Senin, 06 Mei 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 10: Dapat Kapur dan Papan!

 Volume 01

Chapter 10: Dapat Kapur dan Papan!



Persiapan yang paling penting untuk musim dingin adalah kesediaan stok pangan. Tidak seperti di Jepang, tak ada super market yang buka setiap harinya selama setahun penuh. Sedikit ladang pangan yang bisa tumbuh atau dipanen meski ada juga belum tentu pasar akan tetap buka melihat keadaan cuaca. Jika tidak mau mati kelaparan, maka haruslah dipersiapkan dari awal-awal. Itulah mengapa aku sekarang duduk di dalam gerobak yang bagian belakangnya ditutupi dengan kain untuk melindungi barang yang dibawa.

Semua ini bermula dari pagi hari, Ayah membangunkan kami sebelum matahari terbit.

“Oke, hari ini kita akan pergi ke peternakan! Sudah siap semua!”

Umm, jelas, aku belum siap. Apa yang sedang terjadi? Aku mengucek-ucek kelopak mata dan memelototi Ayah, sedangkan Ibu dan Tuuli mengangguk dengan penuh semangat dan senyum lebar. Hanya aku saja yang tidak mengerti rasa senang mereka.

“Oh iya, Myne waktu itu sedang sakit, jadi dia mungkin tidak tahu rencana kita hari ini.” Ibu menepukkan kedua telapak tangannya dan Tuuli dan Ayah mengangguk mengerti. Aku ditinggal dan dikeluarkan dari bagian keluarga, yang mana rasanya itu tidak enak dihati. 

Aku sedikit menggembungkan pipi, bibirku sedikit condong, tapi mereka tetap melanjutkan persiapan mereka. Sepertinya mereka tidak punya waktu untuk mengkhawatirkan aku.

“Seperti biasanya, kita harus menjaga kehangatan tubuh. Waktu tahun lalu, Ibu ingat kamu kena demam, Myne.” Ibu mengatakan itu padaku sambil menurunkan barang dari rak. Saat ini aku sedang berganti baju, semua itu karena mereka tidak bisa meninggalkan aku sendiri dan jaga rumah, aku tak punya pilihan selain ikut.

... Untuk apa kita ke peternakan yang tempatnya cukup jauh dari pemukiman kita?  

Aku punya niatan untuk jalan kaki agar aku bisa membangun stamina, tapi Ayah tidak sabar melihat jalanku yang lambat, jadi dia memutuskan mengangkat dan menempatkanku di dalam gerobak, setidaknya aku bisa jalan kaki sebentar. Dalam gerobak juga tidak tersisa ruang yang cukup untuk aku duduk, jadi aku jongkok meringkuk dalam gerobak.

Dalam gerobak ada banyak barel yang ukurannya berbeda-beda, ada banyak botol kosong, benang tali, kain, garam dan kayu. Semua yang ada dalam gerobak ini akan membantu kegiatan kami di peternakan, aku menduga itu....

Tunggu. Apa aku doang yang tidak berguna dalam gerobak ini?

Ayah menarik gerobak ini dari depan sedangkan Ibu dan Tuuli ikut membantu dengan mendorongnya dari belakang. Rasanya aku jadi beban hidup lagi, ini membuatku sedih lagi.

“Um, Ibu. Mau ada apa kita ke peternakan?”
“Kamu tahu tidak, tidak ada tempat mengasapi bahan makanan di kota? Nah, kita kesana untuk meminjam punya mereka.”

Kita akan mengasapi daging? Daging ya, aku ingat kita beli banyak daging dari pasar.

Tapi perasaan sudah dia rebus atau diberi garam, hampir ke semua daging yang kita beli. Apa masih ada yang tersisa? Kalau baru sekarang, bukankah sudah busuk? Aman tidak ya?

Aku mulai menghitung hari yang berlalu dengan jari, hasilnya cukup mengkhawatirkan, Ibu memperhatikanku dengan wajah heran.

