Minggu, 07 April 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 7: Kertas : Tidak Bisa Didapatkan

 Volume 01

Chapter 7: Kertas : Tidak Bisa Didapatkan



Kaki aku selonjoran ke depan, tangan Ralph merangkul kakiku dan aku berpegangan ke pundaknya. Lalu akhirnya aku bisa melihat tembok bagian luar dan gerbangnya. Tembok bagian luar ini jadi penjaga kota, tembok ini benar-benar tinggi setelah aku lihat dari dekat. Tingginya sekitar bangunan tiga lantai yang ada di Jepang dan cukup tebal sekali temboknya. Terdapat empat gerbang yang dibangun di tembok bagian luar ini, tempatnya di bagian utara, timur, selatan, dan barat, lalu ada sejumlah prajurit juga di sana yang diberi tugas untuk memeriksa setiap orang masuk ke kota.

Kami sampai di gerbang utara dan bisa kami lihat ada prajurit yang berjaga di sana. Ada Ayah di antara mereka. Aku tidak tahu posisi pastinya, tapi Tuuli bisa mengetahui dia ada dimana. Di tempatkan di depan dadanya, Tuuli bawa barang yang dibungkus itu dan dia antarkan kepada ayah, dia melambai juga.

“Ayaaaaah! Ayah lupa bawa ini. Ini penting, kan?”

Ayah langsung berkedip terkejut saat Tuuli menyerahkan barang itu kepadanya dengan penuh senyuman. Mmm.... baik sekali. Kamu itu terlalu baik, Tuuli! Yang aku utamakan adalah menghindari Ibu marah kepada Ayah karena dia lupa membawa barang yang sudah Ibu usahakan buat dalam waktu sibuknya.

“Iya, ini memang penting. Makasih.... Eh, bentar, kamu tinggal Myne sendiri di rumah?!”
“Ah tidak, aku bawa dia kemari. Itu dia? Ralph gendong dia?”

Ayah, matanya agak bimbang tidak enak padaku karena tidak sadar ada aku di sini, dia letakan tangannya pada kepala Ralph.

“Terima kasih sudah menggendong dia, Ralph.”
“Kami sedang dalam perjalanan ke hutan, jadi bukan apa-apa.”

Ralph menurunkan aku, namun dia agak kesal atas cara Ayah mengusap-ucap rambutnya. Lalu dia ambil kembali barang yang dia titipkan di Fey dan Lutz.

“Makasih, Ralph. Lutz dan Fey juga, terima kasih.”

Setelah melihat Ralph dan saudaranya melewati gerbang dan berjalan ke arah hutan, Tuuli dan aku dibawa ke ruang tunggu yang disediakan dalam tembok bagian luar.


Tembok bagian luar ini cukup luas dan bisa dibangun ruangan dengan ukuran sembilan meter persegi. Ruang ini tidak begitu besar, tapi rupanya masih ada ruang tunggu lain dan ruang untuk prajurit yang berjaga di waktu malam. Dalam ruang tunggu yang kami tempati ada meja biasa, satu bangku, dan satu lemari penuh dengan rak.

Aku melihat sekitar ruangan ini, rasanya aku sedang berturis ke negara asing, lalu tak lama kemudian datang satu rekan kerja Ayah yang membawakan kami gelas dan teko air.

“Dua putri yang kau besarkan punya hati baik, pak.”

Memerlukan waktu sekitar dua puluh menit untuk anak seusia Tuuli agar bisa sampai di gerbang dari rumah, jadi aku terima air yang disediakan. Aku teguk air dari gelas kayu dan mengeluarkan suara lega.

“Haaah. Segar sekali. Akhirnya aku bisa istirahat kaki.”
“Kamu tidak jalan sendiri lama-lama, Myne,” kata Tuuli sambil mengerutkan bibirnya, ucapannya itu membuat orang-orang yang ada dalam ruangan ini tertawa. Aku balas dengan Hmm padanya, tapi karena aku digendong oleh Ralph, jadinya aku tidak bisa berbalas kata apapun padanya.

Aku minum segelas lagi, lalu masuk seorang prajurit ke dalam ruangan. Dia mengambil kotak rak di lemari dan segera pergi,  isi dari kotak itu mungkin perkakas atau alat lainnya. Dia seperti sedang terburu-buru, jadi aku perhatikan dia.

“Apa terjadi sesuatu, Ayah?”
“Mungkin kami kedatangan orang yang perlu penanganan khusus. Kamu tak usah pikirkan itu.”

