuli memang benar. Jika aku tidak berusaha jadi orang yang kuat, aku tak akan pernah bisa pergi ke hutan entah mau sebesar apa tekadku untuk mengumpulkan rumput di sana. Apa adakah cara agar tubuh ini bisa sedikit bertambah kuat?

“Eh halo, Myne.”
“Pagi Bi,” kataku. Aku kurang kenal dengan wanita kepala tiga ini, tapi namanya Carla dan berbicara dengan nada seperti kami sudah kenal lama.
“Oh, halo, Carla. Pagi. Hari ini bangun pagi juga.” Ibu senyum balik padanya dan melanjutkan mengobrol dengannya, berarti dia ini adalah orang yang dikenal oleh Myne. Tapi siapa ya? Aku cari dia dalam ingatanku, agar aku tidak terlihat seperti tidak kenal dengannya.

Ya dia memang ada dalam ingatanku, dia adalah orang yang aku kenal. Rupanya dia adalah ibu dari Ralph dan Lutz. Dia ini agak termasuk, ehm, wanita berisi yang bisa aku anggap dapat di andalkan.

Ummm.... Apa baiknya aku ucapkan padanya, “Terima kasih sudah mengurusiku selama ini?” Jangan, tidak usah, anak usia lima tahun tidak akan mengatakan hal semacam itu. Obrolan ringan macam apa yang biasa dilakukan oleh orang usia 30 tahunan dengan anak kecil tetangga mereka?! Seseorang, tolong bantu aku!

Carla mulai menimba air dari sumur dan mencuci pakaiannya tanpa memperhatikan aku padahal aku ingin sedang cari obrolan. Seperti yang aku duga, dia juga pakai sabun binatang itu.

“Nak keadaanmu hari ini baik-baik saja? Tak biasanya aku lihat kau keluar rumah.”
“Aku mau ambil rumput. Ralph dan Lutz bilang mereka butuh itu untuk ternak di rumahmu, Bi.”
“Ow, kamu lakukan itu untuk kami? Maaf sudah merepotkanmu.” Carla menyebutkan itu dengan mudah jadi cukup jelas bahwa dia itu tidak begitu sungkan kepadaku.

Para ibu tetangga kami, termasuk ibuku, berkumpul dan saling mengobrol tanpa henti. Tangan mereka tidak ada yang berhenti mau siapa yang sedang bicara. Aku cukup terkesan.

Tapi satu hal, sabun yang dipakai ini benar-benar bau. Aku merasa mual padahal hanya berdiam diri di dekatnya. Aku penasaran apa bisa aku perbaiki ini jika aku gunakan tanaman herbal yang harum? Atau mungkin aromanya akan tercampur dan membuat ini jadi tambah bau lagi?

Selagi aku memikirkan cara untuk mengatasi bau tidak sedap ini, aku berdiri untuk pergi dan mulai memungut rumput di sekitar. Aku ingin ambil rumput yang punya batang dan serat tebal, tapi aku kurang cukup kuat untuk menariknya dari tanah.

.... Aku tidak bisa lakukan ini dengan tangan kosong. Seseorang, aku perlu ariiiiit! Sudah jelas, tidak ada orang yang membawakan arit padaku, tangan lemahku juga tidak akan bertambah kuat dalam satu hari.

Okelah.... aku menyerah. Aku gantungkan semua harapanku pada Tuuli, Ralph, dan Lutz. Dalam waktu singkat aku menyerah cari dan ambil rumput dengan kekuatanku sendiri dan aku mulai pilih-pilih rumput yang punya batang dan daun basah untuk ternak ayam. Aku ini memang lemah tapi rumput yang aku cabut ini mudah.

“Myne, waktunya kita pulang.” Ibu menyelesaikan cuci baju dalam waktu yang singkat. Dia memanggilku, dalam keadaan memegang erat-erat keranjang isi baju kami. Aku baru mengumpulkan rumput sampai setengah keranjang kecil, tapi Ibu ada jadwal kerja hari ini, jadi aku tidak bisa memintanya untuk menungguku. Aku kembali ke rumah sambil membawa keranjang kecil.


“Sudah siap? Oke, ayo.”
“Ayo.” Aku sudah sering sekali sakit sejak hidup sebagai Myne, adakalanya Ibu mengambil cuti kerja demi merawat aku dan kebutuhan lainnya, jadi aku tidak tahu hal itu terjadi saat aku sedang sehat, soal hal dia akan menitipkanku di tempat pengasuh anak seharian penuh, tempatnya di rumah tetangga.

Itu masuk akal. Karena Tuuli tidak bisa pergi ke hutan jika aku ada di rumah.

“Myne, jadi anak baik ya saat Ibu kerja. Saya titipkan dia padamu, Gerda.”
“Iya. Kemarilah, Myne.”

Pengasuh bayi Gerda dititipkan juga anak lain selain diriku, jumlahnya lumayan juga. Kebanyakan anak yang dititipkan berusia balita yang sudah bisa jalan sendiri.

Dalam kota ini, begitu seorang anak menginjak usia lebih dari tiga dan punya stamina tubuh yang cukup, mereka akan pergi ke hutan bersama kakak atau kerabat mereka yang lebih tua atau mereka sudah cukup usia untuk membantu mengurusi rumah dan ditinggal oleh orang tua mereka. Dengan kata lain, keluargaku punya sedikit kepercayaan padaku bahkan sampai selevel anak usia balita yang tak bisa ditinggal sendiri di rumah.