“Kamu ini bicara apa? Ini kan hari babi. Nanti kita beli dua babi dari peternakan itu, terus kita bagi dua grup dengan warga lain untuk menangkap dan menyembelih babi itu, dan kita bagi-bagi dagingnya dengan mereka.”
“Apa?” Dalam sekejap, aku tutup telingaku agar tidak mendengar apa yang Ibu ucapkan tadi. Aku dengar sedikit tadi tapi cukup jelas ada jeda dari yang aku dengar dan yang aku proses dalam otak. Kemudian begitu masuk otak, aku mulai mendengar suara teriak babi, aku mulai gemetar. “Ba-ba-babi, hari babi?! Huh?!”
“Ini hari dimana kita berserta tetangga kita kumpul bareng, potong satu babi, kita awetkan dengan garam, awetkan dengan diasapi atau kita buat jadi becon, sosis, dan jenis pengolahan daging babi lainnya. Aduh Myne, kamu tidak ingat kejadian tahun lalu... oh, iya, kamu kena demam pada saat masih diperjalanan.”

Jujur saja, tahun ini juga aku ingin kena demam lagi. Setidaknya biarkan aku tidak melihat adegan itu.

“Ibu, bukannya kita sudah beli banyak daging di pasar....?”
“Kamu harusnya tahu, yang kita beli waktu itu tidak cukup. Malah, itu hanya daging tambahan untuk menutup persediaan daging babi di rumah kita.”

Waktu itu aku mengira dia sudah membeli daging persediaan musim dingin lebih dari cukup, tapi ternyata itu daging tambahan saja, bukan persediaan utama kami. Aku tidak membayangkan jumlah daging yang kami perlukan untuk bertahan selama musim dingin tahun lalu.

Berbeda jauh dengan rasa ketidaksukaanku yang sangat ingin jauh dari adegan dipotongnya babi, Tuuli penuh dengan senyum, dia tersenyum lebar sambil mendorong gerobak.

“Kegiatan kita hari ini di sana pasti menyenangkan. Kita bisa coba icip daging yang sedang dimasak dan ada sosis segar yang akan kita masak buat makan malam nanti, memuaskan bukan? Ini kali pertamanya kamu membantu, Myne, bagi orang-orang ini seperti festival yang tunggu-tunggu oleh mereka. Tahun ini aku bersyukur kita semua bisa pergi kesana!”
“Ditunggu orang-orang?” Aku berkedip bingung, dan respons Ibu “Jangan tanyakan hal yang sudah jelas jawabannya,” yang terlihat dari ekspresi wajahnya.
“Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang bisa kita andalkan? Pemotongan babi itu bukan hal yang mudah, dibutuhkan sekitar sepuluh orang untuk melakukan itu.”

Duh, tetangga kita.... Ingatan Myne cukup buram soal tetangga, jadi pasti akan ada banyak sekali orang yang mengenal aku tapi aku sendiri kurang tahu sisi itu. Bertemu mereka saja sudah membuat aku repot, apalagi saat kami mengolah babi, tambah repot lagi. Cukup dengan ingatan yang terjadi di pasar sudah membuat bulu kudukku merinding.

“... Aku tidak mau pergi.”
“Bilang apa kamu ini? Kita tidak akan kebagian sosis atau becon jika kita tidak pergi kesana.”

Kami memang butuh persediaan daging untuk musim dingin, jadi sudah pasti mereka tidak akan berputar balik meski dengar aku tidak mau pergi kesana. Aku harus ikut serta, tak peduli sedikit apa minatku. Aku menghela nafas, merasa tertekan, dan tak lama kemudian gerobak kami sampai di gerbang keluar.

“Eh, Kapten? Kenapa baru lewat sekarang? Yang lain sudah dari tadi lewat gerbang.”
“Iya, aku tahu.”

Salah satu rekan kerja Ayah menyapanya ketika kami melewati gerbang. Rupanya, waktu sudah berlalu cukup lama dari waktu lewatnya tetangga kami melalui gerbang.

“Hati-hati.” Satu rekan lainnya yang lebih muda memberi sapaan padaku, dia mungkin menyukai anak kecil karena sampai lambai tangan padaku, aku balas lambaian tangannya. Ramah-tamah adalah hal pertama yang harus diutamakan.



“Woooow....”

Tak lama setelah gerobak melewati terowongan singkat gerbang utara, aku mengeluarkan suara kagum kejut. Ini adalah pertama kalinya aku meninggalkan kota semenjak aku hidup sebagai Myne. Sungguh, aku tidak menduga perbedaannya cukup jauh dibanding dalam kota.