Ayah seperti mengabaikan itu, tapi dari reaksi terburu-buru prajurit tadi membuat aku sedikit khawatir. Apa semuanya akan berjalan lancar? Karena ada satu prajurit yang terburu-buru seperti itu. Bukankah itu punya makna ada masalah terjadi?

Memiliki respons tajam sepertiku, Tuuli memiringkan kepalanya karena bingung juga tapi tidak ada rasa khawatir di wajahnya.

“Orang yang perlu penanganan khusus? Aku belum pernah bertemu orang seperti itu sebelumnya?”

Baginya yang sering melewati gerbang, Tuuli tidak bisa menebak seseorang yang datang dan membuat seorang prajurit bertindak sedikit berlebihan.

Ayah meraba-raba dagunya sebentar karena berusaha mencari kata yang tepat untuk menjelaskan ini.

“Aaah, benar juga. Kalian bisa tebak ada orang mencurigakan yang mungkin seorang penjahat atau orangnya tidak mencurigakan tapi ternyata dia adalah bangsawan luar wilayah kita, dan kami perlu informasikan soal kedatangannya itu kepada Penguasa Ehrenfest sebelum kami izinkan mereka lewat.”
“Wow...”

Rupanya mereka menilai orang dari cara mereka berpakaian. Tapi, aku rasa tidak ada salahnya jika di sini. Dalam dunia ini terlihat tidak punya jaringan komunikasi yang tersebar luas atau alat serupa lainnya. Para penjaga ini tidak punya sarana untuk cari informasi soal orang-orang yang datang dan minta izin untuk melewati gerbang.

“Jadi kami minta mereka untuk menunggu di ruang terpisah, nanti akan ditentukan apakah mereka boleh lewat atau tidak oleh para penanggung jawab gerbang.”

Aaah. Jadi itu alasannya ada begitu banyak ruang tunggu yang dibangun di gerbang masuk. Aku mengerti sekarang. Aku yakin ruang tunggu untuk bangsawan dan orang yang mencurigakan akan dibedakan mulai dari ukurannya dan perabot yang ada.

Aku sedang memikirkan itu namun terganggu oleh masuknya prajurit muda berambut coklat tua dan dia tampak ramah, matanya berwarna coklat muda, dia datang kemari sambil membawa kotak dan suatu kain yang digulung berbentuk tabung. Ekspresinya tidak menggambarkan suatu hal darurat yang perlu segera ditangani. Ayah benar soal itu, bahwa memang tidak ada hal serius yang terjadi.

Prajurit itu menaikkan tabung itu ke atas kotak dan menempatkan dua barang itu di tangan kirinya, dia berdiri tegak di hadapan Ayah lalu menggerakkan lengan kanannya untuk menepukkan kepalan tangannya pada sisi kiri dadanya sebanyak dua kali. Ayah berdiri dan memperbaiki posisinya agar tegak juga, dan melakukan hal tepukkan yang sama seperti pemuda itu. Mungkin itu semacam salam hormat antar prajurit di dunia ini.

“Otto, laporkan perkaranya?”

Aku mengeluarkan suara sedikit kagum setelah melihat Ayah menampilkan ekspresi seriusnya karena di rumah aku tidak lihat dia berekspresi seperti itu sebelumnya. Dia biasanya terlihat malas dan biasa-biasa saja tanpa ada perubahan seperti itu. Begitu dia jadi serius, dia terlihat sangat keren.

“Count Lowenwalt minta izin untuk lewat.”
“Bagaimana stempel izinnya?”
“Sudah kami periksa dan terkonfirmasi.”
“Baiklah, izinkan dia lewat.”

Otto memberi salam hormat sekali lagi dan kemudian dia berjalan untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan kami. Dia simpan kotak kayu itu di meja dan melebarkan gulungan tadi di sebelah kotak kayu. Gulungan itu terlihat halus seperti kertas dan aku bisa mencium suatu aroma khas yang menarik perhatianku.

... Perkamen? Aku masih belum yakin apakah itu perkamen atau bukan, tapi itu terlihat pasti seperti kertas yang terbuat dari kulit binatang. Aku terbiasa memakai kertas yang terbuat dari tanaman, tapi kertas zaman dulu biasa terbuat dari kulit binatang yang dikeringkan dan itu disebut perkamen. Huruf bahasa dunia ini tertulis di sana, tapi aku tidak bisa membaca kata-katanya.

Aku mulai memelototi itu selebar-lebarnya, Otto mengeluarkan botol berisi tinta dan pena buluh dari dalam kotak peralatan lalu dia mulai menuliskan sesuatu di atas perkamen itu.

