Senin, 02 Agustus 2021

Kuma Kuma Kuma Bear Light Novel Bahasa Indonesia Volume 2 : Chapter 44. Beruang Membudidayakan Unggas

 Volume 2

Chapter 44. Beruang Membudidayakan Unggas



Pagi hari berikutnya, aku berangkat ke desa Kai lewat gerbang perpindahan. Saat tiba di sana, seorang warga melihatku dan datang menghampiri.

"Ada perlu apa?"

"Aku ingin bertemu dengan kepala desa, apakah bisa?"

"Tentu, silahkan."

Warga tadi dengan sopan memanduku ke rumah kepala desa.

"Oh, bukankah itu Yuna. Apa yang membawamu kemari?" sapa kepala desa dengan seutas senyum di wajahnya.

"Selamat pagi. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin kumintai tolong..."

"Tentu, apa itu?"

"Tentang Kokkeko yang tempo hari Anda berikan... apakah memungkinkan untuk menangkapnya hidup-hidup?"

"Kau menginginkan yang masih hidup? Jika kita memasang perangkap, kurasa menangkapnya bukan perkara sulit."

"Kalau begitu, bisakah Anda menangkapkan beberapa untukku. Aku menginginkan yang bisa bertelur, jadi tolong tangkapkan yang betina jika memungkinkan."

"Tentu, kami akan dengan senang hati melakukannya. Lagi pula, ini adalah permintaan langsung dari penyelamat kami. Jadi, berapa banyak yang kau inginkan?"

"Lebih banyak, lebih baik. Namun, aku tidak ingin memangkas terlalu banyak sumber makanan yang desa ini miliki, jadi tolong secukupnya saja."

"Aku mengerti. Kalau begitu, aku akan meminta para warga yang sedang luang untuk menangkapkannya."

"Terima kasih banyak."

Jika aku bisa mendapatkan Kokkeko hidup, aku bisa memproduksi telur.

"Jadi, apa rencanamu selagi kami menangkap Kokkeko?"

"Berapa lama kira-kira itu akan memakan waktu?"

"Mari kita lihat, kurasa sore nanti kami sudah akan dapat beberapa."

"Kalau begitu, aku akan kembali lagi nanti sore. Ada beberapa urusan yang harus kulakukan di gunung dekat sini."

Aku meninggalkan desa dan berangkat menuju gua tempat aku memasang gerbang perpindahan kemarin.


Saat tiba di sana, aku melepas gerbang perpindahan yang sebelumnya telah kupasang. Aku kemudian membangun ulang bagian dalam gua menjadi lebih besar dengan bantuan sihir tanah. Selanjutnya, aku mendirikan sebuah rumah. Itu adalah rumah satu tingkat berbentuk anak beruang lengkap dengan dapur, toilet, kamar mandi, dan sebuah ruangan pribadi. Aku juga melengkapi setiap ruangan dengan kristal sihir cahaya untuk penerangan. Sebagai sentuhan akhir, aku memasang kembali gerbang perpindahan di samping pintu masuk rumah yang baru saja kudirikan. Dengan ini, markas pertamaku telah selesai.

Ketika aku kembali ke desa, mereka telah menyiapkanku dua puluh ekor Kokkeko yang sudah diikat. Ini lebih banyak dari perkiraanku.

"Apa tidak masalah untukku menerima sebanyak ini?"

"Hewan itu tumbuh dan berkembang biak dengan cepat. Selain itu, daerah sekitar sini adalah habitat ideal mereka karena tidak ada monster yang berpotensi sebagai ancaman. Jadi, tidak usah sungkan dan tolong diterima."

Kurasa alasan Black Viper muncul ke pemukiman warga adalah karena tidak ada monster yang bisa ia makan di sekitar sini, pikirku.

Aku meminta warga untuk mengikatkan Kokkeko yang sudah mereka siapkan pada dua beruangku supaya tidak jatuh sewaktu kubawa pulang. Andai penyimpanan beruangku mampu menampung makhluk hidup, aku tidak akan kerepotan seperti ini. Yah, kurasa aku harus bersabar.

"Apa kau berencana untuk pulang sekarang?"

"Ya. Lebih cepat, lebih baik.

"Oh, begitu. Padahal kami ingin menjamumu lebih lama..."

"Tidak perlu repot-repot."

Sebelum pulang, aku menyerahkan sejumlah uang kepada kepala desa sebagai bayaran atas Kokkeko yang telah warga siapkan, tetapi ia menolaknya.