Yang pertama aku sadari, tidak ada bangunan tinggi. Dalam kota cukup padat, banyak sekali bangunan yang berjejer, tapi begitu kami pergi keluar kota lewat gerbang, ada jalan panjang lebar dan hanya ada sekitar sepuluh sampai lima belas rumah di luar sini.

Selain itu, udaranya segar. Rasanya semakin terbuka areanya, semakin sejuk udara yang kami hirup, dan sudah lama sekali rasanya aku tidak merasakan udara bercampur embun pagi. Tidak ada tembok tinggi yang menghalangi hembusan angin lewat. Aku melihat sekitar dan terdapat ladang pertanian yang bersebelahan dengan hutan yang dipenuhi pohon tinggi. Pemandangannya luar biasa tenang, benar-benar menenangkan hati.

“Myne, awas mulutmu. Nanti lidahmu kegigit.”
“Bwuh?!”

Tepat setelah diingatkan oleh Ayah, guncangan dalam gerobak semakin tidak beraturan bahkan naik turunnya lebih buruk dari sebelumnya ketika kami masih di kota. Jalanan yang kami lalui berubah yang semulanya terbuat dari bebatuan bulat tersusun dan kotor karena tanah, sekarang menjadi tanah yang tidak rata, ada yang bolong dan bergelombang naik. Guncangannya cukup keras sampai aku punya perasaan barang yang kami bawa akan jatuh dari gerobak, untungnya ada tali yang mengikat agar tidak jatuh. Yang dalam bahaya adalah aku, karena tidak diberi pengaman apa pun. Aku berpegangan pada sisi gerobak agar aman.

... Jalan ini sangat berbahaya! Kalau misalnya hari sedang cerah maka jalannya bergejolak dan kalau sedang hujan maka akan berlumpur! Belajar buat aspal sana! 

Aku menyuarkan amarahku dalam hati, tak lama aku merasa Ayah mempercepat lajunya.

Kami sampai di desa. Membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di sini, tepat mulai dari gerbang kota, setelah kami melewati gapura kota, aku mendengar suara bising orang sedang berbicara.

“Sebentar lagi kita sampai.”

Pemotongan babi menjadi tugas utama pria. Bintang seberat seratus kilo itu harus mereka tahan baik-baik, belum lagi mereka harus mengikat kaki binatang itu di atas. Kekuatan besar sangat terlibat dalam menuntaskan tugas tersebut.

Selama mereka melakukan itu, para wanita akan mempersiapkan proses pengasapan daging, mempersiapkan banyak air panas, dan proses pengawetan lewat garam serta alat-alat yang menunjang proses pengawetan daging.

Sewaktu kami sampai dalam desa, proses pemotongan sudah dimulai. Bagi yang tidak ikut serta, sudah seharusnya mereka tidak dapat bagian.

“Gawat! Sudah mulai ternyata! Effa, Tuuli, ayo kita langsung saja agar kita bisa ikut andil!”
“Oh tidak! Cepat, Tuuli!”
“Iya!”


Mereka bertiga berhenti mendorong gerobak, segera mengambil dan mengenakan celemek yang sudah dilapisi lilin, itu terbuat dari kulit yang cukup tebal.
<TLN: Celemeknya ini yang biasa dipakai tukang daging, jadi permukaannya itu licin dan mudah dicuci.>
Begitu Ibu dan Tuuli mengenakan celemek, mereka langsung lari ke tempat pengasapan terjadi, disana sudah ada banyak wanita yang berkumpul. Ayah mengenakan celemek juga dan dia segera lari setelah mengambil tombak, mungkin itu punya peran penting dalam proses pemotongan babi.

Apa.... cepat sekali mereka! Keluargaku sudah lari semua tanpa memberi aku waktu untuk memahami apa yang terjadi. Aku bisa ikut kesana dan lari mengejar Ibu, tapi begitu sampai di tempat banyak orang, aku tidak mau berdiri tidak jelas tanpa tahu apa yang harus dilakukan.

Ini acara yang rutin terjadi setiap tahunnya, jadi mungkin ada banyak aturan lisan yang tersebar. Andai saja aku punya petunjuk tertulisnya.