AAAAAH! Dia menulis! Ada orang yang tahu cara menulis tepat di hadapanku! Dia adalah orang pertama yang tahu budaya dunia ini. Pastinya aku ingin sekali dia mengajari aku bahasa dan cara tulis bahasa dunia ini!

Ayah mengelus-elus rambutku dan bertanya “Ada apa?” begitu dia sadar aku memperhatikan gerakan tangan Otto yang sedang menulis.

Aku mengangkat wajah padanya dan menunjuk pada benda yang aku yakini adalah perkamen. Aku ingin tahu itu disebut apa dalam bahasa dunia ini agar aku bisa membahas itu di lain waktu.

“Ayah, Ayah. Itu apa namanya?”
“Itu perkamen. Kertas yang terbuat dari kulit kambing atau domba.”
“Dan cairan hitam itu apa?”
“Itu tinta. Dia sedang menulis pakai pena.”

Sudah aku duga. Aku berhasil menemukan tinta dan kertasku. Aku bisa membuat buku dengan dua benda itu, masalah terselesaikan.

Aku tahan rasa senangku yang bisa membuat aku melompat, aku satukan kedua telapak tanganku di depan dadaku dan melihat kearah Ayah.

“Um, Ayah. Boleh aku minta dibelikan itu?”
“Tidak bisa. Itu bukan mainan untuk anak-anak.”

Kekuatan penuhku dalam meminta telah sepenuhnya ditolak, padahal aku sudah gunakan sisi gemas dari seorang anak kecil.

Jelas pastinya, aku bukanlah seorang gadis kecil yang akan menyerah begitu keinginanku ditolak. Sewaktu aku masih jadi Urano, orang-orang pernah bilang aku adalah orang yang keras kepala dan pantang menyerah yang pernah mereka temui. Kinilah waktunya aku tunjukkan kepada Ayah betapa tangguhnya diriku ini dalam memperjuangkan perkara buku.

“Aku ingin bisa menulis seperti dia. Aku ingin kertas dan tinta. Aku mohooon?”
“Tidak, Ayah tidak bisa mengabulkan itu! Lagian juga, kamu tidak tahu cara menulis, Myne.”

Itu memang sebuah fakta, tidak ada gunanya memberi orang buta huruf sebuah kertas dan tinta. Justru dengan alasan itu, aku punya kesempatan emas untuk meyakinkan Ayah.

“Ya ajari aku. Aku ingin belajar menulis. Jadi akankah Ayah belikan tinta dan kertas jika aku belajar menulis?”

Jika pemuda yang jadi bawahannya ini bisa menulis, maka sudah pasti Ayah juga bisa menulis. Karena dia ini, semacam kapten di sini. Aku kira rasanya tidak mungkin ada orang yang bisa menulis bila di rumahnya saja tidak ada alat tulis dan semacamnya, tapi rupanya itu bagian dari kesalahpahamanku yang menguntungkan sekarang. Mimpiku bisa membaca buku di dunia ini mungkin akan terkabulkan dalam waktu dekat jika Ayah mengajariku cara baca.

Ketika itu aku sedang tersenyum lebar dan ceria, karena aku punya firasat dapat langkah besar menuju hal yang aku inginkan, aku dengar tawa di belakang. Aku berbalik untuk melihat siapa yang tertawa dan ternyata itu adalah Otto, yang selama ini mendengar percakapan kami, dia sedang menulis laporannya dan terhenti karena tertawa terbahak-bahak.

“Hahaha! Mengajarimu menulis...? Heh, Kapten, Anda ini hampir tidak bisa menulis dengan baik, bukan?”

Saat aku mendengar itu. Aku merasa ada retakan yang melebar dalam hatiku. Aku sendiri bisa tahu senyumanku tadi kaku, seperti baru saja disiram air dingin satu ember.

“Ha? Ayah tidak tahu cara menulis?”
“Ayah bisa baca dan tulis, hanya sedikit saja. Tapi hanya sebatas pada bagian penting di kertas dokumen yang perlu Ayah isi. Hanya nama orang saja yang pernah Ayah dengar yang bisa Ayah tulis.”
“Oh....”

Aku perhatikan Ayah dengan mata dingin selama dia berasalan seperti itu dengan ekspresi wajah kesal dan jengkel. Kalau begitu faktanya, dalam penilaian di dunia asalku, dia itu tahu huruf abjad dan bisa menuliskan nama-nama temannya, kira-kira begitu ya? Tadi Otto bilang dia ‘hampir tidak bisa’, mungkin dia sekelas dengan anak kelas satu yang masih salah tulis bahkan nama orang.

