Volume 8
Chapter 2
“Nah, ini dia. Bulan sudah terbit sekarang…” Mitsuki menghela nafas, menatap bulan purnama dengan sedih. Awalnya hanya terlihat di antara celah-celah pepohonan yang rimbun, lalu diam-diam naik bebas dari garis horizon ke langit malam.
Saat Mitsuki dan Yuuto melanjutkan persiapan mereka, hari demi hari terasa berlalu begitu saja.
Dalam setengah bulan terakhir yang tersisa, dia dengan patuh menghabiskan waktu bersama orang tuanya, dan juga menghabiskan waktu sebanyak mungkin untuk bersenang-senang dengan Ruri dan temannya yang lain, sehingga dia mungkin tidak akan meninggalkan penyesalan.
Malam kemarin, keluarganya dan Ruri mengadakan pesta perpisahan besar untuknya.
Meski begitu, fakta bahwa ini mungkin terakhir kalinya dia mengucapkan selamat tinggal kepada mereka telah membuatnya merasa seperti hanya ini saja, masih belum cukup untuk memuaskannya.
Jika aku melakukannya secara berbeda saat itu...
Jika aku melakukan hal tersebut untuk orang itu ketika aku bisa...
Aku berharap bisa mendapatkan kesempatan untuk...
Pikiran Mitsuki dipenuhi dengan segunung hal yang berputar di otaknya, menunggu penolakan oleh kesadarannya. Hal-hal yang dia tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk mencobanya. Pandangannya mulai dikaburkan oleh air mata.
"Mitsuki, pastikan kau menjaga kesehatanmu, oke?" Ibunya berbicara, nampak tak peduli air matanya sendiri, dan memeluknya erat-erat.
Mitsuki memikirkan bagaimana ini akan menjadi yang terakhir kalinya dia merasakan kehangatan ini, dan sudut matanya menjadi lebih panas. Dia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan mengucapkan selamat tinggal dengan senyuman, dan bukan tangisan, tetapi air mata tetap mengalir di wajahnya.
“Ka-kau juga, Bu. maafkan aku... maafkan aku, aku… aku bukan anak yang baik kan?"
“Apa yang kau bicarakan, sayang? Jika kau mengatakan itu, maka lakukan ini untukku. Pastikan kau menjalani kehidupan yang bahagia di sana. Itu... itu hal terbaik yang bisa dilakukan seorang anak untuk orang tuanya.”
“Ya… iya…” Mitsuki mengangguk berulang-ulang, masih terisak.
Mereka saling berpelukan untuk waktu yang lama, dan akhirnya, Miyo meletakkan tangannya yang gemetar di bahu Mitsuki dan dengan kuat mendorongnya menjauh.
"Tidak adil bagiku untuk memonopoli kalian semua untuk diriku sendiri, sekarang, kan?" Sambil tersenyum akan air mata, Miyo membungkuk sedikit untuk memberi isyarat kepada pria di sisinya.
Ayah Mitsuki, Shigeru, berdiri di sana, giginya terkatup rapat, wajahnya mengerut seolah dia mencoba menahan diri.
“Ayo, sayang, kau juga,” desak Miyo.
“Be-benar.” Shigeru berbicara dengan suara gemetar. "Ahh... um, yah, kau tahu... tetap berhubungan dengan kami sebanyak yang kau bisa."
Mitsuki bisa melihat bahwa mata ayahnya berair.
Setelah mendapatkan kesan yang lebih baik tentang Yuuto sebagai pribadi, ayahnya dengan enggan mengakui Yuuto sebagai seseorang yang layak untuk putrinya, tetap saja dia masih tidak tahan berpisah dengan Putri tunggalnya.
Mitsuki bisa membaca perasaan itu dari balik kata-katanya. Dia mengangguk dalam-dalam.
"Ya aku akan melakukannya. Aku akan menelepon kalian setiap hari, kapan pun itu jika memungkinkan.”
“Jika kau mulai membenci hal-hal disana, kau selalu dapat segera kembali kepada kami, oke? Aku ayahmu. Aku bisa menemukan cara untuk mewujudkannya.”
"Terima kasih ayah. Tapi tidak apa-apa. Aku akan bahagia.”
“...Ya, baiklah.” Shigeru memiringkan kepalanya, mencoba menahan air matanya, dan memunggunginya.
Bahunya bergetar. Kebanggaannya sebagai seorang ayah tidak akan membiarkan dia membiarkan putrinya melihat dirinya menangis.