Karena sadar apa yang akan aku lakukan disana akan berakhir mengganggu tugas mereka, aku putuskan untuk diam dalam gerobak sampai ada yang memanggilku. Diam disini juga sudah termasuk tugas penting, aku bilang begitu pada diriku sendiri yang sedang diam di gerobak yang ditinggal.

Akan tetapi, sayang sekali, Ayah memarkirkan gerobak in ditengah lapang tempat pemotongan babi. Ada sedikit jarak antara kami, tapi aku bisa mendengar jelas suara jeritan babi yang menderita dan penuh rasa takut karena mereka sedang dikejar oleh pemburu. Ada pasak kayu yang ditanamkan di tanah, itu dikaitkan dengan tali yang mengikat kaki kanan belakang babi. Babi itu lari di tanah lapang ini mengitar pasak tadi, sedangkan para pria sedang mengejar dan berusaha menahan geraknya.

Aku melihat orang rambut merah jambu dalam kerumunan pria itu, aku tahu siapa dia. Ralph dan Lutz pasti ada disekitar sini juga.

“Kejar terus! Hyaah!” Banyak orang-orang berteriak dalam proses penangkapan itu, Ayah segera ikut serta dengan mereka. Tombak yang dia bawa tadi dipegang dalam posisi siap untuk menusuk targetnya dan dengan kecepatan tinggi dia tusukkan tombak itu ke babi. Satu tusukkan tadi sudah cukup membuat babi tadi kejang-kejang, kakinya juga sama, tak lama kemudian babi itu berhenti bergerak sepenuhnya.

Aku sedikit teriak, sedangkan para pria disana bersorak senang atas apa yang mereka lakukan. Ibu segera maju ke lapang sambil membawa ember besi dan tongkat kayu yang cukup panjang. Ada wanita lain yang masuk lapangan sambil membawa mangkuk ke dekat babi. Tak lama kemudian, darah berceceran ke segala arah, mengenai celemek yang digunakan orang-orang sekitar babi. Ayah mungkin menarik tombaknya setelah orang yang mempersiapkan ember dan mangkuk tadi datang.

Mulutku ternganga lebar dan merasa dipenuhi oleh rasa kejut takut. Aku tidak bisa melihat babinya dengan jelas karena ada banyak wanita yang mengelilinginya, tapi aku bisa melihat apa yang sedang dilakukan mereka, melihat mereka sedang menimba darah pakai mangkuk dan memasukkannya ke dalam ember.

Ibu sedikit mengerutkan alisnya sambil menarik sisa darah yang ada di mangkuk ke dalam ember. Ngh... Ibu kelihatan sangat menakutkan sekarang.

Kemudian digantungkan babi itu di pohon yang telah disiapkan, banyak orang bekerja sama untuk menggantungkan babi dalam keadaan kepala dibawah di sana. Darah yang masih tersisa mulai mengucur kebawah.

Proses pemotongan akan segera dimulai. Seorang pria membawa pisau daging besar datang dan menyayat perut babi.



Hanya itu saja yang aku ingat. Tanpa aku sadari, sekarang aku ada di bangunan batu, bukan yang aku kenali di desa. Aku bisa melihat langit-langit bangunan ini karena aku dibaringkan dalam posisi menghadap keatas oleh seseorang, tapi yang aku lihat ini bukan rumah.

Aku berkedip berkali-kali, dalam keadaan terbaring, dan aku ingat apa yan aku lihat sebelum akhirnya aku pingsan. Aku melihat sesuatu yang membuat aku mual. Namun entah kenapa aku merasa ada familiar dari kejadian pemotongan babi.

Apa ya... Familiar dari proses penggantungannya itu, yang nanti itu akan dipotong ke bagian-bagian kecil...

Aku merasa tahu tapi itu berhenti dilidah, yang tidak mau aku sebutkan. Jika harus aku tebak sumbernya, itu bukan dari ingatan Myne. Sumbernya itu dari ingatanku semasa aku masih jadi Urano. Aku pasti pernah lihat hal yang sama ketika masih di Jepang.