“Sudah nak, jangan lihat ayahmu dengan ekspresi seperti itu.”

Otto, pelaku yang membuat aku jatuh respek pada Ayah berkata seperti itu dan segera mencondongkan badannya ke depan, untuk menegurku dengan ekspresi wajah yang agak khawatir. Dia lalu berbicara lagi, menjelaskan tugas macam apa yang dilakukan oleh para prajurit, dia seperti sedang membela Ayah.

“Tugas prajurit adalah menjaga kedamaian dalam kota, tapi saat berhubungan dengan hal penting seperti menangani bangsawan, maka itu akan jadi tugasnya kesatria yang mengurusi segel dan dokumen izin masuknya. Jadi cukup dengan melaporkan secara lisan saja bila ada perkara yang tidak begitu penting, jarang sekali ada tugas yang membuatnya untuk membaca. Bisa menuliskan namanya sendiri saja sudah lebih dari cukup.”

Ayah membusungkan dadanya dengan penuh bangga, mood hati Ayah kembali tinggi setelah menerima bantuan dari Otto. Tatapan dingin dariku rupanya cukup berdampak besar padanya.

“Bahkan keadaan orang di desa lebih buruk lagi. Biasanya hanya kepala desa yang bisa membaca, jadi ayahmu ini sudah lebih hebat dari mereka.”
“Iya, ayahku memang hebat. Aku ingin kertas dan tinta ini. Jadiiiii aku mohooon, belikan aku semua ini?”

Jika dia benar-benar hebat, maka dia seharusnya menunjukkan bukti hebatnya itu dengan memberikan seratus lembar kertas pada putri cantiknya.

Tapi permintaanku ini diterima Ayah dan dibalas dengan langkah mundur karena rasa takut.

“Ma-mana ada orang yang mau membuang gaji utuh selama satu bulan untuk membelikan anak mereka satu lembar kertas?”

Huh, bentar, apa?! Gaji utuh satu bulan? Se-semahal apakah satu perkamen ini?! Aku sekarang bisa paham kenapa dia ragu belikan semua itu untukku. Itu juga masuk penjelasan mengapa tidak ada satu kertas pun dalam rumah kami atau mengapa aku tidak bisa menemukan toko buku kemana pun aku pergi. Satu perkamen saja sudah mahal sekali bagi rakyat. Keluargaku sudah berusaha sebisa mungkin punya penghasilan yang cukup untuk bertahan hidup, tidak mungkin ada kesempatan penggunaan gaji penting itu untuk kertas apalagi buku.

Aku menurunkan pundakku, karena depresi, lalu Otto mengelus-elus rambutku.

“Dari awal juga, aku rasa tidak ada toko mana pun yang menjual perkamen untuk rakyat. Kertas digunakan oleh para bangsawan, kantor pemerintah, dan rakyat kaya yang punya koneksi dengan bangsawan. Kalau misalnya hanya ingin belajar menulis, mungkin kau bisa gunakan papan tulis kapur? Aku bisa berikan punyaku yang dulu aku pakai.”
“Sungguh? Aku senang sekali!”

Aku langsung mengangguk atas janji memberiku papan tulis kapur yang dulu dia gunakan. Salama itu juga, aku mengusahakan diri untuk meminta dia mengajari aku cara menulis.

Terima kasih banyak, Pak Otto! Aku akan lebih senang lagi bila bapak mau mengajari aku menulis!”

Selama aku tersenyum lebar, Ayah melihat aku dan Otto dengan ekspresi kecewa dan menyedihkan pada dirinya sendiri, tapi sengaja aku tidak sadari itu. Aku begitu bersemangat karena akan mempelajari bahasa dan mendapat papan tulis punyaku sendiri, tapi hal yang paling aku inginkan tetap buku dan kertas untuk membuat buku.

Karena pada akhirnya, tak ada yang bisa aku amankan di papan tulis kapur itu. Karena penggunaannya akan seperti papan tulis pada umumnya, begitu selesai menulis maka akan dihapus. Sangat sempurna untuk belajar menulis, tapi tiada bandingannya dengan buku.

Tapi, soal fakta tidak ada toko yang menjual kertas untuk rakyat benar-benar diluar dugaanku. Bagaimana caranya aku bisa buat buku tanpa kertas? Atau dalam kata lain, apa yang harus aku lakukan jika tidak bisa mendapatkan kertas? Soal itu hanya ada satu jawaban: aku perlu membuatnya sendiri juga.

Nggggh, perjalanan agar aku bisa punya buku masih sangat jauh!





TLBajatsu

0 komentar:

Posting Komentar