"Tidak, tidak, kami tidak bisa menerima bayaran dari orang yang telah menyelamatkan kami."

Aku tidak bisa membiarkannya, jadi aku memaksa kepala desa untuk menerima uang tersebut, kemudian pergi. Aku kembali menuju gua bersama kedua beruangku dan pulang ke Crimonia lewat gerbang perpindahan yang sudah kusiapkan di sana. Aku sebenarnya ingin segera mengunjungi panti asuhan begitu tiba di rumah, tetapi aku tidak bisa membawa beruangku ke jalan-jalan kota. Itu dapat menyebabkan kegaduhan. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk berangkat di malam hari.

Bicara soal Kokkeko, aku membiarkan mereka tetap terikat pada beruangku. Aku tidak berpikir mereka akan mati hanya karena itu, jadi kubiarkan saja.


Saat malam tiba, aku memacu kedua beruangku. Mereka berlari menyusuri jalan-jalan kota di bawah sinar bulan yang redup. Bukannya akan lebih mudah jika aku menggunakan gerbang perpindahan, kalian bilang? Terus terang, aku sudah lama ingin memacu beruangku di dalam kota.

Kami tiba di panti asuhan dan berhenti di tanah yang sudah aku beli. Aku lalu turun dari Kumayuru dan memeriksa tanah tersebut. Kurasa di sini cocok. Aku mendirikan sebuah kandang ayam menggunakan sihir tanah dan mengelilinginya dengan tembok setinggi tiga meter. Dengan tembok setinggi ini, Kokkeko-kokkeko itu tidak mungkin bisa lari, pikirku.

Aku membawa masuk kedua beruangku ke kandang dan melepaskan Kokkeko di sana. Begitu dilepas, burung-burung itu langsung berlarian ke sana kemari. Aku sangat lega Kokkeko-kokkeko itu tidak mati.

Pagi berikutnya, aku mengunjungi panti asuhan setelah selesai sarapan. Aku mendapati anak-anak tengah berkerumun di depan tembok yang aku bangun ketika aku tiba di sana.

"Nona beruang?!"

Anak-anak langsung berhamburan ke arahku begitu melihat aku datang.

"Nona beruang, sebuah tembok tiba-tiba muncul dalam semalam." Terang salah seorang anak sambil menunjuk ke arah tembok yang dimaksud. Aku lantas mengusap kepala anak tersebut.

"Itu karena aku yang membuatnya."

"Eh, sungguh?"

Anak-anak itu menatapku dengan wajah kagum.

"Kesampingkan hal itu, ada hal yang ingin kubicarakan dengan kalian dan ibu kepala pengurus, jadi ayo masuk ke dalam."

Aku membawa anak-anak itu masuk ke dalam panti asuhan dan mendapati ibu kepala pengurus sedang bersama seorang wanita yang tampak mendekati umur dua puluhan. Aku bisa menebak siapa wanita itu.

"Liz," ucap ibu kepala pengurus, "ini Yuna yang semalam kubicarakan—sekali lagi kuucapkan terima kasih untuk yang kemarin."

"Terima kasih banyak atas makanannya tempo hari," ucap Liz, menundukkan kepalanya.

"Apa yang membawamu kemari hari ini?"

"Aku ingin bertanya apakah anak-anak ini boleh kuperkerjakan? Aku akan membayar mereka dengan upah yang setimpal tentunya."

"Kau ingin memperkerjakan anak-anak?"

"Tidak perlu khawatir, ini bukanlah pekerjaan yang berbahaya."

"Pekerjaan macam apa itu?"

"Sudahkah Anda melihat tembok yang ada di luar?"

"Ya. Anak-anak terus saja meributkannya dari pertama bangun."

"Aku yang membuatnya kemarin malam. Aku ingin anak-anak ini merawat burung yang ada di dalam sana."

"Umm, kau membuatnya hanya dalam satu malam?"

"Kau ingin mereka merawat burung?"

Aku menjelaskan kepada mereka bagaimana tembok tersebut aku bangun serta rincian pekerjaan yang akan kuberikan pada anak-anak. Aku menerangkan bahwa anak-anak akan kuserahi pekerjaan untuk mengumpulkan telur di pagi hari, membersihkan kandang, dan merawat semua Kokkeko yang ada di dalam. Terakhir, aku juga menegaskan bahwa Kokkeko-kokkeko tersebut tidak dimaksudkan untuk dimakan.

"Dengan kata lain, kau ingin memulai bisnis berjualan telur?"

