Rabu, 17 April 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 9: Persiapan untuk Musim Dingin

 Volume 01

Chapter 9: Persiapan untuk Musim Dingin



Tadinya aku ingin langsung mulai membuat kertas papyrus karena batang yang diperlukan sudah ada, namun sayangnya, urusan hidup mencegah itu.

“Kamu mau pergi kemana, Myne? Bukankah Ibu sudah bilang hari ini kita akan mulai persiapan kita untuk musim dingin nanti?”

Tepat saat aku mau menjauh dan pergi ke sumur untuk mengambil serat dari batang-batang tanaman kemarin, Ibu memegangi baju bagian belakangku membuat aku tidak bisa melanjutkan jalan. Rupanya, kami akan terkunci di dalam rumah selama salju turun dan kami harus sekali mempersiapkan diri untuk bertahan hidup selama musim dingin panjang nanti.

Tapi apa yang bisa aku bantu? Sedangkan aku ini tak berguna? Mau aku cari sejauh mungkin dalam ingatan Myne, yang aku temukan hanyalah waktu-waktu dia terkena demam dan berleha-leha tak jelas, jadi orang yang tak berguna.

Ungkapan intinya: Aku ini benar-benar tak berguna. Usaha terbaik yang bisa aku lakukan adalah tak terkena demam dan menghabisi waktu luang di atas kasur.

“Myne, hari ini kamu bantu Ayah ya. Ayo.”
“Ayah tidak kerja?”
“Ayah ambil cuti. Kami para pekerja akan mengambil giliran waktu cuti agar masing-masing dari kami bisa menyelesaikan persiapkan musim dingin, iya kan?”

Wow... tempat kerja mereka cukup baik dengan memberi mereka waktu cuti semasa persiapan musim dingin? Aku tidak mengira dapat melihat ada manfaat seperti itu dalam bekerja di dunia ini. Atau mungkin memang karena persiapan musim dingin itu akan sulit dicapai penyelesaiannya apabila tanpa ada bantuan dari seorang pria di masing-masing keluarga?

Apapun itu, jarang sekali Ayah yang sedang ada di rumah dan aku bisa bekerja sama dengannya. Mungkin ada yang mengirakan ini karena dia kerja sebagai prajurit gerbang, soal dia itu punya tubuh kuat dan bugar, yang membuatnya lebih sering meminta bantuan dari Tuuli karena dia dan Ayah bisa saling bertukar posisi tanpa ada rasa kekhawatiran dari Ayah soal terjadinya kesalahan.

Karena semua anggota keluargaku lengkap, rasanya tidak bisa aku lari dari semua ini, dan karena Ayah secara khusus minta bantuan dariku, aku tidak punya pilihan untuk menolak jadi aku ikuti apa yang dimintanya.

“... Kita mau apa?”

Ayah jawab dalam keadaan jongkok menghadap ke jendela, dia seperti sedang memilih mau perkakas tukang kayu yang mana.

“Hari ini kita akan periksa rumah, apa ada yang perlu dibenarkan atau tidak. Pintu jendela harus terkunci rapat selama badai salju terjadi, jadi kita harus periksa apa kuncinya terpasang rapat atau mungkin berkarat tidak. Sekalian kita periksa juga apa jendelanya berlubang atau tidak. Setelah kita membenarkan jendela, kita akan bersihkan cerobong asap dan tungku memasak agar nanti bisa kita gunakan selama musim dingin berlangsung.”

Um, Ayah....? Apa yang Ayah harapkan dari tangan kecil dan lemah ini yang tidak bisa menahan lama bawa barang apapun atau bahkan itu termasuk obeng? Aku mengerti sekali ini adalah hal yang perlu kami lakukan, tapi meski begitu, aku tidak merasa bisa berguna untuk membantu semua itu.

Tapi mungkin saja jika aku berusaha membantu sekeras mungkin dan menunjukkan bahwa aku ini cukup membantu, mungkin saja tingkat kepercayaan keluargaku pada aku akan bertambah sedikit. Suatu hal yang mudah untuk menemukan engsel yang berkarat atau akan segera lepas dari tempatnya, karena aku bisa gunakan pengetahuan zaman modernku.