Mitsuki membungkuk dalam-dalam ke arah punggung ayahnya. “Terima kasih telah merawatku, terimakasih untuk semuanya. Aku beruntung untuk dilahirkan sebagai putrimu Ayah. Tolong pastikan untuk berbahagia dengan Ibu, oke? ”
“J-jangan merendahkan ayahmu seperti itu! Kau masih anak-anak. K-kau hanya perlu khawatir tentang menjaga dirimu sendiri, itu saja kauuu... uuugh... augh...” Pada akhirnya, Shigeru tidak bisa menyelesaikan kalimatnya saat suaranya mulai terisak.
Tetesan air mata juga sekali lagi luluh dari mata Mitsuki.
Saat dia terdiam di sana, dia merasakan sebuah tangan tiba-tiba menepuk bahunya.
"Mitsuki, semoga sukses disana, dan kau pasti akan menjalani kehidupan yang menyenangkan!"
“Ruri-chan... Ya, ya! Aku pasti akan mewujudkannya!” Mitsuki menatap sahabatnya, yang datang ke sini di tengah malam hanya untuk mengantarnya pergi seperti ini, dan menunjukkan senyum terbesar yang bisa dia kumpulkan.
Wajah Ruri juga berlinang air mata, dia pasti terpengaruh melihat ibu dan ayah Mitsuki menangis. Meski begitu, dia menunjukkan seringai nakalnya yang khas, dan mengacungkan jempol pada Mitsuki.
"Ketika kau punya anak, pastikan kau mengirimiku foto."
“Apa?! K-kaku terlalu cepat, Ruri-chan!”
"Apa yang kau katakan?" Ruri tersenyum. “Yuuto-san seperti Raja di sana. Jika kau akan menjadi Ratunya, memiliki bayi secepatnya untuk mengamankan pewaris adalah salah satu peranmu, bukan? ”
"Sayangnya Yggdrasil tidak melakukan pergantian tahkta berdasarkan garis keturunan..."
"Hah? Tunggu, benarkah?” Ruri memiringkan kepalanya ke samping, bingung.
Memikirkannya kembali sekarang, Mitsuki ingat Ruri cukup banyak bermain atau tertidur setiap kali ada diskusi tentang detail Yggdrasil.
“Tunggu saja, Mitsuki,” kata Ruri dengan percaya diri. “Aku juga akan mendapatkan pacar yang keren, sama kerennya dengan 'Yuu-kun.' Aku akan mengirimimu foto saat waktunya tiba.”
“Ah ha ha! Aku menantikan itu.”
"Mitsuki, jaga dirimu baik-baik," tambah Ruri, terlihat sedikit terisak.
“Ya, kau juga, Ruri-chan.” Mitsuki menarik napas dalam-dalam. "Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi sekarang.”
Dia tidak ingin mengucapkan selamat tinggal, tetapi dia tetap berhasil mengeluarkan kata-kata itu, dan mengulurkan tangan untuk mengambil ransel yang diletakkan di kakinya dan memakainya.
Itu terlalu besar untuk tubuhnya yang kecil, dan sepertinya dia bisa jatuh kapan saja. Itu penuh dengan berbagai macam barang yang dia beli untuk persiapan hari ini.
Mitsuki memberikan satu perpisahan terakhir kepada semua orang, dan berbalik untuk pergi.
Berdiri jauh di depannya adalah Yuuto, yang melihat ke arahnya dengan wajah mengkerut dan terlihat agak sedih juga. Dia mengenakan ransel besar dan berat juga.
Jauh di belakang Yuuto berdiri ayahnya, Tetsuhito. Sepertinya Yuuto juga telah selesai mengucapkan selamat tinggal terakhirnya.
Dengan langkah yang berat dan sedikit goyah karena beban yang dibawanya, Mitsuki berjalan ke arah Yuuto.
"Maaf membuatmu menunggu."
"...Apakah kau benar-benar tidak masalah dengan ini?" Yuuto berkata pelan, melirik keluarga Mitsuki. "Kau masih bisa mundur, kau tahu."
“Tidak, aku baik-baik saja.” Mitsuki menyeka matanya dengan lengan bajunya dan membuat wajah berani, memaksa dirinya untuk melihat ke depan.
Tatapannya jatuh pada kuil Shinto kecil yang sudah usang dan sebagian reyot yang berdiri di depan mereka. Semuanya dimulai di sini tiga tahun lalu, ketika mereka datang ke sini untuk menguji keberanian mereka.
