Minggu, 17 Juli 2022

Rokka no Yuusha Light Novel Bahasa Indonesia Volume 1 : Chapter 3. Perangkap dan Pelarian

Volume 1 

Chapter 3. Perangkap dan Pelarian 




Satu jam telah berlalu sejak tujuh Pahlawan pertama kali berkumpul di kuil, dan Adlet berlari melewati hutan. Jika peta ingatannya akurat, maka tepi Penghalang Abadi sudah dekat.

“Jadi apa itu Penghalang Abadi? Aku akan tertawa jika kita bisa menonaktifkan benda ini dengan mudah nyaa~.” Hans, yang baru saja ditemui Adlet, berlari di sampingnya. Adlet menatap pria itu dengan curiga. Bukannya Adlet curiga tanpa hal, tetapi Hans tampak seperti pria yang cukup mencurigakan.

Saat mereka berlari, Adlet menandai pohon yang mereka lewati. Setelah beberapa saat, mereka menemukan pohon di depan mereka memiliki tanda yang baru saja mereka tinggalkan. Tanpa disadari, mereka telah berbalik.

“Penghalangnya benar-benar hebat,” kata Adlet.

“Seperti yang kita duga,” jawab Hans.

Mereka berdua membuat satu upaya lagi untuk melarikan diri dari kabut, tetapi hasilnya sama. Mereka mencoba menggambar garis di kaki mereka saat berjalan atau melempar tali di depan mereka dan kemudian menelusuri jalurnya, tetapi mereka tetap tidak bisa keluar. Namun, ada satu hal yang berhasil mereka ketahui. Mereka hanya kehilangan arah ketika mereka mencoba keluar dari penghalang. Selama mereka masih berada di dalam, mereka tidak akan tersesat.

“Jadi kita tidak punya pilihan selain menonaktifkan penghalang.” Adlet menghela nafas.

Kelompok itu telah setuju untuk fokus menangani penghalang untuk saat ini. Masalah itu lebih mendesak daripada mencari tahu siapa di antara mereka yang penipu. Adlet dan Hans sedang menguji batas penghalang sementara lima sisanya mencari cara untuk menonaktifkannya di kuil.

“Aku akan kembali ke kuil,” Hans mengumumkan. Adlet mengangguk, dan mereka berangkat lagi. "Hei," sapa Hans sambil berlari. "Jadi, apakah kau orang yang pergi dan menerobos ke Turnamen Suci di Piena?"

"Ya. Kau tahu tentang itu?”

“Semua orang membicarakan-nyaa~. Adlet, prajurit pengecut. Benarkah kau menyandera cucu perempuan Batoal?”

“Dari mana fitnah itu muncul?” Adlet tidak menyandera. Mereka tidak punya alasan untuk memanggilnya "pejuang pengecut" sejak awal. “Ngomong-ngomong, Hans, aku belum pernah mendengar namamu sebelumnya. Kau berasal dari mana dan apa kegiatanmu?” Dia bertanya. Selain Hans, tujuh orang yang berkumpul di sini semuanya terkenal. Nashetania adalah tokoh terkenal, tentu saja, dan Mora serta Chamo juga, dan Goldof. Fremy juga terkenal sebagai pembunuh Pahlawan. Hans ini adalah pria satu-satunya yang tidak diketahui.

"Yah, memberitahumu hanya akan membuatku bermasalah," kata Hans.

"Apa maksudmu?"

Hans hanya tersenyum sebagai jawaban.



Ketika Adlet dan Hans kembali ke kuil, lima lainnya menunggu mereka di dalam. Nashetania, Mora, dan Chamo semua berkumpul di sekitar altar. Goldof dan Fremy sedikit menjauh. Pergelangan tangan Fremy diikat dengan rantai. Goldof mencengkeram rantainya saat dia menjaganya, mengamati setiap gerakannya. Mora membawa ransel dan senapannya. Fremy benar-benar bergantung pada belas kasihan mereka.

Tentu saja Fremy adalah orang pertama yang dicurigai. Chamo bersikeras agar mereka segera membunuhnya. Setelah mendiskusikannya di antara mereka berenam, mereka memutuskan bahwa, untuk saat ini, mereka harus menahannya. Dirantai, Fremy menatap altar dengan kosong. Ada sesuatu yang terlihat dalam ekspresinya.

“Jadi bagaimana, Mora?” tanya Hans. Ternyata, Mora adalah yang paling berpengetahuan di antara mereka dalam hal hieroglif, bahasa para Saint, dan penghalang yang memperkuat kekuatan Saint.

“Yah, kita telah menemukan masalah, sampai batas tertentu. Tapi sebelum aku membahasnya, aku sarankan kita memperkenalkan diri. Aku masih belum bisa mencocokkan nama dengan wajah.”

"Nyaa~, ingatanmu buruk," tegur Hans sambil tertawa.

“Saat kalian semua memperkenalkan diri, ceritakan sejarah pribadi secara singkat dan jelaskan bagaimana kalian datang ke sini,” lanjut Mora.

"Mengapa?" Hans bertanya.

“Informasi itu mungkin berguna untuk mengungkap si penipu…yang ketujuh,” jelasnya.

Mereka semua berkumpul di sekitar altar. Goldof mendorong bahu Fremy, mendorongnya ke dalam lingkaran.

"Nah, siapa yang akan duluan?" tanya Mora. Pada titik tertentu, dia telah mengambil peran sebagai pemimpin mereka, dan semua orang telah menerimanya secara alami. Dia adalah seorang wanita yang diberkahi dengan ketenangan dan martabat.

"Aku akan melakukannya. Namaku Adlet Mayer, dan aku adalah pria terkuat di dunia.” Adlet memulai perkenalan, memberi mereka sejarah singkat tentang dirinya dan berbicara tentang bagaimana dia bertemu Nashetania kemudian Fremy, dan kemudian urutan peristiwa yang mengarah pada kedatangannya di kuil. Tentu saja, dia mengulangi berkali-kali bahwa dia adalah pria terkuat di dunia.

Setelah ceritanya selesai, Mora adalah orang pertama yang merespons. “Eh…Adlet, kan? Sungguh pria yang aneh untuk terpilih.” Dia mengangkat bahu.

“Kau pria terkuat di dunia? Nyaa-ha-ha-ha! Betapa bodohnya. Benar-benar tolol.” Hans tertawa terbahak-bahak.

Adlet mengabaikannya. “Aku adalah orang yang paling dekat ketika penghalang diaktifkan. Haruskah aku membicarakannya juga?”

“Tidak, kau bisa memberi tahu kami tentang itu secara detail nanti,” kata Mora. "Siapa yang berikutnya?"

Di samping Adlet, Nashetania mengangkat tangannya.

Nyaa~, aku ingin mendengar beberapa hal dari gadis kelinci ini,” kata Hans. “Dan secara pribadi…”

"Hans, apakah itu namamu?" Goldof memotong. “Ketahui tempatmu. Beliau adalah putri mahkota dari keluarga kerajaan Piena. Dalam keadaan biasa, kau tidak akan pernah diizinkan untuk berbicara dengan seseorang seperti beliau.”

"Nyaa~?

Dia seorang gadis kelinci dan seorang putri juga? Itu membuatku semakin tertarik.”

“Bolehkah aku berbicara?” gerutu Nashetania, tampak kesal.

Ceritanya tentang peristiwa menjelang kedatangannya di kuil tidak jauh berbeda dari Adlet. Apa yang menjadi berita bagi Adlet adalah bahwa setelah mereka berdua berpisah, dia segera bertemu dengan Goldof. Itu terjadi tepat setelah Adlet dan Fremy pergi, sekitar waktu mereka berdua berada di benteng berbicara dengan Prajurit Loren tentang Penghalang Abadi.

Selanjutnya, Goldof menceritakan kisahnya. Dia berbicara tentang melacak Pembunuh Pahlawan dan bagaimana, ketika dia ditandai dengan Lambang Enam Bunga, dia sendirian di Negeri Sungai Suci. Goldof juga menceritakan pertemuannya dengan Nashetania. Bagian itu sudah diketahui Adlet.

Berikutnya adalah Mora. “Namaku Mora Chester. Aku adalah Saint of Mountains dan Ketua Kuil Surgawi saat ini.”

"Kuil Surgawi?" Adlet menyela. Dia pernah mendengar nama itu sebelumnya tetapi tidak tahu apa-apa tentangnya.

Nashetania menjelaskannya. “Kuil Surgawi adalah organisasi yang mengawasi kami para Saint.”

"Ya," kata Mora. “Meskipun kami tidak terlalu aktif sebagai sebuah organisasi. Kami hanya mengamati para Saint untuk memastikan bahwa kekuatan mereka tidak digunakan untuk kejahatan. Bagaimanapun, aku telah menghafal wajah, nama, dan kemampuan semua tujuh puluh delapan Saint.”

“Ketika orang-orang seperti Chamo mendapatkan kekuatan sebagai Saint, kami harus pergi menemui Bibi Mora,” kata Chamo.

"Namun, aku tidak tahu apa-apa tentang Fremy di sana," komentar Mora. “Saint of Gunpowder, katamu? Aku belum pernah mendengar tentang saint seperti itu. Aku akan menganggap bahwa dia adalah tipe Saint yang baru.”

"Apakah ada kemungkin untuk Saint baru muncul?" tanya Adlet.

“Ini tidak pernah terdengar, meskipun itu belum terjadi pada abad terakhir ini. Mari kita kembali ke topik yang ada.” Mora melanjutkan, “Sekitar sepuluh tahun yang lalu aku mengambil alih peran Ketua Kuil Surgawi dari ketua sebelumnya, Leura, Saint of Sun.”

Leura. Adlet telah mendengar nama itu beberapa kali selama perjalanannya. Dia mengendalikan cahaya dan panas matahari serta memiliki kekuatan untuk membakar seluruh kastil. Mereka mengatakan bahwa, meskipun dia sudah tua, kekuatannya atas matahari tidak berkurang sedikit pun. Tapi tetap saja, tubuhnya lemah, dan dia tidak bisa bergerak dari kursinya. Dan kemudian, sekitar sebulan sebelumnya, dia menghilang.

“Aku yakin aku telah memenuhi tugasku selama sepuluh tahun terakhir tanpa kesalahan serius,” lanjut Mora. “Meskipun menjaga Chamo agar tidak lepas kendali telah menjadi cobaan.”

“Menurutku kautelah melakukan pekerjaan yang luar biasa,” kata Nashetania. "Ayahku mengatakan bahwa tidak ada Saint yang bisa melakukan perbuatan jahat selama kau ada."

“Raja Piena mengatakan itu? Suatu kehormatan." Mora mengangguk puas. “Ketika Majin terbangun, aku berada di Negeri Puncak Merah. Aku segera berangkat ke Negeri Raungan Iblis, dan dua hari yang lalu, aku tiba di tempat di mana kita akan berkumpul. Di benteng, Prajurit Loren memberi tahuku tentang Penghalang Abadi, dan pada hari yang sama, aku memutuskan tindakanku. Aku menyembunyikan diri dan menunggu sendirian, sampai kemarin, ketika Hans datang berkeliaran. Tidak lama setelah itu, aku melihat ledakan terjadi dari arah kuil, dan aku bergegas ke sini.”