“Ayah, engsel dan paku penahannya itu berkarat.”
“Itu masih kuat.”

Um, aku cukup yakin kedua benda itu dalam keadaan yang benar-benar bobrok? Malah sudah mau hancur. Aku pikirkan baik-baik apa sebaiknya aku percaya Ayah atau tidak. Nantinya akan jadi masalah besar jika pintu jendela yang fungsinya untuk menahan angin dan salju masuk saat badai terjadi malah rusak ditengah-tengah musim dingin berlangsung.

Aku berdiri di atas kursi dan coba aku guncangkan pintu jendela itu sedikit. Jika tidak terjadi apa-apa, aku bisa percaya Ayah, tapi jika nyatanya hancur, maka dia harusnya sadar untuk lebih mempercayaiku. Setelah aku guncangkan sedikit berkali-kali, engsel jendela segera hancur terbagi dua.

Aku mengangguk pada diriku sendiri karena inilah yang sudah aku kira akan terjadi, tapi wajah Ayah mulai memucat dan melihat dengan mata melotot pada pintu jendela yang aku guncangkan tadi.

“M-Myne, kenapa kau lakukan itu?!”
“Ini lihat? Hancur. Aku sudah bilang engsel ini tak akan bertahan lama selama musim dingin. Jadi, Ayah. Perbaiki ini.”

Aku menunjuk ke pintu jendela, sedangkan Ayah menurunkan aku dari kursi mengabaikan salah ambil keputusannya tadi. Dia bahkan menyuarkan suara mengeluh.

“Myne, sana bantu Effa.”
“Huh? Aku kan sedang membantumu, Ayah. Kita kan perlu pastikan semua engsel yang ada di rumah kita tetap aman selama musim dingin nanti, tapi kenapa Ayah malah mengabaikan engsel yang sudah jelas rusak.” Aku mengangkat bahuku dan menggeleng-gelengkan kepala.

Ibu minta aku bantu Ayah, jadi aku penuhi itu. Semua itu aku lakukan agar aku bisa menjalani hidup senyaman mungkin selama musim dingin nanti.

“Kita tidak punya uang untuk membenarkan semua yang ada di rumah, yang ada nanti kamu rusak semuanya. Sudah, kamu bantu Effa saja.”

... Astagaaaaa! Kena masalah keuangan lagi! Aku tadi, baru saja menghancurkan satu engsel yang Ayah coba pertahankan untuk sedikit waktu yang lebih lama, aku dengan taat turuti arahannya dan segera pergi ke kamar tidur tempat dimana Ibu dan Tuuli melakukan persiapan untuk musim dingin.

Mereka sedang menjemur selimut dan seprei agar lebih nyaman digunakan, kasur yang semulanya di tengah pindah ke sisi tembok yang di seberang tembok itu ada tungku memasak, itu dilakukan agar waktu malam nanti kami bisa merasa lebih hangat ketika tidur dan kamar ini juga dibuat lebih layak huni untuk musim dingin nanti.

“Ada apa, Myne?”
“Ayah bilang aku bantu Ibu saja....”
“Sungguh? Kami baru saja selesai beres-beres di sini, sebentar lagi kami akan membuat penerangan untuk rumah kita nanti. Tahun ini kita cukup beruntung dapat sisa sarang lebah lebih banyak dari biasanya. Kita juga akan gunakan gajih sapi dan minyak dari buah-buahan untuk membuat lilin lampu dan lampu minyak tanah.”

Semua yang mereka lakukan terdengar cukup susah aku lakukan. Aku sudah sering mencium bau tidak sedap dari lemak atau gajih hewani yang tersebar di sekitar rumah tetangga, meski hanya berhari-hari aku menghirup bau itu sudah membuat aku kepikiran bau tak sedap yang sama tapi akan bersumber dari dapur rumahku sendiri, aku merasa tidak senang soal itu.

Tuuli memulai pengekstrakan minyak dari buah-buahan, karena aku terlalu lemah untuk mengayunkan palu itu dengan baik, aku tak punya ruang untuk membantu. Aku hanya bisa diam disebelah Ibu dan menyaksikan dia sedang memasukkan gajih sapi kedalam panci besar kemudian dia nyalakan tungku.