... Ah! Kejadiannya itu sama seperti proses pemotongan ikan di pasar labuh Ibaraki! Kalau aku ikuti perspektif mereka, aku bisa paham mengapa orang-orang begitu bergembira memotong babi. Aku ingat sekali rasa semangat orang-orang yang bisa menyantap ikan segar secara langsung. Kalau begini.... aku bisa mengerti mereka, tapi bagiku masih sulit aku terima secara mental. Faktor dari sulit diterimanya itu karena ikan tidak bersuara atau teriak seperti babi itu. Tidak mengucurkan darah juga.

Guuuh, jijik sekali....

Aku berguling, menutup mulut dengan tanganku, dan terjatuh dari tempat aku berbaring tadi.

“Oooow....”

Aku angkat badanku dengan tangan dan melihat sekitar, aku segera melihat bangku kayu kecil yang tempat yang menjadi alas berbaring tadi. Ada perapian yang menyala dekatnya, membuatku tidak merasa kedinginan. Tapi tidak ada orang di sini, dan aku juga tidak dengar ada orang yang sedang berbicara.

Oh iya... aku jadinya ada dimana? Waktu aku memutuskan untuk cari tahu dimana aku berada sekarang, mungkin karena dengar aku terjatuh, seorang prajurit mengintip kedalam ruangan.

“Oh. Akhirnya bangun juga?”
“Pak Otto?” aku menghela nafas karena ada dia adalah orang yang aku kenal.

Sebuah bangunan batu tempat Otto menjalankan tugasnya, berarti aku berada di ruang tunggu gerbang. Rasa cemasku menurun begitu aku tahu sedang ada dimana.

“Oh, kau ingat siapa aku?” Otto terlihat sedikit lega karena aku ingat dirinya. Cukup masuk akal. Karena tampilan luarku seorang anak kecil. Dia pasti mengira aku akan segera menangis bila bangun dan bertemu orang yang tidak aku kenal.

“Aku tidak akan bisa melupakanmu.” Alasannya, karena kaulah orang pertama berilmu yang aku temui di dunia ini dan kau (nanti) jadi guruku. Bagaimana bisa aku lupa?

Aku menirukan gerakan hormat menepuk dada, membuat Otto tertawa sebentar dan mengusap kepalaku.

“Kapten datang terburu-buru sambil menggendongmu. Dia bilang kau pingsan di gerobak. Dia akan segera kembali begitu urusannya selesai.”

Aku tidak tahu berapa lama proses pemotongan untuk satu babi, tapi mereka sedang mengolah daging, jadi aku rasa itu tidak akan selesai dalam waktu dekat.

Hmm.... mengingat hasilnya, Tuuli memang bilang kita akan dapat daging segar untuk makan malam. Kurasa aku akan menunggu di sini dulu. 

Kalau tahu akan ada waktu luang ini, aku harusnya bawa bahan untuk membuat papyrus ke gerobak, tapi sekarang itu sudah diluar kendaliku.

“Kau kenapa, Myne? Merasa kesepian tanpa ibu dan ayah?”
“Bukan, aku hanya bingung bagaimana aku menghabiskan waktu.” Aku gelengkan kepala dan mengatakan isi pikiranku.

Otto melirikku dengan penuh pikiran sebentar, dan dia berguam, “Katanya dia tidak semuda tubuhnya,” kemudian dia mengangguk pada dirinya sendiri. “Aku mungkin punya barang yang bisa bantu. Bagaimana, Myne, mau coba ini?”
“Wow! Papan kapur!”

Otto mengeluarkan papan kapur. Dia pasti sengaja membawa itu agar bisa dia berikan padaku, hari ini kami akan melewati gerbang jadi dia pasti yakin akan berpapasan denganku.

Orang berilmu yang memperhatikan keadaan orang lain?! Pak Otto sangat baik sekali!

“Aku harus kembali dan berjaga lagi di gerbang, selama aku pergi kau bisa belajar menulis.”

Otto menulis namaku, Myne, di sisi bagian atas papan sebelum dia menurunkan kapur dan kain. Setelah itu dia pergi meninggalkan ruangan.

Aku peluk papan kabur dengan satu tangan dan aku memberi dia lambaian tangan sampai berjumpa lagi dengan senyum paling lebar yang aku miliki sebelum akhirnya aku kembali melihat papan kapur dalam keadaan kepala menunduk.