“Kau tidak tahu tentang Penghalang Abadi sebelum dua hari yang lalu? Bukankah tugasmu untuk mengatur para Saint?” tanya Adlet.

"Aku tahu keberadaannya, tapi tidak lebih dari itu," katanya. “Aku pertama kali belajar cara mengaktifkannya dan lokasi kuil ini dua hari yang lalu, dari Prajurit Loren. Seandainya aku tahu ini akan terjadi, aku akan berdiskusi dengan baik dengan Uspa Saint of Fog dan Adrea Saint of Illusion.”

Nama-nama itu mungkin milik para Saint yang telah menciptakan kebingungan ini. Jadi, Mora berkenalan dengan orang-orang yang menciptakan penghalang. Aku akan mengingatnya, pikir Adlet.

“Nah—selanjutnya, Chamo,” perintah Mora.

Chamo mengangguk. “Jadiii, Chamo menjadi Saint of Swamps pada usia sekitar tujuh tahun, yaitu tujuh tahun yang lalu. Chamo agak terlalu kuat, jadi Bibi Mora selalu marah. Dahulu kala, di turnamen bela diri di Negeri Buah Emas, seorang pria meninggal di babak pertama, dan semua pesaing lainnya keluar dari kompetisi.”

Adlet tahu cerita itu juga. Itu adalah anekdot terkenal yang digunakan untuk menggambarkan betapa kuatnya dia.

“Jadi bagaimanapun, sampai di sini tidak ada yang istimewa, kok,” lanjutnya. “Ketika Majin bangun, semuanya normal di rumah. Ibu dan Ayah membantu berkemas. Kemudian Chamo mengambil peta dan menuju ke Negeri Raungan Iblis. Berpergian ke sini tidak memakan waktu lama, tetapi Chamo tersesat dan akhirnya datang terlambat. Sambil berjalan, membunuh iblis dan sejenisnya, Chamo melihat sesuatu sedang terjadi dan pergi ke kuil lalu melihat Fremy di sana. Itu sangat mengejutkan! Dan itu saja.” Chamo menyelesaikan ceritanya.

Goldof menambahkan beberapa detail tambahan untuk Mora dan Hans. Dia memberi tahu mereka bahwa di masa lalu, Chamo telah bertarung dengan Fremy, dan mengetahui bahwa Fremy adalah pembunuh Pahlawan.

"Nyaa~. Jadi dia adalah Pembunuh Pahlawan. Aku tidak bisa mempercayainya.” Hans terdengar ragu.

“Dia mengakuinya sendiri. Itu kebenarannya,” jawab Goldof.

Sepertinya Hans disibukkan dengan beberapa pemikiran tentang masalah ini, namun dia tidak menceritakannya.

“Kami akan meminta Fremy untuk menceritakan kisahnya nanti. Selanjutnya, Hans,” Mora mendorong.

"Baiklah," Hans memulai.

Adlet pikir dia harus memperhatikan. Seluruh citra Hans—penampilannya, tingkah lakunya, sikap acuh tak acuhnya—menjadikannya yang paling mencurigakan dari semuanya, meskipun Adlet tidak ingin menilai terlalu cepat.

“Namaku Hans Humpty. Aku dari...yah, itu tidak penting nyaa~. Aku seorang pembunuh bayaran.”

"Pembunuh bayaran?" Nashetania memiringkan kepalanya.

“Yang Mulia, seorang pembunuh bayaran adalah seseorang yang membunuh demi uang. Seseorang yang pekerjaannya membunuh orang.”

Penjelasan Goldof mengejutkan Nashetania. Sepertinya dia belum pernah mendengar tentang pembunuh bayaran sebelumnya. “Pria seperti itu adalah salah satu dari Pahlawan Enam Bunga?” serunya.

"Nyaa~? Apa yang salah dengan seorang pembunuh bayaran yang menjadi Pahlawan?” Hans mencemooh kenaifan Nashetania. “Riwayat pekerjaanku tidak ada hubungannya dengan dipilih sebagai Pahlawan. Jika kau bisa mengalahkan Majin, maka kau dipilih untuk menjadi Pahlawan, pembunuh bayaran atau tidak. Bukankah itu benar?”

“Y-ya, tapi…”

“Putri, dunia tidak sebaik yang kau pikirkan. Banyak orang terkenal dari kerajaanmu datang untuk mempekerjakanku nyaa~.”

"Itu tidak mungkin!" Nashetania terdengar tersinggung.

“Yah, semua ini tidak membahas tentang pembunuh bayaran nyaa~. Aku lanjutkan ceritaku. Nyaa?"

Adlet mengangguk. Dia merasa tidak enak pada Nashetania, tetapi urusan pembunuh bayaran ini adalah masalah yang terpisah.

“Ketika aku terpilih, aku berada cukup dekat dengan Negeri Raungan Iblis,” lanjut Hans. “Pertama, aku bertemu dengan raja negara ini dan menegosiasikan bayaran untuk membunuh Majin. Raja adalah orang yang cukup murah hati. Dia menawarkan sejumlah besar uang tunai di muka. Jadi aku menyembunyikan uang itu dan pergi ke sini ke Negeri Raungan Iblis, dan saat itulah aku bertemu dengan Mora.”

“Kau menegosiasikan upah? Sebelum bertarung?” tanya Adlet.

“Aku tidak membunuh apa pun kecuali aku dibayar untuk itu. Kalian tidak melakukan ini secara gratis, kan?”

Adlet bahkan tidak pernah mempertimbangkan untuk dibayar karena mengalahkan Majin.

"Jadi kau tidak tahu tentang penghalang itu?" tanya Goldof.

"Nyaa? Raja mengatakan sesuatu tentang benteng, kurasa. Yah, aku pikir hal itu tidak ada hubungannya denganku, jadi aku mengabaikannya. Aku pertama kali mendengar tentang penghalang dari Mora.”

Itu sedikit aneh, pikir Adlet. Akan penting untuk mengetahui tentang penghalang, bukan?

Dia meragukan penjelasan Hans untuk bertemu dengan Mora tanpa pergi ke benteng. Namun, untuk saat ini, dia memutuskan untuk menyimpan keraguannya sendiri dan mendengarkan Hans dengan seksama.

“Aku tidak punya apa-apa untuk dikatakan tentang apa yang terjadi setelah itu. Aku melihat ada ledakan, jadi aku datang ke kuil,” tutupnya.

Lalu Chamo bertanya apa yang Adlet pikirkan selama ini. "Hei, kenapa kau berbicara seperti itu?"

N-Nyaa! Jadi kau sudah menyadarinya,” kata Hans sambil mengelus kepalanya dengan kepalan seperti kucing. Kemudian dia melakukan jungkir balik dan berkata, “Gaya pertarunganku didasarkan pada kucing. Aku datang dengan teknikku yang meniru bagaimana mereka bergerak. Aku pikir bisa dikatakan bahwa kucing adalah masterku. Sebagai tanda hormat, aku juga membiasakan meniru cara mereka berbicara.”

"Pasangan Pahlawan kali ini sangat aneh," gerutu Mora.

"Benar saja." Adlet mengangguk.

"Lihat siapa yang bicara, Tuan Terbodoh di dunia," kata Hans sambil tertawa. Sekarang setelah cerita Hans selesai, mata tertuju pada anggota terakhir mereka. Setelah dirantai oleh Goldof, Fremy mendengarkan dalam diam saat yang lain berbicara.

“Jadi…Fremy, kan?” tanya Mora. “Kau tidak akan lolos dengan mengatakan kau tidak ingin berbicara. Jika kau menahan diri, ketahuilah bahwa itu akan memperburuk posisimu.”

"Bagaimana bisa lebih buruk dari ini?" Fremy menyindir, dan kemudian dia terdiam. Keheningan berlangsung sebentar, tetapi akhirnya, dia perlahan mulai berbicara. "Aku adalah anak campuran dari iblis dan manusia."

Semua yang hadir, selain Chamo dan Goldof, tersentak.

"Goldof, lepaskan penutup mataku dan kain dari kepalaku," katanya.

Goldof menurut, lalu memperlihatkan mata kanan merah muda cerah Fremy. Di tengah dahinya, ada tanda yang ditinggalkan oleh tanduk yang menjadi bukti bahwa dia adalah iblis. Namun, itu telah dicabut hingga akarnya, dan yang tersisa hanyalah bekas luka.

“Oh ya, tandukmu hilang. Apakah kau sendiri yang melepaskannya?” tanya Chamo.

Fremy tidak menjawab, namun malah menceritakan sejarahnya. “Sekitar dua puluh tahun yang lalu, sekelompok iblis meninggalkan Negeri Raungan Iblis untuk menyusup ke alam manusia. Mereka memutuskan untuk membuat pion untuk melawan Pahlawan Enam Bunga sebagai persiapan untuk kebangkitan Majin. Yaitu aku.”

“…”

“Ayahku adalah manusia. Aku tidak pernah tahu wajahnya. Begitu ibuku mengandung, dia membunuhnya. Aku lahir dari ibu ras iblis dan dibesarkan sebagai salah satu dari mereka. Ibuku dan iblis lainnya menculik sejumlah besar manusia dan memaksa mereka membangun kuil baru untuk pemujaan Spirit of Gunpowder. Di situlah aku mendapatkan kekuatanku sebagai Saint of Gunpowder.”

“Jadi…,” komentar Mora.

“Aku memenuhi harapan ibuku dan menjadi pejuang yang hebat,” lanjut Fremy. “Dan kemudian aku berkeliling membunuh manusia yang kuat atas perintah ibuku. Itu demi kebangkitan Majin. Aku tidak merasa menyesal. Meskipun setengah manusia, aku menganggap diriku sebagai iblis penuh. Aku percaya Majin adalah makhluk agung yang akan melindungi dan membimbing kami.”

“Jadi, kenapa kau ada di sini? Mengapa kau memutuskan untuk mengalahkan Majin?” tanya Mora. Jawaban atas pertanyaan itu adalah inti dari kisahnya.

“Bahkan jika aku memberitahumu, aku ragu kau akan percaya padaku.”

"Jika kau tidak berbicara, kami tidak bisa percaya atau tidak percaya."

Mora dan Fremy saling melotot, lalu Chamo memotong. “Dia tidak perlu mengatakan apa-apa. Chamo akan tetap membunuhnya. Itu semua benar, kan? Kita tahu si penipu adalah Fremy.”

“Jangan, Chamo. Kita masih belum tahu itu," kata Adlet.

Chamo memberi Adlet tatapan polos, tapi ada kemarahan yang teredam di balik matanya. “Siapa namamu tadi? Kau menyebalkan. Bukankah ibumu pernah memberitahumu bahwa kau tidak perlu mengatur Chamo apa yang harus dilakukan?”

"Terserah, siapa yang peduli?" kata Adlet.

“Kau harus. Kau tidak boleh berdebat dengan Chamo,” bentaknya.

“Chamo! Dengarkan cerita Fremy sekarang!” Mora memarahi gadis itu, dan Chamo menurut. Adlet bersyukur atas kehadiran Mora. Dia bahkan tidak ingin mempertimbangkan apa yang akan terjadi jika dia tidak ada.

“Tolong beri tahu kami, Fremy. Mengapa kau akhirnya menentang Majin?” tanya Nashetania.