... Bau! Bau sekali! Wahai diriku, bertahanlah. Padahal baunya ini sangat tidak sedap sampai-sampai aku sulit untuk bernafas, tapi Ibu malah dengan mudahnya melanjutkan proses peleburan gajih sapi itu dan mulai mengambil sisa gajih yang mengambang di atas air dalam panci. Aku cukup terkesan, namun, hanya itu saja yang dia lakukan dan tak lama kemudian selesailah dia melakukan itu.

“Eh, Ibu. Cuma itu saja? Tidak akan dikasih (garam bumbu)?”
“Hm? Proses apa?”

Oh tidak. Aku rasa ini hal yang umum, tapi kenapa (garam bumbu) tidak diterjemahkan?

Ibu melirikku dengan mata sinis yang bermakna “Kamu mau protes apa?” tapi aku hadapi rasa takutku dan coba aku jelaskan proses pengasinan dengan terminologi sesederhana mungkin.

“Ummm, agar yang kotor-kotornya banyak diambil, Ibu tambahkan air garam dan didihkan lagi sebentar.”
“Air asin?”
“Iyah. Nanti kalau dibiarkan sebentar, minyaknya akan mengeras di atas dan air garam akan tetap berada di bawahnya, kan? Airnya bisa dibuang nanti dan kita bisa ambil minyaknya saja. Mungkin kesannya tambah kerjaan, tapi minyak yang kita dapatkan akan punya aroma baik dan berkualitas tinggi.”

Sepertinya setelah mendengar kata “berkualitas tinggi”, Ibu mulai memasukkan garam ke dalam panci.

Kualitas minyak yang kami buat disini menjadi pertaruhan hidup dan mati bagiku. Karena kami akan gunakan ini dalam ruang tertutup. Aku tak akan bisa bertahan di rumah bau selama musim dingin. Tapi ya.... alu tidak bisa memberitahu dia rasio garam yang tepat untuk menghasilkan minyak berkualitas baik, tapi harusnya minyak yang dihasilkan ini sudah lebih baik.

Kami gunakan rasio asal-asalan untuk sekarang, tapi berkat sudah diberi garam, minyak dari gajih ini berubah jadi putih yang tadinya berwarna kuning. Gajih ini kami potong-potong, ada yang kami jadikan lilin lampu dan ada yang dijadikan sabun buat musim semi. Untuk pembuatan lilin lampu, kami didihkan kembali gajih itu di dalam panci agar jadi cair lagi.

Sebagai capaian tambahan, daging sapi yang berhasil dipisahkan dalam proses pengambilan minyak tadi kami gunakan sebagai bahan dasar membuat sup. Lezat sekali.

Setelah selesai makan siang, kami lanjut membuat lilin lampu.

“Nah, Tuuli. Kamu sekarang buat lilin lampu. Gunther dan aku akan cek persediaan kayu bakar.”
“Baiiik.”

Eh bentar.... Aku kerja apa? Mereka bertiga mulai bergerak dan mengerjakan tugas mereka, jadi setelah aku pikirkan sejenak, aku ikuti Ibu sampai pintu depan. Mungkin ini termasuk dari “bantulah ibumu”.

Tapi setelah sadar aku mengikutinya, Ibu memberitahuku untuk kembali masuk ke rumah.

“Myne, bantu Tuuli buat lilin lampu. Jangan sampai menyusahkan dia ya.”
“... Baik.”

Hadeh, mengapa minim sekali rasa percaya mereka padaku?

Aku kembali lagi ke dapur dan melihat Tuuli sedang memotong benang dengan panjang yang sama, dia pasangkan dalam keadaan menggantung benang-benang itu ke tongkat ramping dan kecil. Lalu dia ambil dan pegang tongkat itu di atas panci isi gajih tadi, dengan begini banangnya akan menggantung dan lurus kebawah, kemudian dia naik turunkan tangannya. Dia lakukan itu sampai gajih lemak menempel dan menumpuk di benang tersebut, tak lama kemudian gajih lemak itu mengeras dan terbentuklah lilin lampu.

“Wow, begitu caranya lilin lampu dibuat.”
“Jangan menonton saja, Myne! Ayo bantu!”