"Yah, mempertimbangkan harga telur yang tinggi di kota ini, kurasa iya."

"Kau yakin akan membayar kami hanya untuk melakukan pekerjaan seperti itu?"

Ibu kepala pengurus menatapku dengan raut tak percaya.

"Sebenarnya masih ada hal lain lagi, tapi cukup itu dulu untuk saat ini. Bagaimana pendapat Anda?"

Ibu kepala pengurus lantas mengalihkan pandangannya kepada anak-anak.

"Baiklah, semuanya tolong dengarkan. Tampaknya di sini Yuna-san ingin memberi kalian pekerjaan. Jika kalian bekerja, kalian bisa makan. Jika tidak, maka kalian akan kembali ke masa-masa dulu di mana sulit untuk mendapatkan makan. Yuna-san tidak bisa terus-terusan memberi kita makan, jadi apa keputusan kalian?" Tanya ibu kepala pengurus kepada anak-anak.

Anak-anak itu mendengarkan dengan seksama, kemudian mengangguk serempak setelah bertukar pandang satu sama lain.

"Aku akan melakukannya."

"Tolong biarkan aku melakukannya."

"Aku akan melakukannya juga."

"Aku juga."

"Aku juga."

Aku kagum dengan jawaban penuh semangat yang anak-anak itu lontarkan.

"Kalau begitu, bisa kuanggap kalian semua menyetujuinya?"

Mereka semua menjawab dengan setuju.

"Yuna, aku serahkan anak-anak ini padamu," ibu kepala pengurus membungkuk ke arahku.

"Tentu. Juga, bolehkah aku meminjam Liz?"

"Aku?"

"Ya, aku ingin kau ikut membantu juga."

"Tidak masalah, jika memang itu yang kau butuhkan. Liz, tolong perhatikan baik-baik apa yang Yuna instruksikan."

"Baik, ibu kepala pengurus."


Aku segera menuju ke kandang Kokkeko bersama anak-anak. Kami mendapati semua Kokkeko-nya tengah tertidur saat kami masuk ke dalam.

"Berikut adalah pekerjaan kalian: Pertama, keluarkan Kokkeko-kokkeko ini dari kandang mereka setiap pagi saat cuaca cerah. Kedua, kumpulkan semua telur yang ada di dalam kandang. Ketiga, bersihkan kandangnya. Keempat, beri Kokkeko-kokkeko ini makan dan minum. Kelima, masukkan kembali semua Kokkeko-nya ke kandang begitu tugas pertama sampai keempat selesai. Apakah kalian sanggup melakukannya?" Tanyaku.

Mereka semua menyanggupinya tanpa ragu-ragu.

"Baiklah, sekarang waktunya mengeluarkan burung-burung ini dari kandang mereka. Telur-telur yang mereka hasilkan akan menjadi pendapatan kalian, jadi pelan-pelan saat mengumpulkannya."

Anak-anak mengangguk paham dengan apa yang kukatakan.

"Masukkan telurnya ke wadah ini."

Aku menciptakan sepuluh wadah telur menggunakan sihir tanah. Setiap wadahnya mampu menampung hingga sepuluh butir telur. Untuk hari pertama mereka bekerja, anak-anak mampu mengumpulkan hingga satu wadah penuh. Kurasa ini jumlah yang lumayan untuk dua puluh ekor Kokkeko.

"Liz, apakah kau masih punya sayuran sisa?"

"Tentu, masih..."

"Apakah boleh aku memberi makan Kokkeko-kokkeko ini dengan sayuran sisa tersebut?"

"Yah, itu..."

Meski itu hanya makanan sisa, Liz telah bersusah payah mendapatkannya. Aku tidak heran dia enggan memberikannya untuk sekumpulan burung.

"Tidak usah khawatir, sayuran sisa tersebut akan menjadi nutrisi bagi Kokkeko sehingga mereka bisa memproduksi banyak telur."

"Baiklah, aku mengerti..."

Aku merasa dia masih belum mempercayaiku sepenuhnya, tapi setidaknya dia mendengarkan apa yang kukatakan.

"Baiklah, Liz, bisakah aku menyerahkan sisanya padamu?"

"Sudah mau pergi?"

"Yah, kita akhirnya berhasil memproduksi telur. Sekarang saatnya untuk menjualnya."

Aku membawa wadah berisi penuh telur tadi dan berangkat ke tujuan berikutnya.




TL: Boeya
EDITOR: Zatfley

0 komentar:

Posting Komentar