Tapi Fremy hanya menatap mereka semua dengan dingin. “Kau mendengar Chamo. Dia bilang aku tidak perlu memberitahumu apa-apa. Aku juga tidak ingin membicarakannya.” Dengan itu, Fremy menutup mulutnya sepenuhnya. Bahkan ketika Adlet memintanya untuk berbicara, dia tidak akan menatap matanya.

Pada akhirnya, Mora tampaknya menjadi tidak sabar dan mengubah topik pembicaraan. “Membuang waktu kita lebih jauh untuk pengenalan diri tidak ada artinya. Masalah yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa melarikan diri dari sini?”

Adlet ingin memprotes dan bersikeras bahwa percakapan belum berakhir, tetapi dia membatalkannya. Rencana Mora lebih penting.

“Aku sudah membicarakan hal ini dengan Goldof dan Fremy, tetapi Chamo, Nashetania, dan aku telah menyelidiki konstruksi penghalang ini,” Mora menjelaskan. Adlet dan Hans mengangguk. Sementara mereka berdua telah memeriksa perbatasan penghalang, Mora dan yang lainnya telah menguraikan buku di altar yang ditulis dalam hieroglif. “Mencapai inti dari masalah: Tidak ada metode untuk menonaktifkan penghalang ini yang tercatat dalam teks. Ada kemungkinan bahwa suatu metode ada, tetapi pada saat ini, kita tidak mengetahuinya.”

Nyaa~, sungguh bencana,” gumam Hans.

“Namun, masih ada dua cara untuk melakukannya,” kata Mora. “Pertama, orang yang mengaktifkan penghalang juga harus mampu menonaktifkannya. Sebaliknya, jika orang yang mengaktifkannya mati, kabutnya akan hilang.”

"Dan kau yakin akan itu?" tanya Adlet.

“Sembilan puluh sembilan persen yakin. Secara teoritis, penghalang yang tidak dapat dinonaktifkan bahkan oleh orang yang menciptakannya tidak akan ada. Penghalang yang tetap beroperasi bahkan setelah pengaktivasinya mati juga tidak mungkin.”

"Aku mengerti." Adlet ingat apa yang terjadi ketika penghalang pertama kali diaktifkan. Saat pintu terbuka, tentara lapis baja telah menyerangnya, dan kemudian iblis di belakangnya melepaskan tawa melengking itu. Seseorang telah mengaktifkan penghalang selama waktu itu dan kemudian melarikan diri. Tapi siapa yang melakukannya, dan bagaimana caranya? Dengan putus asa mencari petunjuk atau ide, Adlet melontarkan pertanyaan pada Mora. "Apakah orang yang mengaktifkan penghalang itu masih ada di dalamnya?"

"Ya," jawabnya. “Apakah manusia atau iblis, kita semua benar-benar tidak dapat lepas dari kabut. Itu berlaku bahkan untuk orang yang mengaktifkannya.”

"Apakah mungkin untuk mengaktifkan penghalang dari luar kuil?"

"Tidak."

"Bisakah penghalang diaktifkan hanya oleh manusia?"

Mora merenung sejenak sebelum menjawab. "Ya. Seorang iblis seharusnya tidak dapat mengoperasikan penghalang yang dibuat oleh Saint.”

“Dengan kata lain…ini berarti ada manusia yang bersekutu dengan Majin,” pikir Adlet.

Mora menggelengkan kepalanya dengan kuat. “Aku tidak bisa membayangkan seseorang seperti itu bisa ada. Jika Majin benar-benar bangkit kembali, itu bisa menandakan kepunahan ras manusia. Tidak ada manusia yang akan melakukan itu, apa pun alasannya.”

"Setidaknya ada satu di antara kita," kata Adlet.

“Itulah mengapa Chamo mengatakan Fremy penipunya. Kenapa kalian tidak bisa mengerti?” Chamo merengek, jengkel.

“Kita tidak tahu pasti itu. Aku percaya Fremy adalah salah satu dari kita,” kata Adlet.

"Tapi aku tidak bisa membayangkan manusia lain akan bersekutu dengan Majin." Mora memiringkan kepalanya.

"Mereka ada," desak Adlet. “Iblis menculik sekelompok orang dan mengancam mereka untuk bekerja sama. Tidak semua orang bisa menolaknya di bawah ancaman kekerasan. Jangan salah, ada manusia yang akan mengikuti perintah iblis.”

“Aku mengerti, Adlet. Maka ini berarti kita tidak boleh lengah,” kata Mora.

Saat itulah Fremy berbicara. “Kau tahu…,” dia memulai. Semua yang hadir menoleh ke arahnya dengan terkejut. “Kau sudah menjelaskan banyak hal sejauh ini. Tapi apakah yang kau katakan itu benar?”

Mora memelototinya. “Aku tidak berbicara berdasarkan perkiraan. Semua ini pasti akurat.”

“Bukan itu maksudku. Maaf, tetapi kau tidak memiliki bukti bahwa kau sebenarnya salah satu dari kami.”

“…”

"Aku bukan penipu," kata Fremy. “Aku bukan yang ketujuh. Yang ketujuh adalah salah satu dari kalian. Dari sudut pandangku, kaulah tersangka lainnya, Mora. Kau bilang jika kau membunuh orang yang mengaktifkan penghalang, penghalang itu akan hilang, dan bahwa iblis tidak dapat memicu penghalang...tapi aku tidak menjamin bahwa apa yang kau katakan itu benar.”

Mora tersendat. Adlet terkejut. Latar belakang Mora begitu kuat, dia tidak mencurigainya. Tapi Fremy benar—tidak ada jaminan bahwa pernyataan Mora benar.

"Fremy, kurasa Mora mengatakan yang sebenarnya," kata Nashetania.

"Ya, Chamo juga berpikir begitu," kata Saint muda itu.

"Oh? Tapi kalian tidak boleh melupakan bahwa salah satu di antara kita adalah musuh,” balas Fremy. "Salah satu dari kita berbohong."

“Kau yang paling mencurigakan di antara kita saat ini, Fremy,” kata Nashetania.

“Aku bukan yang ketujuh. Hanya itu yang bisaku katakan untuk sekarang.”

“Lalu menurutmu siapa yang ketujuh?” tanya Goldof. Fremy tidak menjawab.

Perlahan-lahan, fakta menakutkan bahwa seorang penipu berdiri di antara mereka mulai meresap. Salah satunya adalah musuh; salah satunya berbohong. Mereka harus mencurigai segalanya, bahkan komentar sekecil apa pun. Sebaliknya, jika Adlet mengatakan sesuatu yang ceroboh, dia bisa menjadi tersangka juga. Dia harus berhati-hati agar tidak terjrbak, tidak dicurigai, dan tidak salah mengira kebenaran sebagai kebohongan.

Saat itulah Chamo memotong pembicaraan. “Ayolah, ini akan menjadi terlalu banyak masalah. Kita hanya perlu membunuh Fremy dan menyelesaikannya, kan?”

"Itu lagi?" Adlet mulai sangat marah pada Chamo, bahkan jika dia masih kecil.

“Sepertinya Chamo terus mengatakannya berulang-ulang,” dia menekankan, “Tidak ada orang lain selain Fremy. Dia jelas orang yang menyalakan penghalang. Bisakah kau mematahkan lehernya untuk kita, pria besar?”

Goldof menggelengkan kepalanya. “Chamo, ketika penghalang diaktifkan, Fremy ada di sana di samping sang putri dan aku. Bahkan jika dia adalah penipu, dia tidak bisa memicu penghalang.”

"Oh. Kalau begitu mari kita siksa dan mendapatkan jawaban darinya. Ini akan menjadi pengalaman baru, tetapi Chamo akan berusaha keras,” kata gadis itu, dan dia menempelkan buntut rubah ke bibirnya.

Rasa dingin langsung menghantam tulang punggung Adlet. Dia tidak tahu untuk apa dia akan menggunakan buntut rubah itu, tetapi dia tahu itu akan sangat menakutkan. "Tunggu! Berhenti!" Adlet berteriak, meletakkan tangannya di pedang di pinggangnya.

“P-penyiksaan? Kau tidak boleh melakukannya! Goldof, hentikan Chamo!” Nashetania memerintahkan.

Goldof tampak ragu-ragu. “Yang Mulia, saya yakin kita tidak punya pilihan lain. Ini untuk perlindungan Anda. Adlet, antar Yang Mulia keluar.”

“Goldof! Bagaimana kau bisa mengatakan itu ?!” Nashetania terdengar sangat tertekan.

Chamo perlahan mendekati Fremy. Mora tampaknya juga bingung dengan masalah ini, tetapi dia tidak bergerak untuk menghentikan Saint yang lebih muda. Nashetania tidak bisa berbuat apa-apa selain panik.

Saat Adlet berpikir dia tidak punya pilihan selain bertarung, sebuah suara tak terduga meminta untuk menahan diri.

“Jangan repot-repot. Aku tidak menganggap Fremy yang ketujuh.” Itu adalah suara Hans.

Chamo, terkejut, menjauhkan ekor rubah dari bibirnya. "Apa yang kau bicarakan, pria kucing?"

"Aku hanya bilang, Fremy terlalu mencurigakan."

"Itu bukan alasan," kata Chamo.

"Nyaa~. Maka aku akan menjelaskannya dengan benar. Jika Fremy yang ketujuh, lalu mengapa Adlet masih hidup?”

“?” Chamo tampak ragu.

“Jika Fremy adalah penipu kita, aneh baginya untuk tidak membunuh Adlet sekarang. Dan sang putri juga bersama mereka—Fremy bisa membunuh mereka berdua pada saat yang bersamaan. Dari apa yang kami dengar, aku pikir dia akan memiliki sejumlah peluang nyaa~.”

"Yah..." Chamo ragu-ragu.

“Kita bertujuh berkumpul di sini akan menjadi situasi terburuk yang mungkin dialami Fremy,” lanjut Hans. “Setelah semua Pahlawan berkumpul di satu tempat, jelas ada yang palsu. Dan mendengar namanya dan melihat wajahnya, kita sudah tahu dia adalah Pembunuh Pahlawan. Dia pasti akan disiksa dan dibunuh, tahu?”

"Ya," Chamo setuju.

“Dia ingin menghindari kita semua berkumpul, apa pun caranya. Tapi dia hanya dengan santai mengikuti kalian, seperti yang diinginkan Adlet. Jika Fremy adalah yang ketujuh, apa gunanya itu?”

"Kau benar," kata Mora. "Terlalu banyak ketidakjelasan dalam perilakunya untuk dia menjadi musuh kita."

“Ya…mungkin kau benar.” Nashetania setuju.

Adlet merasa lega telah menerima bantuan tak terduga tersebut.

“Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa Fremy adalah yang paling mencurigakan di antara kita,” kata Mora.

"Yah, itu benar," Hans setuju. "Tapi jika dia berencana untuk menipu kita, kurasa dia akan melakukannya dengan lebih baik."

Chamo menatap sedih pada ekor rubahnya. "Hei, jadi apakah Chamo tidak boleh menyiksanya?"

"Nyaa~. Masih belum."

"Ini adalah pertama kalinya begitu banyak orang mengatur Chamo." Chamo tenggelam dalam kesedihan. Mereka telah, untuk saat ini, menghindari krisis secara langsung.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Mora, terdengar lelah sekarang karena keributan tentang kemungkinan penyiksaan telah mereda. Diskusi ini telah berlangsung cukup lama, tetapi mereka sebagian besar tidak membuat kemajuan.