Tuuli marah padaku, agar bisa membantu, jadi aku ambil tanaman herbal untuk menangkal bau yang aku pasangkan pada lilin yang sebentar lagi mengeras. Jika berhasil, aku akan menambah jumlah lilin yang aku pasangi tanaman herbal ini.

“Myne! Jangan main-main!”
“Hanya setongkat lilin ini saja, boleh tidak? Tuuli pastinya mau lilin yang tidak berbau tak sedap, kan? Aku mohon Tuuli.”
“Hanya setongkat ini saja ya, mengerti?”

Tuuli sampai berkata itu, jadi aku balas dengan anggukan besar.

Aku masih kurang tahu ini akan berhasil atau tidak, jadi sedari awal aku tidak berniat mengacaukan semuanya. Aku gunakan tanaman herbal yang berbeda untuk setiap lilin, demi mencari tahu mana aroma tanaman yang cocok.

Selama aku dan Tuuli membuat lilin lampu, orang tua kami sedang mempersiapkan persediaan kayu bakar. Tanpa kayu bakar sudah dipastikan kami akan mati kedinginan, memastikan kesediaan itu sangatlah penting. Ayah mengumpulkan kayu bakar yang dibawa Tuuli serta kayu bakar dengan yang kami beli dan dia gunakan kapak untuk memotong kayu-kayu itu dengan ukuran lima puluh sentimeter. Sedangkan Ibu mengambil kayu yang sudah dipotong itu dan menyimpannya di ruang penyimpanan musim dingin.

“Ibu mau simpan itu dimana?”

Aku kaget melihat Ibu pergi ke ruangan yang belum aku ketahui sebelumnya, padahal aku pernah ikut ke ruang penyimpanan bersamanya. Ini merupakan berita baru bagiku, tapi rupanya ada ruang terpisah dalam ruang penyimpanan. Ternyata ini lebih sering difungsikan untuk penyimpanan khusus selama musim dingin. Hampir setengah ruangan ini sudah terisi dengan kayu bakar.

“Huh? Aku tidak tahu ada ruang ini.”
“Ini ruang penyimpanan musim dingin kita, kamu lupa? Kok kamu bisa lupa ini, Myne?”

Sehubungan dengan ini, aku penasaran sekali soal kayu bakar yang dibawa Tuuli setiap kali dia kembali dari hutan. Sekarang aku tahu tempatnya. Karena kayu yang biasanya kami gunakan ada di ruang penyimpanan biasanya, aku tidak pernah sadar ada ruangan lain di dalam sana.

“... Dingin ya.”
“Iya, memang dingin. Karena ruangan ini berjauhan dengan tungku rumah kita.”

Rumah kami tak punya tempat mewah seperti perapian khusus, jadi sumber api yang ada di rumah, sudah rangkap jadi tungku dan tempat menghangatkan rumah kami. Kemungkinan kami akan menghabiskan waktu seharian di sana.

Dan sekarang, kasur kami sudah didekatkan dengan tembok yang memisahkan dapur dan kamar tidur. Selama ada api menyala dari sana, yang nanti menyala saat kami anak-anak sedang tidur, terasa cukup hangat.

Tapi rasa hangat itu hanya kami rasakan sampai kami tertidur. Ibu nanti akan mematikan api di tungku sebelum dia tidur, begitu kami bangun dipagi hari rasanya cukup dingin. Berbeda dengan kamar tidur, ruang penyimpanan musim dingin ada di tempat yang paling jauh dari tempat tungku berada, jadi di sana sangat dingin.

Itu adalah tempat yang sempurna untuk menyimpan makanan, minyak, dan kebutuhan lainnya yang sudah diawetkan agar bisa bertahan selama musim dingin. Dengan kata lain, itu jadi ruang pendingin alami dan kami tidak mau tempat itu terkena sumber panas.

“Ada banyak sekali kayu bakar di sini.”
“Iya, tapi ini masih kurang dari cukup.”

Sudah setengah ruangan ini terpenuhi dan masih kurang? Aku lihat seisi ruang penyimpanan musim dingin ini yang dipenuhi dengan kayu bakar dan kata “deforestasi” terlintas di benakku. Jika satu keluarga sudah memakan jumlah kayu sebanyak ini, sebanyak apa jumlah kayu yang diperlukan bagi semua keluarga kota ini?