Mereka berdua selesai mengucapkan selamat tinggal. Yang tersisa hanyalah menunggu ritual pemanggilan di Yggdrasil dimulai, dan kemudian, ketika waktunya tepat, lihat ke cermin ilahi menggunakan cermin lainnya.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan memberitahu mereka untuk memulai ritual di sana.” Yuuto mengeluarkan smartphone baru, dan meletakkannya di telinganya.
Itu adalah model baru yang baru saja dia beli seminggu lalu. Seharusnya memiliki layar LCD terbaru, dan masa pakai baterai merupakan peningkatan luar biasa dibandingkan model sebelumnya.
Mereka memastikan untuk membeli baterai bertenaga surya berkapasitas besar, jadi situasi baterai mereka di sisi lain pasti akan meningkat secara drastis, tetapi walaupun begitu, tetap saja jumlah energi yang bisa mereka pakai tetap terbatas.
Yuuto telah memutuskan untuk membeli ponsel baru yang berumur lebih panjang dengan pemikiran bahwa lebih baik memilikinya daripada tidak, untuk berjaga-jaga jika terjadi kejadian tak terduga.
“Felicia? Apakah semuanya sudah siap di sana? ...Oke, kalau begitu lanjutkan dan mulai.”
Ini dia.
Hanya dalam beberapa saat Mitsuki akan meninggalkan Jepang, tanah tempat dia dilahirkan dan dibesarkan —
ー selamanya.
Begitu pikiran itu terlintas di benaknya, kecemasan tiba-tiba mulai muncul di dalam dirinya.
Apakah dia bisa menanggung kesedihan tidak bisa melihat orang tuanya lagi? Apakah dia benar-benar bisa bertahan hidup di negeri asing yang belum pernah dilihatnya, di mana dia bahkan tidak mengerti bahasanya?
Dia tahu itu agak terlambat untuk mulai takut, tapi dia tidak bisa menahannya.
Tapi dia juga tidak bisa mundur.
"Baiklah... Mitsuki." Yuuto menoleh padanya dan mengulurkan tangannya.
"Baik!" Dengan anggukan semangat, Mitsuki meraih tangan Yuuto, dan menatap layar smartphone yang dia angkat.
Aplikasi kamera sudah aktif, dan bingkai dipusatkan pada Yuuto dan Mitsuki, ekspresi mereka kaku dan gugup. Berpusat di sekeliling mereka, cermin ilahi menangkap cahaya bulan dan memancarkan cahaya menakutkan.
(ᚠᛟᛉ ᛟᛋᛋ ᛋᛖᚷᛖᛉᛜ)
Tiba-tiba Mitsuki mendengar suara seorang wanita, indah dan jernih seperti bel, sepertinya bergema dari jauh. Itu adalah suara yang dia dengar beberapa kali sebelumnya, di latar belakang selama percakapan teleponnya dengan Yuuto.
Ohh, jadi ini pasti suara Felicia, pikirnya. Kemudian gambar seorang wanita muncul di benaknya.
Bahkan saat dia terus melihat gambar dirinya dan Yuuto di layar smartphone dalam kenyataan, seolah-olah dia secara bersamaan menonton pemandangan yang berbeda dengan mata pikirannya. Itu adalah sensasi yang sangat luar biasa.
Wanita dalam pikirannya mengenakan tiara emas yang dihiasi dengan berbagai permata, serta pakaian putih bersih yang mengingatkan Mitsuki pada malaikat. Wanita itu benar-benar asyik melakukan semacam tarian.
“Wow, dia sangat cantik…” bisik Mitsuki, dan menghela nafas yang tidak dia sadari telah dia tahan.
Dia pernah melihat gambar Felicia sebelumnya, dalam Foto yang Yuuto kirimkan padanya, tapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan melihat sosok glamornya secara nyata seperti ini.
(ᚷᚢᛞ, ᛋᛖᚷᛖᛉᛜ ᚦᛁᛚᛚ ᛟᛋᛋ!)
Suara itu bergema di benaknya lagi, jauh lebih jelas dari sebelumnya.
Pandangan Mitsuki di dunia nyata mulai goyah.
Sepertinya ritual pemanggilan akan berhasil.
Mereka sebenarnya tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang metode yang tepat untuk bepergian dari Jepang abad 21 ke Yggdrasil, jadi mereka mencoba untuk mereproduksi rangkaian peristiwa yang sama yang mengarah pada pemanggilan Yuuto terakhir kali semirip mungkin.