Tiba-tiba, Nashetania membungkuk, menekan dahinya.

"Yang mulia!" Goldof melepaskan Fremy dan berlari menuju Nashetania. Hans segera meraih rantai Fremy sebagai gantinya.

“Aku baik-baik saja… aku hanya merasa sedikit pusing,” kata Nashetania sambil mencoba berdiri.

"Duduk. Jangan memaksakan diri," saran Adlet.

"Baiklah." Masih menekan dahinya, Nashetania berlutut. Goldof mendekatinya, menopangnya. Dia tampak pucat. Dia pasti sangat kelelahan. Dia belum pernah menunjukkan kerapuhan seperti itu sebelumnya, bahkan saat pertama kali dia bertarung dengan iblis. Dia adalah seorang pejuang yang sangat baik. Tapi dia dibesarkan tanpa menginginkan apa pun, jadi dia lemah secara mental. Salah satu rekannya adalah musuh, dan situasinya terlalu berat untuk ditanggung.

“Yah, mau bagaimana lagi. Kita akan istirahat sebentar,” kata Mora, bahunya turun. Meskipun ini bukan waktunya untuk beristirahat, masing-masing dari mereka beristirahat.

Adlet memutuskan untuk meninggalkan Nashetania ke Goldof. Ketika dia berdiri, Mora memanggilnya. Adlet dan Mora pindah ke sudut kuil. “Ada apa, Mora?” Dia bertanya.

"Tidak ada yang sangat penting," katanya. "Aku hanya merasa bahwa kau tampak seperti orang yang paling mudah untuk diajak bicara."

"Tentu saja. Karena aku adalah pria terkuat di dunia.”

“Fakta bahwa kau adalah orang yang paling mudah untuk diajak bicara di sini menunjukkan masa depan yang sulit.” Mora menghela nafas kecil. "Mengapa kau begitu yakin bahwa Fremy bukan yang ketujuh?"

"Aku tidak punya apa-apa untuk mendukungnya," pengakuan dia. “Hanya saja, ketika kita bersama, perasaannya sampai padaku.”

“Sudah setengah hari lamanya.”

"Ya, tetapi ketika sesuatu berhasil, itu akan berhasil."

"Alasanmu cukup kabur."

"Ketika kami pertama kali bertemu, aku memutuskan untuk mempercayainya," kata Adlet.

Mora memberinya tatapan yang sangat bermasalah. "Kau terlalu muda. Ada bahaya di masa muda yang tidak mengenal kecurigaan.”

"Terima kasih atas sarannya. Tapi pendapatku tidak akan berubah.”

“Aku merasa sedikit tidak nyaman dengan ini. Kau dan Pahlawan lainnya yang berkumpul di sini sekarang semuanya sangat muda. Chamo dan Goldof masih pada usia yang kebanyakan akan disebut sebagai anak-anak. Mungkin Dewi Takdir telah membuat kesalahan dalam penilaian.”

Itu benar. Adlet dan Nashetania masih berusia delapan belas tahun. Fremy dan Hans tidak diketahui usianya, tetapi mereka tidak terlihat jauh lebih tua atau lebih muda dari Adlet. “Kekuatan tidak diukur dalam beberapa tahun saja,” kata Adlet. “Orang-orang muda memiliki kekuatan anak muda.”

"Aku harap begitu."

“Itu akan membuatmu merasa lebih baik untuk berpikir seperti aku. Jika kau pesimis, kau akan membuat pertempuran yang bisa dimenangkan menjadi tidak mungkin.”

"Aku mengerti. Aku kira bisa berpikir seperti itu adalah hak istimewa lain dari masa muda.” Mora tersenyum.

Tapi Adlet menganggap bahwa Mora masih terhitung cukup muda menurut kebanyakan standar. Mengesampingkan cara bicaranya yang agak aneh dan kuno, berapa umurnya?

"Jangan berspekulasi tentang usia seorang wanita, anak bodoh," katanya.

Tajam. Adlet tersenyum kecut.

Kemudian Nashetania berdiri. Energi telah kembali ke wajahnya, dan semangat juang membara di matanya. “Aku sudah tenang. Aku minta maaf karena menjadi beban, semuanya.”

Tujuh dari mereka, setelah tersebar di berbagai arah, sekarang berkumpul sekali lagi di sekitar altar. Goldof mengambil alih tugas jaga dari Hans dan mengawasi Fremy.

"Ayo kita keluar," kata Mora. “Kita harus mengejar orang yang mengaktifkan penghalang itu. Pertama, kita akan mencari petunjuk. Adlet, jelaskan situasi saat penghalang itu diaktifkan, sedetail mungkin,” dia meminta, dan kelompok itu meninggalkan kuil.

Saat Adlet mulai berjalan keluar, Nashetania meraih tangannya. "Ada apa, Nashetania?" Dia bertanya.

"Um, tolong jangan anggap aku orang yang tidak bisa diandalkan," katanya. “Aku hanya sedikit terkejut.”

"Aku mengerti. Bukannya kau pemalu—itu terlihat seperti kau bangun untuk beberapa kejahilan.”

Nashetania mengepalkan tinjunya. "Aku akan melakukan yang terbaik."

“Pada kejahilan?”

"Untuk menghilangkan penghalang dan menemukan yang ketujuh."

Mereka bertujuh berjalan keluar dari kuil. Sementara mereka berdiri di depan pintu, Adlet memberi tahu mereka semua yang bisa dia ingat. Pertama, ada iblis berwujud manusia yang telah berbaring di luar pilar garam yang mengelilingi kuil. Itu telah menyamar sebagai seorang wanita dan mendesaknya untuk pergi ke kuil, dan kemudian mengungkapkan bentuk aslinya lalu melarikan diri.

“Iblis itu pasti tahu sesuatu. Jika kita bisa menangkapnya dan membuatnya berbicara…,” renung Goldof.

Chamo menggaruk kepalanya, tampak malu. "Maaf. Itu sudah mati. Secara kebetulan itu berlari ke arah Chamo.”

“Kenapa kau harus melakukan itu?” Goldof terdengar putus asa.

Mora datang untuk menyelamatkan Chamo. “Bahkan jika kita telah menangkapnya, tidak mungkin untuk merebut informasi darinya. Iblis adalah makhluk yang setia. Jika diperintahkan untuk tidak berbicara, mereka tidak akan pernah berbicara, bahkan dengan ancaman kematian.”

Adlet melanjutkan. Dia memberi tahu mereka bagaimana pintu itu dikunci dan bagaimana dia meledakkan kunci itu dengan bahan peledak.

"Aneh. Itu terkunci? Bukankah mereka biasanya memberimu kuncinya?” Chamo memiringkan kepalanya.

Mora mengeluarkan kunci dari saku dadanya. "Aku memilikinya. Aku berani bertaruh Prajurit Loren tidak pernah membayangkan skenario seperti ini.”

Adlet melanjutkan. Dia menceritakan sepasang prajurit lapis baja yang menyerang setelah dia mendobrak pintu. Ini adalah bagian yang paling membingungkan. Mereka telah menyerang Adlet, tapi dia tidak mengira mereka adalah pion iblis.

“Maksudmu zirah besi ini? Aku penasaran tentang itu…” Nashetania mengambil zirah yang jatuh dan mengintip ke dalam. Tidak ada tubuh di dalamnya—itu kosong. “Wajah bagian dalam dari armor ini dipenuhi dengan hieroglif. Sangat sulit, aku tidak bisa membacanya,” akunya.

“Ini adalah penjaga yang dibangun oleh Saint of Seals. Mereka tanpa pandang bulu menyerang siapa saja yang membuka pintu melalui cara yang tidak sah,” jelas Mora.

"Tempat ini cukup terlindungi, ya?" Adlet berkomentar.

“Orang yang menciptakan penghalang ini, raja Negeri Pegunungan Besi, sangat tertutup. Dia melarang tidak hanya iblis, tetapi juga manusia memasuki tempat ini. Itu pasti dilakukannya untuk mencegahnya disalahgunakan,” jawabnya.

"Tapi yah, penghalangnya disalahgunakan untuk kejahatan sekarang," komentar Adlet. Meskipun dibuat dengan niat baik, seandainya penghalang ini tidak pernah dibangun, mereka tidak akan terjebak di dalamnya seperti ini. Itu membuat Adlet ingin melacak orang yang melakukan hal ini. Dia ingin melanjutkannya, namun dia melihat sesuatu yang aneh. Hans mengintip ke dalam baju besi dan kemudian dengan cermat memeriksa pintu yang rusak. Ekspresinya serius. Tapi sebelum Adlet sempat menanyakan apa yang terjadi, Mora mendorongnya untuk melanjutkan.

"Dan setelah itu?" dia bertanya.

"Ya. Ketika aku membuka pintu, penghalangnya sudah diaktifkan. Aku pikir kabutnya dihasilkan segera setelah pintu dihancurkan. Namun, ketika aku masuk ke dalam, pedang itu sudah berada di alasnya.”

“Jadi penghalang itu diaktifkan sesaat sebelum kau membuka pintu?” tanya Mora.

“Ya, dan sama sekali tidak ada tanda-tanda ada orang di dalam. Terus terang, aku cukup terkejut,” akhir Adlet.

Mora melipat tangannya dan mempertimbangkan situasinya. “Sepertinya ini bukan perbuatan manusia biasa. Tidak diragukan lagi, seorang Saint terlibat.”

“Seorang Saint…,” ulang Nashetania. "Mengapa Saint mau bekerja sama dengan Majin?"

“Mereka mungkin diancam. Iblis sering melakukan hal semacam itu.” Adlet memandang Mora. “Kau pasti tahu, bukan? Kau akan tahu Saint mana yang mampu melakukan hal seperti ini.”

"Ilusi, mungkin?" dia menyarankan. "Tidak. Mustahil untuk menyembunyikan kehadiran mereka sepenuhnya darimu dan kemudian melarikan diri… Aku tidak bisa memikirkannya dengan mudah.”

"Nyaa~. Adlet.” Tiba-tiba, Hans memanggilnya dengan keras. "Apakah kau yakin kau tidak mengatakan sesuatu yang aneh?"

"Apa yang salah?" tanya Adlet. "Aku pikir tidak ada."

"Aku mengerti. Aku akan bertanya sekali lagi. Apakah kau yakin kau tidak mengatakan sesuatu yang aneh?”

Adlet bingung.

"Jika kau akan membantahnya, lakukan sekarang," lanjut Hans. "Jika kau mencoba untuk membantah kembali sesudahnya, segalanya tidak akan berjalan dengan mudah."

"Baiklah. Apa maksudmu?” Adlet menuntut.

"Ketika kau masuk ke sana, pedang itu 'sudah ada di alas.' Kau yakin?"

"Ya."

“Aku akan bertanya padamu untuk terakhir kalinya. Kau benar-benar yakin?”

“Aku sangat yakin! Kenapa kau tidak percaya padaku?”

Kemudian Hans diam-diam memegang pedang di pinggangnya. Adlet mengira dia mungkin akan mengeluarkannya, tetapi dia hanya meletakkan tangannya di sana. “Aku seorang pembunuh. Menyelinap masuk dan keluar adalah keahlianku.”