“Myne, jangan bengong terus, waktunya persiapkan apa saja yang diperlukan untuk membuat kerajinan musim dingin kita.”

“Aku tidak bengong!”

Aku balas dengan kesal, tapi Ibu sudah mau sampai lagi ke dapur. Aku segera mengejarnya. Aku tidak mau ditinggal sendiri di ruang gelap tanpa jendela ini.

“Ibu, kita mau buat kerajinan musim dingin apa?”
“Soal itu. Kurasa, para pria akan memperbaiki alat yang mereka pakai untuk kerja? Kalau kita mau membuat baru alat atau perabot rumah, kita harus kumpulkan bahan-bahannya terlebih dahulu.”
“Jadi ini semacam kesibukan yang kita lalui selama musim dingin berlangsung?”

Ibu mengangguk sambil menghitung jumlah gulungan benang yang kami miliki di rumah.

“Kamu benar. Sedangkan bagi wanita, penting sekali untuk kita membuat baju. Kita tak akan menyelesaikan itu tanpa menyiapkan benang dan kain yang sudah diwarnai, dan itu harus dilakukan lebih awal. Ibu sudah warnai kainnya karena itu adalah pekerjaan Ibu, tapi kita masih harus menyiapkan benang dan serat rumputnya yang mirip seperti nillen, nanti itu bakal kita tenun tahun depan.”
“Huh.”
“Bukan hanya itu, musim panas selanjutnya Tuuli akan dibaptis. Ibu harus menyiapkan pakaian spesial untuknya selama musim dingin nanti.”

Ibu memperhatikan semua itu dengan mata yang serius, agar pasti tidak ada yang terlewatkan.

Aku punya perasaan tidak akan bisa membantu Ibu apapun, jadi aku kembali ke tempat Tuuli berada.

“Kerajinan musim dingin apa yang akan kamu buat, Tuuli?”
“Aku akan menganyam keranjang kecil. Nanti bisa kita jual saat musim semi tiba.”

Tuuli sedang mempersiapkan bahan-bahan yang dia perlukan untuk membuat keranjang kecilnya, karena itu yang akan dia buat selama musim dingin nanti. Sekarang dia sedang membersihkan bagian kulit kasar kayu yang dia kumpulkan dari hutan kemudian dia kupas atau. Lalu dia gunakan pisaunya untuk membagi-bagi kayu itu sesuai dengan jalur serat kayu.

“Nanti kamu mau buat apa, Myne?”
“Aku mau buat (kertas papyrus)!”
“Buat apa?”
“Ehehehe. Masih, jadi, rahasia.”

Aku ikuti proses yang dilakukan Tuuli dan mulai memisahkan serat yang aku perlukan untuk membuat kerajinan musim dinginku: untuk membuat kertas papyrus. Ini adalah tugas penting untukku. Suatu tugas hormat yang tak akan melibatkan amarah dari orang lain jika melihat aku melaksanakan ini.

Agar seratnya dapat lepas, aku cukup lakukan apa yang dilakukan Tuuli tadi, mungkin begitu. Kupas kulit luarnya, rendam dalam air, lalu keringkan. Persiapan musim dingin dilakukan sebelum Tuuli dan anak-anak lain dapat mengumpulkan banyak ranting pohon, jadi aku rasa akan ambil semua ranting pohon yang ada.

“Tuuli, aku butuh air untuk ini.”
“... Oke.”
“Tuuli, kira-kira bagaimana caranya agar aku bisa dapatkan serat dari ranting pohon ini.”
“Huh? Umm....”
“Tuuli, seratnya tidak akan kebawa angin kan kalau misalnya aku jemur didekat jendela?”
“........”

Aku kumpulkan semua serat yang lurus. Jumlahnya tak banyak, tapi seharusnya cukup untuk membuat satu atau dua kertas papyrus. Dengan begini, persiapan musim dinginku sudah hampir selesai.

Whew. Aku sudah bekerja keras. Eh, tunggu? Apa hanya perasaan aku saja gitu? Tuuli terlihat kesal.



PREVIOUS CHAPTER     ToC    NEXT CHAPTER


TLBajatsu

0 komentar:

Posting Komentar