Rencana yang hanya mengandalkan metode tidak jelas itu membuat Yuuto khawatir, berdebat, "Lalu apa yang kita lakukan jika itu tidak berhasil ?!" Bagaimanapun juga, masih ada ancaman dari Klan Petir dan Panther, dan dia sangat ingin pergi ke Yggdrasil sesegera mungkin.
Untungnya, sepertinya dia tidak perlu khawatir tentang itu.
"Hah?!" Mitsuki berteriak kaget saat merasakan sensasi tangan Yuuto di tangannya menghilang.
Dia telah mencengkeram tangannya erat-erat, bertekad untuk tidak melepaskan apa pun yang terjadi, namun seolah-olah mereka telah dipisahkan dalam sekejap. Seperti dia baru saja menghilang.
“Yuu-kun…!” Panik, Mitsuki menoleh untuk melihat ke arah Yuuto.
“Mitsuki!” Yuuto meneriakkan namanya, wajahnya diliputi keterkejutan. Suaranya entah bagaimana tampak jauh. Sosoknya tampak kabur dan samar.
Tanpa berpikir, Mitsuki secara refleks mengulurkan tangan ke arahnya.
Yuuto juga mengulurkan tangan, dan meraih tangannya... namun tangan mereka menembus satu sama lain.
“Apa?! Mitsuki, matamu...!”
Yuuto mengatakan sesuatu, tapi terlalu samar untuk didengar dengan jelas. Sosoknya kabur dan menjadi redup ...
...dan pandangan Mitsuki menjadi gelap.
Ketika pandangan Mitsuki kembali, hal pertama yang dilihatnya adalah cermin yang tampak familiar.
Permukaannya dipoles dengan hati-hati dan tidak ada setitikpun karat, tetapi selain itu, bentuk dan penampilannya tampak persis sama dengan cermin ilahi yang diturunkan dari generasi ke generasi keluarga Mitsuki.
Cermin itu diabadikan di atas altar persegi panjang yang dikelilingi oleh obor, bersama dengan sesuatu yang tampak seperti patung tanah liat.
Mitsuki merasakan sekelompok orang di belakangnya, berbisik satu sama lain, dan berbalik untuk melihat kerumunan beberapa lusin.
"Ah...!" Mitsuki hanya bisa terkesiap dan tegang secara naluriah; itu adalah kelompok besar, dan mereka semua jelas asing baginya, postur wajah mereka tirus dengan rambut pirang dan cokelat. Tapi mereka tampak sama terkejutnya dengannya, mungkin lebih dari itu.
Dengan mata terbelalak, mereka semua menatapnya, lalu mulai melihat sekeliling dengan gugup. Mereka seperti sedang mencari seseorang.
“Ah, itu benar! Bagaimana dengan Yuu-kun?!” Mitsuki juga dengan panik mulai melihat sekeliling, mencari teman masa kecil yang seharusnya dipanggil bersamanya.
Ruangan tempat mereka berada kira-kira seukuran gimnasium sekolah kecil, tetapi tidak ada tanda-tanda siapapun dengan rambut hitam gelap.
Mitsuki menatap telapak tangan kanannya.
Sampai saat terakhir, dia berpengangan tangan dengan Yuuto. Tapi sekarang, tangannya hampa.
Ini hanya bisa berarti satu hal.
"Apakah aku ... datang ke sini sendirian?" Saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, Mitsuki bisa merasakan darah terkuras dari wajahnya.
Dia telah mengantisipasi kemungkinan bahwa hanya Yuuto yang akan dipanggil, atau itu akan gagal dan tidak satupun dari mereka yang akan dipanggil. Tapi dia bahkan tidak mempertimbangkan skenario dia dipanggil sendirian.
“Tunggu, tidak, ini tidak mungkin...” Mitsuki mulai panik. Apa yang harus dia lakukan, sendirian di dunia di mana dia bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun?
“Mitsuki?” Seorang wanita memanggilnya, wanita yang sama yang dia lihat dalam penglihatannya sebelumnya — Felicia.
Ini pertama kalinya mereka bertemu tatap muka, tapi dia sudah mendengar banyak tentang Felicia dari Yuuto. Melihat seseorang yang dia kenal membuatnya kembali tenang.
“Ah, y-ya! Y-ya, itu benar. Aku Mitsuki. Ini aku Mitsuki.” Dia mengulangi namanya sendiri, menunjuk dirinya sendiri.