"Oh? Sepertinya kau akan sangat berguna,” kata Mora.

“Dalam pekerjaanku, tidak ada yang lebih kami takuti selain Saint of Seals yang agung,” lanjut Hans. “Nyaa~ lihat, Saint of Seals telah membuat pintu misterius ini di semua tempat. Dia membuat pintu dengan kunci yang tidak akan terbuka, pintu yang tidak akan menutup setelah dibuka, dan pintu yang akan menjatuhkan jeruji besi begitu kau membukanya. Berapa kali hal-hal itu memberiku masalah? Ngomong-ngomong, aku tahu sedikit hal tentang pintunya.”

"…Dan?" Adlet menuntut lagi.

"Pintu ini dibuat dengan cukup baik." Hans menjelaskan. “Alih-alih menjadi ekstra kokoh, itu dibuat agar begitu dibuka, tidak akan pernah bisa ditutup lagi.”

“Tunggu, apa artinya itu?”

“Akulah yang mengajukan pertanyaan, Adlet. Kedengarannya lucu, bukan? Pintunya tertutup ketika kau datang, dan penghalang diaktifkan saat kau mendobrak pintu. Jadi, bagaimana orang yang menyalakan penghalang itu bisa masuk?”

"Apa maksudmu?" Adlet bingung. Seharusnya ada banyak cara untuk masuk ke dalam.

“Dengar, Adlet. Tidak mungkin seseorang bisa memasuki kuil sebelum kau mendobrak pintu itu. Tidak ada yang bisa melakukannya!”

"Tunggu! Itu tidak mungkin!” Adlet pergi ke kuil. Dia mencari jendela ventilasi, tetapi tidak ada. Jendela-jendela yang membiarkan cahaya masuk diberi jeruji besi dan dilapisi kaca tebal. Dia mencari dinding batu, tetapi tidak ada jejak di mana pun bahwa mereka telah rusak dan kemudian diperbaiki. Tercengang, dia melihat sekeliling kuil. Dia telah mempertimbangkan bagaimana pelakunya bisa melarikan diri setelah mengaktifkan penghalang—tetapi dia tidak bisa mengerti bagaimana mereka bisa masuk sejak awal.

“Adlet, jika kau tidak mulai berpikir keras, kau akan mati,” kata Hans. “Bagaimana mungkin orang yang mengaktifkan penghalang itu bisa masuk ke kuil yang tidak bisa ditembus? Nyaa?"

"Aku…"

“Begitu pintu dibuka, tidak akan menutup lagi, dan pintu itu adalah satu-satunya jalan masuk. Bagaimana orang bisa keluar masuk seperti itu? Bahkan jika ada iblis dengan kekuatan khusus, iblis tidak bisa mendekat. Kau harus melakukannya dengan keterampilan manusia saja nyaa~.”

“…”

"Aku akan memberitahumu sesuatu yang lain," lanjut Hans. “Kami menyebut situasi semacam ini, di mana tidak ada yang bisa masuk atau keluar, sebuah ‘misteri ruang terkunci.’ Nyaa~.”

Misteri ruang terkunci. Istilah asing berputar di kepala Adlet. Dia tidak bisa memikirkan solusi tunggal untuk teka-teki ini. "Mungkin mereka menggali lubang," usulnya. “Melepaskan batu ubin dan gali lubang di kuil, lalu aktifkan penghalang. Dan kemudian ketika aku meledakkan pintu, mereka melarikan diri dan segera mengisinya kembali.”

"Nyaa? Dalam sekejap? Bagaimana?"

“Mungkin ada Saint dengan kekuatan yang bisa melakukan itu. Seperti Saint of Earth atau semacamnya.” Adlet mencari tanda-tanda bahwa mungkin ada lubang yang digali di dalamnya.

Tapi kemudian Chamo berkata, "Itu tidak benar."

"Kenapa tidak?" tanya Adlet.

“Ketika kau dan Hans pergi ke perbatasan penghalang, Bibi Mora berkata seseorang mungkin bersembunyi di sekitar sini. Jadi Chamo mencari di seluruh tanah dan hutan dengan kekuatan rawa. Tidak ada jejak lubang. Chamo juga memiliki kekuatan untuk menemukan benda-benda di dalam tanah.”

Kekuatan rawa dan kemampuan untuk menyelidiki bawah tanah. Makhluk apa dia iniAdlet bertanya-tanya.

“Adlet, aku juga melihat Chamo mencari di seluruh tempat. Mereka tidak mungkin menggali lubang,” Goldof bersaksi, dan Nashetania mengangguk. Adlet harus mempercayai mereka.

“Ada satu hal lagi yang harus aku tambahkan. Saint of Earth tidak memiliki kemampuan seperti itu. Bahkan dengan kekuatan Chamo, menggali lubang dan melarikan diri dalam sekejap tidak mungkin,” kata Mora.

Sekarang semua orang telah menolak sarannya, Adlet terpaksa membuang kemungkinan bahwa seseorang telah membuat terowongan keluar. “Maka itu tidak harus menjadi lubang. Mereka bisa saja menggunakan semacam kekuatan Saint,” katanya, menoleh ke Mora. “Mora, pasti ada seseorang. Pasti ada Saint dengan kekuatan untuk membuka pintu dan masuk ke dalam kuil.”

"Maaf, tapi tidak ada," jawab Mora. “Kekuatan Saint of Seals tidak bisa dipecahkan. Pintu ini bisa dibuka dengan paksa, tapi sekali dibuka, pasti tidak mungkin ditutup.”

“Itu tidak mungkin. Jika tidak ada Saint yang memiliki kekuatan, maka… tidak ada yang bisa masuk ke dalam.” Adlet memikirkannya. “Lalu ada seorang Saint yang belum kita ketahui. Seorang Saint yang dibesarkan oleh iblis, seperti Fremy.”

"Tidak. Ibuku mengatakan kepadaku bahwa aku adalah satu-satunya anak dari iblis dan manusia,” kata Fremy tanpa perasaan.

Ketika Adlet melihat ke atas, dia melihat Hans diam-diam mengeluarkan pedangnya dan Chamo menempelkan buntut rubahnya ke bibirnya.

“Hentikan, Hans, Chamo. Mari kita bicara sedikit lagi. Masih terlalu dini untuk memberikan penilaian.” Mora menahan pasangan itu, tetapi dia juga memandang Adlet dengan curiga.

"Hah? Um...aku tidak begitu mengerti apa yang kalian semua maksudkan.” Nashetania terdengar bingung. “Semuanya… apa yang kalian bicarakan? Goldof? Hans? Mora? Adlet?” Nashetania adalah satu-satunya yang berada dalam kegelapan saat ketegangan di antara para Pahlawan perlahan meningkat.

"Izinkan saya untuk menjelaskan, Putri," kata Goldof. "Saat ini, Adlet dicurigai."

"Betul sekali. Dan kecurigaan ini terdengar sangat menentukan,” tambah Hans.

"Mengapa? Itu tidak mungkin! Adlet tidak akan mungkin menjadi yang ketujuh!" Nashetania menangis dengan marah. Saat dia melakukannya, suaranya terdengar jauh.

“Yah, kau tahu—tidak ada yang bisa masuk ke kuil sebelum Adlet membuka pintu. Jika dia satu-satunya yang masuk, lalu siapa yang menyalakan penghalang?”

“Itu bukan Adlet. Itu bohong!" desak Nashetania.

Bahu Hans bergetar karena tawa. “Kau pria jahat, Adlet. Kau harus bekerja keras untuk membersihkan namamu, tahu?”

"Aku terkejut. Tiba-tiba posisi kita terbalik,” kata Fremy.

Goldof, masih menahannya, juga memelototi Adlet dengan hati-hati.

“Belum lama ini dia datang untuk membelamu, Fremy. Kau tidak akan menawarkan dukungan serupa?” Mora berusaha menghasutnya untuk bertindak.

"Aku tidak bisa menyelamatkannya," jawab Fremy dingin. "Aku juga tidak punya niat untuk itu."

"...Pintunya," Adlet tertekan. “Pelaku membuka pintu dan kemudian masuk ke dalam. Dan kemudian mereka melepas pintu dengan engselnya, karena tidak bisa lagi menutup, membuat pintu baru, dan menyegel kuil, bersembunyi di dalamnya. Ketika aku sampai di sini, mereka mengaktifkan penghalang dan kemudian, ketika pintu terbuka, mereka menyelinap pergi tanpaku sadari! Itu akan lebih memungkinkan!”

Penjelasannya tadi adalah puncaknya. Ketika Hans mendengarnya, dia mulai tertawa. Itu adalah tawa mengejek, seolah-olah dia berkata, Itu saja yang kau punya? "Pintu ini dibuat oleh Saint of Seals tua," katanya. “Saint saat ini tidak memiliki banyak pengalaman. Mereka tidak akan mampu membuat pintu yang begitu bagus.”

"Terus kenapa? Kalau begitu, Saint sebelumnya yang membuatnya.” Suara Adlet melengking. Dia tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.

“Saint of Seals yang lama meninggal empat tahun lalu. Tidak ada orang lain selain dia yang bisa memasang pintu itu.” Hans menolak bahkan jawaban yang paling putus asa.

Tanpa pikir panjang, Adlet memekik, “Kau yang ketujuh, Hans!” Itulah satu-satunya kemungkinan sekarang. Cerita tentang pintu dan Saint itu bohong. Tidak ada kemungkinan lainnya.

"Sayangnya, Adlet," kata Mora, "semua yang dikatakan Hans benar."

Adlet tidak bisa memikirkan tanggapan.

Dengan gemetar, Nashetania berkata, “Itu—itu tidak benar, kan, Adlet? Ini...ini tidak masuk akal.” Dia adalah satu-satunya yang tersisa yang percaya pada ketidakbersalahannya.

Kenapa ini terjadi padaku? Adlet bertanya-tanya. Itu adalah jebakan. Dia telah jatuh ke dalam perangkap. Yang ketujuh tidak hanya memenjarakan mereka semua di dalam penghalang. Ini adalah permainan untuk membuat para pahlawan saling membunuh.

“Sekarang, apa yang harus kita lakukan?” tanya Mora. “Sebagai permulaan, semuanya, beri tahu kami pendapat kalian.”

“Pendapat tentang apa?!” Adlet meratap, tetapi Mora tidak memberikan jawaban. Dia tidak harus melakukannya. Dia bertanya apakah Adlet adalah penipu atau tidak... dan apakah dia harus hidup atau mati.

“Tentu saja, aku pikir Adlet yang melakukannya. Kita harus membunuhnya sekarang,” kata Hans.

“Aku menentangnya! Bunuh Adlet? Itu benar-benar tidak mungkin!” Nashetania menangis.

Hmm, Chamo masih belum yakin dengan Fremy,” kata Chamo. “Seluruh penjelasan itu tidak cocok. Nah, untuk saat ini, kenapa kita tidak mencoba menyiksa Adlet saja?” Dia terkikik. Apakah dia serius, atau itu seharusnya menjadi sebuah lelucon?

“Aku percaya logika Hans benar. Tapi kita harus menunggu dan melihat sedikit lebih lama sebelum kita membunuhnya,” kata Mora.

Kemudian lima pasang mata beralih ke Goldof dan Fremy, yang sebelumnya dirantai. Fremy berbicara lebih dulu. “Aku tidak punya pendapat. Terserah kalian mau melakukan apa.”