Cara termudah menjelaskan apa yang aku dapat, ini adalah papan kapus kecil yang ukurannya sekitar kertas A4. Lalu lapisan hitam dari batu dipasangkan ke bingkai kayu. Kedua sisinya bisa dipakai untuk menulis, untuk satu sisi punya garis lurus sebagai tempat belajar menulis dengan rapi.

Alat tulisnya dikhususkan untuk menulis di permukaan papan batu ini, tapi aku bisa tahu ini sebenarnya batu tipis yang terbuat dari sedimen putih, tampilannya hampir mendekati kapur tulis yang tipis. Kain yang rupanya sedikit kotor ini ada untuk menghapus noda kapur di papan. Mungkin sudah cukup berguna, karena yang ditulis Otto tadi sudah mulai buram lagi meski hanya kena kain bajuku sebentar pas aku peluk tadi.

“Aaah, degdegkan sekail!” aku simpan papannya di meja dan aku pegang kapurnya. Padahal hanya menggenggam kapur saja tapi rasanya sudah seperti pensil, degup jantungku kencang sekali.

Aku mulai dari menirukan apa yang ditulis Otto, tidak satu karakter huruf yang aku kenali. Aku sangat tegang karena bisa menulis di kehidupan keduaku untuk pertama kalinya, hasilnya banyak huruf yang tidak rapi karena getar ditanganku. Jika ini Jepang, aku pasti akan menggeleng-gelengkan kepala dan menghapus tulisan tadi dan menulis ulang itu. Tapi karena sudah lama sekali waktu aku tidak melihat huruf-huruf membuat aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari papan kapur ini. Aku sangat bahagia.

Aku menarik nafas dalam-dalam, mengeluarkannya, aku hapus itu dengan kain disebelah papan, dan mencoba lagi. Hasilnya lebih baik untuk percobaan kedua. Aku tulis namaku, hapus, tulis lagi, hapus lagi....

Semakin lama, aku merasa bosan, jadi aku tulis puisi dan lirik lagu pakai tulisan Jepang, dan aku hapus, lalu aku tulis yang lain, dan aku hapus lagi....

Haah.... Bahagianya aku.

Tak pernah rasanya, aku merasa bahagia sekali hanya karena bisa menulis huruf.

Meski aku cukup dekat dengan perapian, ruang tunggu ini cukup sering dilewati angin yang mana aku alami cukup lama karena aku sedang menuliskan banyak hal di papan kapur dan menunggu dijemput oleh keluargaku, aku masuk angin selama itu dan aku akhirnya istirahat di kasur karena kena demam.


“Kamu masih sakit, Myne, tetap di kasur. Jangan keluar kamar!”
“... Iya.”

Orang tuaku sedang sibuk bolak-balik, keluar masuk rumah, itu karena mereka sedang membawa banyak umbi-umbian ke dalam gudang musim dingin. Tuuli ada di dapur sedang membuat selai dari buah dan madu yang dia kumpulkan sendiri. Di dunia ini, cukup dengan angin harum yang memenuhi rumahku sudah membuatku senang.

Mereka sedang menyimpan bir dan olahan babi, Tuuli membawa mangkuk isi sup untuk makan siangku. Aku simpan papan kapur dan ambil berserta bakinya.

“Maaf, Tuuli.”
“Haduh. Kamu ini.”
“Aww, apa? Bukannya sudah bilang kamu tidak bakal bilang itu?”
“Aku tidak menjanjikan itu?”

Soal itu... Iya, kamu tidak janji padaku. Tapi itu masih masuk bukan, kedalam janji yang tak diucapkan.

Selama semua orang sedang sibuk mempersiapkan diri mereka untuk menghadapi musim dingin, aku malah berbaring di kasur dan menulis banyak hal dalam papan kapur yang diberikan Otto padaku, aku latihan menulis namaku dan menulis pakai bahasa Jepang, cukup menyenangkan aku.

Tapi ingin sekali buku agar semua itu bisa tersimpan selamanya. Jika menuliskan huruf saja sudah membuat aku sesenang ini, aku yakin membaca buku akan pasti luar biasa sangat senang aku ini. Aku harus bergegas mendapatkan kesehatanku lagi agar aku bisa lanjut membuat kertas.





TLBajatsu

0 komentar:

Posting Komentar