Felicia mengangguk untuk menunjukkan bahwa dia mengerti itu, lalu menjawab dengan sebuah pertanyaan. “Yuuto ?”
Dia menggunakan kata "Yuuto," jadi Mitsuki mengerti dia pastinya bertanya tentang apa yang terjadi padanya.
Itu juga pertanyaan yang paling ingin dijawab Mitsuki saat ini.
"Oh itu benar!" Mitsuki terkesiap.
Jika dia tidak tahu, dia hanya perlu bertanya sendiri padanya. Jika dia berada di sebelah cermin surgawi ini, dia bisa menghubungi dunia Jepang modern.
Dia sedikit malu karena kepanikannya membuatnya butuh waktu lama untuk mengingat itu.
“Eh, coba lihat, smartphone, smartphone…” Dia mencoba merogoh sakunya untuk mengambilnya, tapi ransel besar di punggungnya menahannya jadi tangannya nyaris tidak bisa meraihnya.
Dia lalu menjatuhkan tas berat, dan berusaha lagi untuk mencari smartphonenya.
Taaaa! Ta la laaaa!
Melodi tua yang akrab terdengar di telinganya. Itu adalah lagu yang populer sedikit lebih dari tiga tahun yang lalu; dia ingat bahwa Yuuto telah mengaturnya sebagai nada deringnya saat itu.
Mitsuki menoleh ke arah suara itu untuk melihat seorang gadis berambut perak.
"Felicia," kata gadis berambut perak itu.
Dia memiliki aura yang keras dan gagah disekitar dirinya. Saat dia memanggil nama Felicia, dia mengangkat item yang langsung dikenali Mitsuki.
Itu adalah model smartphone yang sedikit lebih tua, yang Yuuto gunakan tiga tahun lalu. Layarnya agak kecil untuk ukurannya, dan sedikit lebih tebal dari ponsel yang biasa dia lihat saat ini.
“ᛒᛉᛟᛉ?!” Felicia berlari ke gadis berambut perak dan mengambil telepon, meletakkannya di telinganya. Dia berteriak dengan kata-kata yang tidak dimengerti Mitsuki. Orang di ujung sana pasti Yuuto.
Mitsuki dapat dengan mudah mengetahui betapa khawatirnya Felicia dari nada suaranya, bahkan tanpa memahami kata-katanya sendiri.
Itu mungkin wajar saja. Yuuto adalah orang yang sangat ingin dipanggil kembali oleh Klan Serigala, namun disini mereka gagal memanggil pria itu sendiri, dan hanya mendapatkan penumpang tambahannya. Tentu saja mereka akan bingung.
Mitsuki sendiri merasakan hal yang sama, dipenuhi ketakutan akan apa yang akan terjadi sekarang.
Kecemasannya diperparah oleh tatapan aneh yang dia rasakan dari kerumunan, dan suara mereka dalam bahasa yang tidak masuk akal baginya.
“Mitsuki .” Felicia menoleh ke Mitsuki, yang dengan gugup melihatnya berbicara dengan Yuuto, dan mengulurkan smartphone padanya.
Tanpa berpikir, Mitsuki menariknya dari tangannya.
“Yuu-kun?!” dia menangis.
“Hei, apakah itu Mitsuki? Ya, ini aku. Aku tidak tahu kenapa, tapi sepertinya hanya kau yang dipanggil.”
Yuuto menanggapinya dengan suara yang jauh lebih tenang daripada suaranya sendiri. Mungkin itu karena dia punya kesempatan untuk berbicara dengan Felicia terlebih dahulu dan memahami situasinya.
“Mungkin Felicia hanya memiliki kekuatan sihir yang cukup untuk memanggil satu orang dalam satu waktu. Dia akan melakukan ritual Gleipnir lagi untuk kita, jadi duduklah sebentar, oke?”
“O-oke.” Mitsuki mengangguk, dan menghela napas lega.
Pikiran sendirian di dunia asing ini menakutkan.
Paling tidak, mereka sekarang tahu bahwa melakukan ritual Gleipnir seperti ini berhasil membawa seseorang dari Jepang modern ke Yggdrasil.
Kalau begitu, orang bisa berasumsi bahwa memanggil Yuuto selanjutnya akan menjadi tugas yang mudah...
********
“Oh, benar, malam ini bulan purnama.”
Berdiri di terasnya, Patriark Klan Panther Hveðrungr menatap ke langit dan berkata keras pada dirinya sendiri, seolah-olah dia baru saja mengingatnya.