“Fremy.” Adlet menggertakkan giginya. Tidak bisakah dia membantunya sedikit saja—hanya sedikit saja?

"Aku mengerti. Lalu, Goldof?” tanya Mora.

Goldof memejamkan mata dan merenung sejenak. Cengkeramannya pada ikatan Fremy mengendur.

"Goldof," kata Nashetania. “Kau mengerti, bukan? Tidak mungkin Adlet adalah musuh kita.”

Goldof membuka matanya dan berkata pelan, "Inilah yang saya pikirkan." Saat dia berbicara, dia mengeluarkan tombak yang tersampir di punggungnya dan langsung menutup jarak antara dirinya dan Adlet.

“Goldof!” teriak Nashetania.

Adlet melompat ke satu sisi dalam upaya untuk melarikan diri. Dia hanya terlambat sesaat dan nyaris menghindari tombak sementara tubuh besar Goldof masih menjatuhkannya ke belakang. Dia menabrak dinding kuil. Sementara ini terjadi, Hans menghunus pedangnya, bersiap untuk melompat ke arah Adlet.

Pada saat itu, pikiran Adlet kosong. Jadi apa yang membuatnya bertindak? Apakah itu naluri prajuritnya? Refleks bawah sadar? Atau itu takdir? Tangan Adlet bergerak begitu saja. Benda yang dia tarik dari kantongnya adalah salah satu yang terbaik di antara banyak alat rahasianya. Itu tampak seperti sepotong logam yang dibungkus kertas. Tetapi ketika dia meremasnya, bahan kimia khusus bersentuhan dengan pecahan logam langka di dalam kertas, menyebabkan reaksi kimia.

"Apa-!"

Cahaya yang intens meledak, berkali-kali lebih terang daripada menatap lurus ke matahari. Hans dan Goldof adalah lawan yang kuat—bom asap mungkin tidak akan berhasil pada mereka. Tetapi mereka tidak akan dapat langsung merespons serangan jenis baru. Semua orang menutupi mata mereka, kesakitan.

Pada saat itu, otak Adlet berputar kencang, mencari cara untuk melarikan diri dari kerumunan enam orang ini. Apakah rencana yang dia buat merupakan pilihan yang tepat atau tidak? Dia tidak memiliki pilihan untuk berhenti untuk mempertimbangkannya. Adlet berlari ke Fremy, yang pergelangan tangannya masih terikat rantai, bahkan sekarang setelah Goldof menjauh darinya.

Adlet akan melakukan apa pun untuk menang, menggunakan semua yang tersedia baginya. Dia tidak pernah bisa pilih-pilih tentang metodenya. Adlet telah menyatakan dirinya sebagai pria terkuat di dunia, dan itulah yang dia yakini. Apakah keyakinan itu benar atau tidak adalah masalah lain—mereka hanya mendukung tindakannya.

Pada saat penglihatan yang lain telah kembali, Adlet telah merangkul Fremy di bahunya. Ada jarum yang dicelupkan ke dalam serum tidur yang menyembul dari bahunya. Pedang Adlet ditekan ke leher Fremy. “Jangan ada yang bergerak. Jika kalian bergerak, aku bunuh dia,” katanya. Ujung pedangnya memotong beberapa milimeter jauh ke dalam kulit lehernya. Lima orang sekitar Adlet semua membeku.

Ini adalah satu-satunya cara.

Adlet hanya memiliki dua jarum tidur, dan tidak ada alat lain yang bisa menciptakan celah tertentu untuknya.

“Tidak mungkin… Ini pasti…” Pedang Nashetania terlepas dari tangannya, dan dia merosot ke lantai.

"Rahasianya sudah terbongkar sekarang, begitu," kata Mora.

N-nyaa~. Aku tidak benar-benar mengharapkan ini,” Hans terengah-engah. Adlet memelototi lima Pahlawan di sekitarnya. Masalah besar ada pada Hans, yang memblokir pintu masuk kuil. "Minggir."

“Menyuruhku untuk pindah tidak akan membuatku bergerak. Aku mungkin akan melakukannya jika kau memberitahuku untuk tidak melakukannya.”

“Kalau begitu jangan. Tetap di sana,” kata Adlet.

“Apa yang harus kilakukan, aku bertanya-tanya?” Hans diam-diam mencari kesempatan untuk memisahkan kepala Adlet dari bahunya. Tetapi orang terkuat di dunia tidak akan memberinya kesempatan.

"Biarkan Chamo yang melakukannya," kata Chamo, menggoyangkan ekor rubahnya.

Tapi Mora menghentikannya. "Tunggu. Kekuatanmu akan menelan Fremy juga. Kita tidak bisa melakukan itu.”

“Lalu apa yang kita lakukan?” tanya Chamo.

Semakin tidak sabar, Adlet berteriak, “Siapa bilang kau bisa mengobrol?! Buat keputusan, Hans! Apakah kau akan pindah atau tidak ?!”

N-nyaa! Aku mengerti. Aku akan bergerak, jadi jangan berteriak padaku!” bentak Hans, mengambil satu langkah menjauh dari pintu.

Adlet segera meledakkan granat flash keduanya. Semua orang dibutakan lagi. Tapi tentu saja, itu tidak akan seefektif kedua kalinya. Masih membawa Fremy, Adlet berlari ke pintu luar. Saat itulah dia merasakan sesuatu mengenainya dari belakang. Hans telah melemparkan pedangnya, menguburnya di punggung Adlet. “Ngh!” Kali ini dia melemparkan bom asap untuk memperlambat Hans dan yang lainnya mengejarnya. Memanfaatkan setiap alat rahasia di gudang senjatanya, Adlet melarikan diri. Dia melewati pilar garam dan masuk ke hutan. Dia berlari dan berlari dari suara langkah kaki para pengejarnya, mendekati jejaknya. Rasa sakit di punggungnya sangat kuat, tetapi dia tidak bisa mencabut pedangnya. Jika dia melakukannya, darah akan menyembur dari lukanya, dan dia segera tidak bisa bergerak. Adlet tidak punya pilihan selain pergi dengan pedang masih di punggungnya.

"Sialan..." Dia pikir itu akan cukup untuk keluar dari sana. Tapi tentu saja tidak. Setelah itu, tak satu pun dari mereka akan percaya bahwa dia tidak bersalah. Tapi tidak ada cara lain untuk bertahan hidup.

Sudah berapa lama aku berlari? Kabut itu diwarnai merah tipis yang akhirnya digantikan oleh senja. Matahari terbenam. Tiba-tiba, Adlet menyadari dia tidak bisa mendengar langkah kaki di belakangnya lagi. Dia berhenti di tempatnya, melepaskan Fremy dari punggungnya, dan jatuh ke tanah. Begitu dia turun, dia tidak bisa bergerak lagi. Oksigen tidak mencapai otaknya, dan pikirannya tidak akan tenang. Dia harus mencabut pedangnya dan menghentikan pendarahannya sebelum Fremy terbangun, menusuknya dengan jarum tidur lainnya, dan mempersiapkan dirinya untuk dikejar oleh para pengejarnya. Tapi tubuhnya tidak bisa bergerak lagi. Dia ambruk di tanah. Kesadarannya menjadi redup.

"…Hei." Bibir Adlet nyaris tidak bergerak. Dia memanggil dirinya sendiri—mencoba mengatakan pada dirinya sendiri bahwa jika dia pingsan, semuanya akan berakhir. Tapi kesadarannya tenggelam ke dalam kegelapan seolah menyeretnya ke bawah. Apa yang kau lakukan, Adlet Mayer? Kau adalah pria terkuat di dunia, bukan? Tidak mungkin kau bisa mati di sini, dia diam-diam bergumam pada dirinya sendiri, dan dia mengulurkan tangan ke punggungnya. Tangannya mencoba mengeluarkan bilahnya dan kemudian jatuh lemas.

Kemudian dia berhenti bergerak.



Hans sedang menyapu hutan yang gelap, mencari Adlet.

“Hans! Kita telah cukup mencari untuk saat ini! Matahari telah terbenam!” Suara Mora bergema melalui kegelapan yang menyelimuti Penghalang Abadi.

Hans berhenti dan menjawab, “Nyaa? Bagaimana kau bisa begitu tenang untuk masalah ini?”

“Akan berbahaya untuk melanjutkan lebih jauh. Kita tidak tahu trik macam apa yang dimiliki Adlet. Kegelapan adalah keahliannya.”

“Kau pikir aku akan membiarkan pria seperti itu mengalahkanku? Selain itu, dia akan membunuh Fremy.”

“Hans, tunjukkan lambangmu. Milikku sendiri ada di punggungku, jadi aku tidak bisa melihatnya sendiri,” kata Mora.

"Mengapa?" Hans menarik kemejanya untuk menunjukkan lambang di dadanya.

“Fremy tidak mati. Jika dia belum dibunuh, itu berarti Adlet telah menilai dia berharga sebagai sandera.”

"Nyaa, bagaimana kau tahu itu?"

“Lihatlah lambangmu sendiri.”

Hans menatap dadanya. Itu sama seperti sebelumnya, samar-samar bersinar.

“Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan sebelumnya,” kata Mora, “tapi ada enam kelopak, bukan? Ketika salah satu dari enam Pahlawan mati, salah satu kelopak itu menghilang. Ini memberi sinyal kepada kita apakah rekan kita masih hidup atau mati.”

“Aku tidak tahu itu,” kata Hans.

“Goldof, Chamo, dan sang putri telah kembali ke kuil. Mari kita kembali juga. ”

“…” Meskipun ekspresi Hans mengatakan dia tidak yakin, dia mengikuti Mora kembali.

Ketika mereka kembali ke kuil, tiga orang lainnya sudah menunggu.

"Tidak bagus," kata Chamo. “Kami benar-benar kehilangan dia. Dia sangat cepat.”

“Untuk bergerak dengan kecepatan seperti itu, bahkan ketika ditikam dari belakang… Kita tidak bisa meremehkannya.” Mora menghela nafas. “Kita memiliki sedikit pilihan. Kita akan memulai pencarian lagi besok. Mari kita berdoa agar Fremy tetap hidup sampai saat itu,” katanya, dan dia bersandar ke dinding dan menutup matanya. Yang lain juga, masing-masing beristirahat dengan cara yang mereka sukai.

Nashetania adalah satu-satunya di antara kelompok yang meringkuk, memegangi kepalanya. “Adlet, kenapa? Kenapa kau melakukan hal seperti itu?”



Yang ketujuh dikejutkan oleh kecepatan, kecerdasan, dan keberuntungan Adlet. Melarikan diri tampak mustahil, dikelilingi seperti itu. Mungkin salah menilai Adlet sebagai salah bidak yang mudah dipermainkan.

Tapi itu tidak akan menimbulkan terlalu banyak masalah. Apapun masalahnya, Adlet terpojok. Si penipu hanya perlu menunggu sampai Adlet jatuh ke tangan sekutunya sendiri. Yang ketujuh hanya akan melihatnya berjuang dengan sia-sia untuk sementara waktu. Tidak perlu terburu-buru.



Sekitar waktu lima lainnya menyerah mengejar dan kembali ke kuil, Adlet terbaring di tanah, tak sadarkan diri. Dalam kegelapan, dia bermimpi—sebuah mimpi masa muda yang menyedihkan.