Um, apa maksud dari semua ini?! Aku berdiri, dalam keadaan terkejut atas sedikitnya rasa percaya keluargaku padaku, aku melihat balita lelaki yang mengambil mainan dari bawah dan dia masukkan ke dalam mulutnya. Disebelahnya ada balita lelaki lain yang memukul dan membuat balita perempuan menangis.

“Hei, itu kan kotor! Nanti sakit perut kalau kau makan itu!”
“Aduh waduh.”
“Jangan pukul orang lain tanpa alasan. Kenapa kau pukul dia?”
“Astaga.”

Sudah cukupkan aduh waduh dan astaga darimu! Lakukan tugas kamu, Bibi Gerda! Padahal aku adalah anak yang dititipkan, tapi karena aku adalah yang terbesar di antara anak-anak yang lain akhirnya aku ikut mengurusi anak-anak yang lain.

Aku sedang menidurkan anak di tempatnya, aku memikirkan cara terbaik untuk membuat kertas papyrus dengan serat rumput yang segera didatangkan.

... Jujur saja, aku tidak ingat tata cara yang benar untuk membuat kertas papyrus. Aku harus bagaimana lagi, karena tak pernah muncul dalam ujian, aku tidak bisa disalahkan disini?

Kembali ke topik. Aku ingin pernah baca tentang kakunya kertas papyrus. Cara membuatnya yaitu dengan menyusun secara vertikal dan horizontal serat rumput tersebut, tapi hanya ada satu sisi saja yang bisa digunakan menulis dengan baik karena serat itu tersusun secara horizontal di bagian depan dan vertikal di bagian belakang. Ada kekhawatiran karena sulit dilipat, tapi ya tidak ada penjelasan soal pembuatan kertas papyrus dalam buku.

Masalah utamanya adalah itu, meski sudah aku lihat di gambar, tapi aku tidak tahu cara untuk membuat kertas papyrus. Aku tahu soal serat yang disusun bersebelahan, tapi tidak tahu cara agar serat itu tetap bersatu. Apakah perlu getah pohon agar tetap menempel seperti kertas washi? Atau mungkin ada cara tertentu agar bisa bersatu?

Aku mulai berpikir kembali pada apa yang aku baca dalam buku sejarah dan mencoba memeras segala informasi penting yang bisa aku dapatkan. Untuk sementara, aku berkesimpulan cara terbaik membuat ini dengan menganyam serat-serat rumput yang diawali dari serat yang cukup kuat. Harusnya itu sudah cukup agar jadi kertas yang bisa digunakan tanpa menyatukannya dengan lem.

Selama aku bisa menulis di sana, aku puas.


“Myne, Tuuli datang menjemputmu.”
“TUUUULIIII!”

Tuuli datang untuk menjemputku di waktu malam setelah dia kembali dari hutan. Aku terselamatkan. Syukurlah dia datang menjemput aku. Karena senang, aku lompat dan memeluknya.

Cara mengasuh Gerda bukanlah sebuah cara untuk mengurusi anak-anak, tapi dia lebih membiarkan anak-anak aktif selama mereka tidak melakukan hal yang membahayakan. Jika ada yang buang air, maka dia akan membersihkan dan mengganti popok mereka namun hanya sebatas itu saja pengasuhan yang dilakukan dia. Orang-orang mungkin akan menganggap aku aneh karena terlalu banyak menilai dan mengkritik secara berlebih.

Aku menunggu dan berusaha sesabar mungkin, berharap ada yang menjemputku dari sana, perasaanku penuh dengan keinginan segera pergi jauh dari tempat yang mengerikan itu.

“Kamu merasa kesepian, Myne? Aku rasa tidak aneh kamu merasa begitu karena sudah lama sekali sejak kamu dititipkan disana.”
“Kau bisa ikut kami ke hutan jika kau sudah sedikit bertambah kuat.”
“Semoga kamu bisa ikut kami ke hutan saat musim semi datang, Myne.”

Pada saat Tuuli menepuk-nepuk kepalaku dan mendengarkan Lutz dan Ralph yang berusaha menghiburku, aku sadar sekali bahwa aku harus jadi kuat, bagaimanapun usahanya. Aku harus fokus dan serius menanggapi hal itu. Dalam keadaan lemah seperti ini tidak memberi dampak baik padaku, malah sering memberiku masalah.

“Oh iya, kami bawakan kau serat tanaman yang kau inginkan.” Ralph mengambil satu dua batang tanaman itu dari keranjang dan memperlihatkannya padaku.

Begitu aku melihat itu, semua yang aku rasakan di tempat Gerda menghilang dari benakku. Buku lebih utama darinya, dan kertas mengartikan tanda-tanda kehadiran buku.

“Banyak sekali ya. Makasih! Um, aku juga coba kumpulkan sedikit rumput yang ada di sekitar sumur.”

Aku busungkan dada penuh rasa bangga, tapi mereka bertiga malah memberiku menepuk kepalaku pelan-pelan. Bukan hanya itu, Lutz juga sampai menambahkan “Kerja bagus” sambil menunjukkan wajah hangat padaku.

Um... Setidak berguna apa aku ini bagi orang-orang? Iya memang benar, aku tidak berbuat apa-apa, dan selalu tidak bisa membantu apa-apa, tapi rasanya mereka terlalu berlebihan.

Tuuli mengambilkan keranjang kecil itu agar bisa ditukarkan dengan batang tanaman yang mereka kumpulkan.

Oke. Waktunya aku buat kertas papyrus.





TLBajatsu

0 komentar:

Posting Komentar