Cahaya bulan menyinari wajahnya berkilauan dari topeng hitam legam yang menutupi bagian atasnya. Topeng anehnya itu membuatnya mendapatkan julukan Grímnir, Penguasa Bertopeng di antara orang-orang di wilayah itu, sebuah nama yang ditakuti secara luas.
Berurusan dengan akibat dari Pertempuran Gashina yang hebat telah membuatnya sangat sibuk selama setengah bulan terakhir, sedemikian rupa sehingga dia bahkan lupa tanggal kalender.
“Sigin!” Hveðrungr memanggil istrinya, yang telah berdiri menunggu di dekatnya. Tatapan dan nada suaranya dingin, jauh lebih dingin daripada yang diharapkan dari seorang suami yang memanggil istrinya.
Wanita ini telah memujinya dan berbicara untuknya ketika dia masih menjadi orang asing bagi klan, dan setelah membantunya naik ke tampuk kekuasaan, dia telah mengabdi padanya; dia pasti berutang padanya hutang yang luar biasa untuk itu.
Namun, wanita ini juga telah menggunakan kekuatannya untuk mengusir dari dunia ini seorang pria yang Hveðrungr telah bersumpah berulang kali bahwa dia akan membunuhnya dengan kedua tangannya sendiri. Namun sekarang pria itu berada di tempat yang jauh dari jangkauan.
Tindakannya tampak seperti pernyataan bahwa Hveðrungr bukan tandingan Yuuto. Istrinya, dari semua orang, telah melakukan ini. Dia tidak bisa memaafkannya untuk itu.
Terus terang, dia bisa memotong-motong tubuhnya dan masih belum puas, tetapi istrinya juga penguasa sebelumnya dari klan ini, dan orang yang secara terbuka menyebut dia sebagai penerusnya. Jika dia melakukan apa yang dia inginkan, dia tahu dia akan kehilangan kekuatannya untuk menyatukan Klan Panther di bawah kekuasaannya.
Karena itu, dia tidak berminat untuk berbagi tempat tidur dengan wanita ini lagi. Jadi hubungan mereka menjadi dingin dan hancur berantakan.
“Ada apa, Rungr?” Balasan Sigyn juga lesu.
Seperti biasa, pakaiannya yang terbuka tidak menyembunyikan keindahan kulit cokelatnya atau bentuk tubuhnya yang sempurna, tetapi keanggunan sensualnya yang biasa, dipadamkan oleh ekspresi gelapnya.
“Bagaimana kemungkinan Yuuto kembali ke dunia ini malam ini?” Hveðrungr menuntut. "Apakah itu benar-benar tidak mungkin?"
Memang benar, dua tahun lalu, Yuuto hanya ingin kembali ke tanah airnya. Tapi orang mudah berubah.
Yuuto sekarang adalah salah satu penguasa besar Yggdrasil barat, dan telah memperoleh kekayaan dan kekuasaan yang besar. Pundi-pundinya dipenuhi dengan emas, perak, dan harta; dia memiliki hak istimewa untuk memilih wanita cantik untuk melayani kesenangannya setiap malam; dan semua orang di bawahnya berlutut di kakinya dan mengikuti perintahnya.
Menjadi seorang pria yang menjalani kehidupan seorang raja, kehidupan yang hanya bisa diimpikan oleh sebagian besar orang lain, sepertinya tidak mungkin untuk mempertimbangkan bahwa Yuuto akan dengan mudah membuangnya.
Dan Klan Serigala, di pihak mereka, pasti menginginkan lebih banyak lagi pengetahuan yang bisa dia berikan kepada mereka, karena itu telah membawa mereka kejayaan dan kemakmuran.
Jadi, dengan malam ini menjadi bulan purnama, adik perempuannya Felicia mungkin sedang melakukan ritual pemanggilan sekali lagi.
“Itu tidak mungkin.” Sigyn menjawab dengan blak-blakan dan tegas, menjatuhkan harapan tipis Hveðrungr seolah memotong seutas benang. “Aku mendengar dari pendeta Kekaisaran, Alexis, tentang pengguna seiòr Klan Serigala, dan tentang seberapa besar kekuatan yang dia miliki. Jumlahnya kurang dari milikku. Aku adalah Penyihir Miðgarðr, dan aku mencurahkan hidup dan jiwaku saat menggunakan Fimbulvetr — dia tidak akan pernah bisa melakukannya.”
0 komentar:
Posting Komentar