Adlet mengangkat tongkat di atas kepalanya dengan teriakan. Dia mencoba memukul anak laki-laki yang berdiri di depannya dengan tongkat kayu kecil yang dibungkus kapas. Tapi bocah itu dengan mudah menghindari serangan teman bermainnya, malah memukul bahu Adlet dengan tongkatnya sendiri. Adlet menjerit dan menjatuhkan senjata kekanak-kanakannya.

Ah-ha-ha! Aku mengalahkanmu lagi!” Anak laki-laki itu tertawa. Namanya Rainer, dan dia adalah teman Adlet, tiga tahun lebih tua darinya.

Mereka tinggal di sebuah desa kecil biasa jauh di pegunungan Negeri Danau Putih, Warlow. Ada sekitar lima puluh orang di sana yang mencari nafkah dengan menggembala domba, menanam biji-bijian, dan memetik jamur gunung. Nama desa itu Hasna.

Di sudut padang rumput tempat domba merumput, Adlet dan Rainer berlatih adu pedang. Mereka adalah satu-satunya dua anak laki-laki di desa itu. Kapan pun mereka bisa mendapatkan waktu luang, mereka akan saling mengayunkan tongkat yang dibungkus kapas. Desas-desus bahwa Majin akan segera bangkit kembali telah menyebar hingga ke daerah terpencil ini. Warlow, Negeri Danau Putih, tidak jauh dari Negeri Raungan Iblis. Iblis dari Negeri Raungan Iblis mungkin akan menyerang pedalaman yang jauh ini. Pikiran seperti itu mendorong anak laki-laki untuk mengatur korps pertahanan yang terdiri dari dua orang.

“Adlet, kau harus menjadi lebih baik dalam hal ini. Pada tingkat ini, lupakan iblis. Kau bahkan tidak bisa mengalahkan ibuku.” Rainer menarik temannya yang benar-benar babak belur dari tanah.

"Kalau begitu mungkin ibumu harus bergabung dengan korps pertahanan," gumam Adlet sambil menggosok tubuhnya yang babak belur.

“Apa yang kau bicarakan? Korps pertahanan adalah kau dan aku, ”kata Rainer.

Sebenarnya, Adlet tidak antusias bermain korps pertahanan. Para iblis tidak akan sampai sejauh ini, dan Pahlawan Enam Bunga akan mengalahkan Majin. Bahkan jika iblis datang, orang-orang harus berbalik dan lari. Itulah yang dipikirkan Adlet. Tapi Rainer adalah satu-satunya temannya di dunia, jadi Adlet tidak bisa menolaknya.

“Rainer! Kau ada di mana? Aku tahu kau hanya bermain-main dengan Addy!” sebuah suara memanggil dari jauh. Rainer telah melewatkan pekerjaannya di ladang, jadi ibunya datang untuk menjemputnya. Bocah itu menjulurkan lidahnya dan lari ke arah yang berlawanan.

Itu adalah hari yang cukup berat bagi Adlet. Dia tidak hanya diseret ke dalam korps pertahanan, tetapi kemudian dia harus menenangkan ibu temannya yang marah.

“Oh, selamat datang di rumah. Rainer benar-benar mengalahkanmu dengan baik, bukan?” Ketika Adlet kembali ke pondok batunya, dia disambut oleh aroma sup jamur dan seorang wanita berusia pertengahan dua puluhan. Namanya Schetra, dan dia adalah wali Adlet.

"Schetra, beri tahu Rainer untuk memberiku istirahat dari semua latihan pertarungan," kata Adlet.

“Katakan itu padanya sendiri. Selain itu, dia tidak bermaksud jahat.”

 “Aku muak. Aku tidak harus menjadi pejuang. Aku benci berkelahi, ”keluh Adlet, meletakkan seikat kain di atas meja. Aroma yang menyenangkan tercium dari dalamnya.

“Itu jamur padang rumput, bukan?” tanya Schetra. "Sempurna. Aku hanya mencari beberapa bahan untuk menambah rasa.”

Setelah Rainer melarikan diri, Adlet pergi ke hutan untuk mencari jamur. Dia memperoleh sejumlah spesimen langka hari itu. Menemukan jamur yang lezat adalah hobi Adlet, dan itulah yang terbaik baginya. Schetra memotong potongan padang rumput dan memasukkannya ke dalam rebusan, menghasilkan bau harum yang mengingatkan pada daging panggang.

Tiga tahun sebelumnya, Adlet kehilangan orang tuanya karena wabah, dan Schetra kehilangan suami gembalanya dengan cara yang sama. Schetra telah menerima Adlet, dan mereka berdua telah hidup bersama sejak itu. Wali Adlet merawat domba dan memotong wol mereka, sementara anak laki-laki itu menggunakan susu mereka untuk membuat keju. Pasangan itu menjual keduanya ke penduduk desa lain untuk menghidupi diri mereka sendiri.

Itu adalah ingatan Adlet Mayer saat berusia sepuluh tahun. Dia sudah puas saat itu. Setelah dia kehilangan orang tuanya, Schetra dengan ramah memeluknya. Dia membawa senyum kembali ke wajahnya. Adlet menyukai bau tanah dan domba yang meresap ke dalam tubuh Schetra. Rainer memang menyebalkan, tapi dia adalah teman yang baik. Adlet muak bermain korps pertahanan, tapi dia cukup mengerti bahwa Rainer sangat ingin melindungi Adlet dan penduduk desa lainnya, dengan caranya sendiri. Dan penduduk desa lainnya adalah orang baik. Mereka membeli keju buatan Adlet yang kikuk dan mengatakan kepadanya bahwa itu enak, meskipun faktanya akan terasa lebih enak jika Schetra yang membuatnya.

Adlet adalah anak laki-laki yang benar-benar biasa saat itu. Dia tidak pernah mempertimbangkan bahwa dia bisa menjadi salah satu dari Pahlawan Enam Bunga. Dia bahkan tidak pernah menginginkannya, tidak sekali pun. Apa yang dia kuasai adalah menemukan jamur. Tujuannya untuk masa depan adalah belajar membuat keju yang lebih baik.

Adlet muda percaya bahwa hari-hari itu akan berlangsung selamanya.



Itu adalah mimpi. Mimpi tentang masa lalu.



“......Kenapa kau datang ke sini?”

Suasana mimpi itu telah berubah. Ada sebuah rumah di hutan, sebuah gua yang dimodifikasi di antara pepohonan yang ditumbuhi rimbun—tidak terlalu nyaman. Seorang lelaki tua duduk bersila di dalam.

“Atreau Spiker. Kudengar kau bisa mengajariku menjadi seorang pejuang.” Adlet tampak seperti mati. Pakaiannya compang-camping, dan tubuhnya kurus kering. Kedua tangannya berlumuran darah, dan matanya adalah mata seorang pria yang telah meninggal dengan kebencian yang tersisa.

“Tinggalkan gunung ini. Jika kau ingin menjadi kuat, bergabunglah dengan para ksatria. Jika kau ingin menjadi orang biasa, bergabunglah dengan kumpulan tentara bayaran.” Pria tua itu—Atreau—menolak dengan suara pelan tapi bergema.

“Itu tidak akan cukup. Itu akan membuatku kuat. Tapi itu tidak akan membuatku menjadi yang terkuat di dunia.”

"Yang terkuat di dunia?"

Alis Atreau bergoyang, rambut panjangnya menutupi ekspresinya.

“Aku tidak bisa menjadi yang terkuat di dunia melalui pelatihan normal,” lanjut Adlet. “Aku harus berjalan di jalan yang berbeda. Aku akan menjadi orang terkuat di dunia. Aku akan menjadi yang terkuat dan menghancurkan iblis.”

“Mengapa kau ingin menjadi seorang pejuang?” tanya lelaki tua itu.

"Untuk mengambil kembali apa yang dicuri dariku," jawab Adlet. “Aku tidak bisa mendapatkannya kembali kecuali aku menjadi lebih kuat dari siapa pun. Lebih kuat dari semua orang.”

“Menyerahlah,” kata Atreau dengan dingin. “Apa yang hilang tidak dapat diambil kembali. Menyerahlah dan hidup terus.”

"Aku tidak bisa!" teriak Adlet. “Aku harus mendapatkannya kembali! Jika tidak, lalu untuk apa aku bertahan?! Jika aku tidak bisa mengalahkan Majin, jika aku tidak bisa melawan iblis, hidupku tidak layak untuk dijalani sama sekali!

Atreau menatap mata Adlet sejenak, berpikir.

"Apakah kau pikir aku bodoh?" tanya Adlet. “Kau pikir tidak mungkin aku bisa menjadi yang terkuat di dunia, bukan?” Ada air mata di matanya. “Aku tidak peduli jika kau pikir aku bodoh. Aku tidak peduli jika kau menertawakanku. Aku akan terus percaya bahwa aku bisa menjadi pria terkuat di dunia. Aku akan terus berteriak bahwa aku akan menjadi pria terkuat di dunia. Bagaimana aku bisa menjadi lebih kuat jika tidak?!”

Atreau menatap langit dengan merenung. Kemudian dia perlahan berdiri dan menendang perut Adlet dengan keras. Itu menghantam dirinya dengan keras, asam mengalir dari perutnya yang kosong. Atreau menendang sisi dan punggung Adlet berulang kali. Dia menginjak wajah anak laki-laki itu dan menjatuhkannya ke lantai gua. Dan kemudian Atreau berkata, “Tersenyumlah.”

"…Hah? Se…nyum?" Meskipun dia mencoba menjawab, kata-kata itu tidak mau keluar. Dia sangat terluka sehingga dia merasa dia akan mati.

"Jika kau ingin menjadi seorang pejuang, maka tersenyumlah." Atreau menendang punggung Adlet. “Ketika kesedihan mengilhami keinginan untuk mati. Ketika penderitaan membuatnya perlu untuk membuang segalanya dan melarikan diri. Ketika kau tenggelam dalam keputusasaan dan tidak dapat melihat cahaya. Seseorang yang bisa tersenyum bahkan pada kondisi itu akan menjadi kuat.”

Bibir gemetar Adlet terpelintir. Pipinya mengejang, dan meskipun ekspresinya tidak terlihat seperti sedang tersenyum, dia tersenyum.

Setelah itu, Atreau terus memukulinya. Dia menendang wajah Adlet sampai darah menyembur dari hidungnya. Dia meninju perut Adlet sampai darah bercampur muntah. Tapi meski begitu, Atreau tidak berhenti. Untuk tersenyum, bahkan ketika memuntahkan empedu berwarna merah, dengan hidungnya yang meneteskan darah, dan air mata mengalir di wajahnya. Itu adalah teknik pertarungan pertama yang diajarkan Atreau kepada Adlet.



Adlet membuka matanya. Itu adalah mimpi yang samar dan tidak jelas. “Ugh.


Dia berada di hutan, terkejut masih hidup. “…?” Dia pikir dia telah jatuh tertelungkup, tetapi sekarang dia berbaring terlentang dengan akar pohon sebagai bantalnya. Ketika dia menyentuh punggungnya, pedang yang seharusnya ada di sana tidak ada. Lukanya telah dirawat, dijahit, dan dibalut perban. Siapa yang telah merawatnya? Apakah Nashetania menemukannya?

Kemudian dia mendengar sebuah suara.

"Kau sudah bangun." Dia hampir tidak bisa melihat bentuk buram Fremy di dalam kabut gelap. “Mereka melewatkan titik vitalmu. Jika kau beristirahat, kau harusnya bisa segera bergerak lagi.”

“Kau mengobati lukaku?” Adlet bertanya, duduk.

"Ya."

"Mengapa?" Fremy juga seharusnya percaya bahwa Adlet adalah yang ketujuh. Mereka juga memulai awal yang sulit saat pertama kali bertemu. Dia tidak bisa mengerti mengapa dia menyelamatkannya.

"Aku sembilan puluh sembilan persen yakin bahwa kau yang ketujuh," kata Fremy. “Tapi tidak sepenuhnya. Ini demi satu persen kesempatan itu.”

“Yah, kau benar. Aku seorang Pahlawan sejati. Aku datang ke sini untuk melawan Majin.”

"Oh? Aku tidak percaya kau, "kata Fremy, memalingkan muka.

Keheningan menimpa mereka. Hutan malam itu sunyi. Adlet mengira lima lainnya akan menyerah mencari sekarang karena hari sudah gelap. Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka masih mengejarnya. Jadi apa yang harus dia lakukan saat ini? Dia harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah, apa pun yang terjadi. Tapi bagaimana caranya? "Ini akan terdengar menyedihkan," kata Adlet, "tapi aku tidak tahu bagaimana penipu itu bisa masuk ke kuil."

"Tentu saja. Karena kaulah penipunya.”

“Apakah itu benar, apa yang dikatakan Hans? Apakah benar-benar tidak ada cara untuk membuka pintu itu?”

“Aku tidak memiliki informasi seperti dia, tapi aku tahu sedikit tentang pintu yang dibuat oleh Saint of Seals. Aku tidak berpikir apa yang dikatakan Hans salah,” katanya.

“…”

“Selain itu, Mora juga menjatuhkan idemu. Tidak mungkin ada orang yang bisa masuk ke kuil itu.”

Jika itu masalahnya, maka Adlet benar-benar terjebak. Jika memang memungkinkan untuk masuk ke kuil, itu berarti Hans, Mora, dan Fremy semuanya berbohong. Tetapi hanya satu di antara tujuh dari mereka yang menjadi musuh. Enam lainnya benar-benar Pahlawan. Tidak mungkin bagi para Pahlawan sejati untuk berkonspirasi dengan musuh atas kehendak bebas mereka sendiri. Itu berarti jika banyak Pahlawan menceritakan kisah yang sama, itu pasti kebenarannya.

"Penipu itu mungkin Mora," saran Adlet. Dia mengatakan tidak ada orang yang bisa membobol kuil yang terkunci itu. Tapi jika kesaksiannya bohong, lalu apa? Bagaimana jika dia adalah kaki tangan dari Saint yang telah mendobrak masuk?

"Itu mungkin saja," Fremy mengakui. “Tapi kau tidak bisa membuktikannya. Kau harus menangkap orang yang mendobrak masuk ke kuil dan menunjukkan kekuatan mereka kepada kita semua.”

“Yah, mungkin ada Saint yang tidak dikenal, yang bahkan dia tidak tahu. Dia tidak tahu tentangmu, jadi kau tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa tidak ada Saint yang belum diketahui.”

“Itu berarti hal yang sama. Kautidak dapat membuktikan bahwa Saint ini melakukannya kecuali kau menangkapnya.”

Bagaimanapun, itu hanya berarti dia harus menangkap orang yang mengaktifkan penghalang itu. "Biarkan aku menyelesaikan ini," katanya. “Pertama, kita memiliki dua atau lebih musuh. Salah satu dari keduanya adalah di antara tujuh Pahlawan yang telah berkumpul di sini. Yang lainnya adalah orang yang masuk ke kuil dan mengaktifkan penghalang.” Itu sudah pasti. Tidak mungkin bagi mereka selain Adlet untuk mengaktifkan penghalang. Ketika dinyalakan, Fremy, Nashetania, dan Goldof telah melawan iblis. Mora dan Hans sedang dalam perjalanan ke kuil. Satu-satunya yang posisinya saat itu tidak diketahui adalah Chamo, tetapi Mora telah bersaksi bahwa Chamo tidak dapat membobol kuil dengan kekuatannya.

"Kita telah memanggil orang yang menyusup ke kelompok kita, orang yang menyandang lambang, yang ketujuh," lanjut Adlet. “Mari kita bayangkan orang yang mengaktifkan penghalang adalah yang kedelapan. Tentu saja, mereka bekerja dengan iblis. Para iblis menjatuhkan bom di kuil untuk memancing Pahlawan Enam Bunga ke kuil dan menyerang kita untuk memisahkan aku dari kalian semua. Ini kemungkinan besar adalah rencana yang disiapkan dengan hati-hati.”

“Itu masih menyisakan pertanyaan bagi kita,” kata Fremy. “Untuk apa yang ketujuh di sini? Jika rencananya adalah untuk mengunci kita, itu bisa dilakukan tanpa kehadiran ketujuh.”

"Jangan bodoh," kata Adlet. “Jika yang ketujuh tidak ada di antara kita, mencurigaiku sebagai yang ketujuh tidak akan mungkin. Rencananya bukan untuk mengunci kita. Rencananya adalah menjebakku dan membuatku terbunuh.”

“Aku tidak memikirkan itu. Karena kupikir kau yang ketujuh.” Fremy mengikuti percakapan itu, tetapi dia sepertinya tidak mempercayainya sama sekali. Adlet mengira dia bisa membujuk Fremy untuk berpihak padanya, tetapi sepertinya itu tidak mungkin.

"Pokoknya, kita bisa menunda berurusan dengan yang ketujuh," katanya. “Prioritas nomor satu kita adalah menemukan yang kedelapan.”

"Bisakah kau? Sendirian, maksudku.”

Adlet dipaksa diam. Dia akan mencari musuh yang tidak dikenal dengan kekuatan yang tidak diketahui, sambil mengguncang lima Pahlawan lainnya. Tentu saja, orang kedelapan ini tidak hanya berjalan-jalan di hutan. Mereka akan mati-matian bersembunyi untuk menghindari penangkapan. Mungkinkah itu bahkan dilakukan? Tampaknya sama sekali tidak mungkin baginya. Tetapi semakin dia yakin bahwa itu tidak mungkin, semakin lebar senyum di wajahnya. Bibirnya rileks, dan semangatnya disegarkan.

“Kau pria yang aneh. Apa yang membuatmu tersenyum?” tanya Fremy.

“Aku tersenyum karena, seperti biasa, aku adalah pria terkuat di dunia.” Adlet mengepalkan tinjunya. “Aku berada dalam situasi yang buruk, tetapi itu bahkan tidak cukup untuk mematahkan semangatku.” Tersenyum pada saat putus asa: Itu adalah hal pertama yang diajarkan oleh guru Adlet, Atreau. “Aku menantikan hari esok. Besok adalah hari aku menghancurkan rencana musuhku. Aku akan membuktikan ketidakbersalahanku dan fakta bahwa aku adalah pria terkuat di dunia pada saat yang sama. Aku tidak sabar menunggu matahari terbit.”

Adlet terus tersenyum. Dia tidak tahu siapa yang kedelapan sebenarnya. Sepertinya dia juga tidak bisa terus menghindari Pahlawan lainnya. Tapi jika dia berhenti tersenyum, semuanya akan berakhir.

"Kau berhalusinasi."

"Tidak. Aku bertekad.” Saat Adlet tersenyum, dia memikirkan yang kedelapan: siapa itu dan kekuatan macam apa yang mungkin mereka miliki. Dia mencari ingatannya untuk melihat apakah, mungkin, dia telah mengabaikan beberapa petunjuk, sesuatu yang tidak biasa. Setelah dia berpikir sebentar, Fremy tiba-tiba berbicara.

“Mengapa kau ingin menjadi salah satu dari Pahlawan Enam Bunga?”

Untuk beberapa alasan, ini baru dan mengejutkan baginya. Fremy tampaknya tidak tertarik pada para Pahlawan lainnya selama ini. Ini adalah pertama kalinya dia menunjukkan minat pada orang lain. “Kenapa kau menanyakan itu padaku?” tanya Adlet.

"Karena kau biasa saja."

“…”

“Hans adalah seorang jenius. Goldof juga. Tapi kau tidak. Kau hanya orang biasa dengan banyak senjata aneh.”

“Kau bilang aku lemah? Aku, pria terkuat di dunia?”

“Bukan itu yang kukatakan. Aku bertanya bagaimana orang biasa-biasa saja sepertimu bisa menjadi petarung yang kuat. Itu yang ingin aku ketahui.”

Adlet tidak menjawab. Hans dan Goldof jenius, dan Adlet biasa saja. Dia tidak bisa menyangkal itu. Dia tidak bisa menyentuh salah satu dari mereka dalam hal permainan pedang murni atau seni bela diri. "Ini berkat masterku," kata Adlet. “Aku ragu untuk mengatakan ini, tapi dia sedikit gila. Dia terobsesi dengan membunuh iblis. Dia menghabiskan seluruh waktunya sendirian, jauh di pegunungan, merancang senjata baru dan kemudian menemukan cara untuk menggunakannya. Dia tidak melakukan hal lain. Kau bahkan tidak akan berpikir dia adalah manusia.”

“…”

“Dia menanamkan keterampilannya ke dalam diriku. Aku berlatih setiap hari sampai aku muntah dan tidak bisa bergerak lagi, dan ketika itu selesai, aku dikurung di mejaku untuk belajar. Aku belajar tentang membuat alat dan racunnya, memurnikan bubuk mesiu, dan bahkan sains mutakhir.”

"Sains? Setelah itu?" tanya Fremy.

“Aku berterima kasih padanya. Dia membuatku menjadi prajurit. Mempelajari gaya bertarung yang normal tidak akan membuatku menjadi pria terkuat di dunia.”

"Aku kenal pria itu," katanya, dan Adlet menatapnya. "Atreau Spiker," Fremy melanjutkan. “Dia adalah salah satu targetku. Dia sudah cukup tua, jadi dia tidak termasuk dalam daftar prioritasku.”

"Ya, itu orangnya," kata Adlet.

“Aku mendengar semua muridnya kabur. Mereka tidak bisa menangani pelatihannya yang berat.”

“Informasimu salah. Ada satu yang tidak melarikan diri: aku.”

“Bagaimana kau bisa tahan dengan itu?”

Adlet tidak menjawab.

“Sesuatu terjadi, bukan?” menekan Fremy. “Ada alasan mengapa kau ingin menjadi salah satu dari Pahlawan Enam Bunga.”

Adlet tiba-tiba teringat percakapannya dengan Nashetania di penjara. Dia menanyakan banyak hal padanya, tapi Adlet tidak menceritakan semuanya padanya. Subjek itu berat baginya dan bukan sesuatu yang bisa dia bicarakan dengan mudah. Beberapa hal seperti itu. “Ketika aku masih kecil, seorang iblis datang ke desaku.” Namun, mengapa rasanya begitu alami untuk membicarakan masa lalunya sekarang? “Aku tidak bisa mempercayainya. Aku pikir iblis adalah makhluk dari negeri yang jauh. Sahabatku mencoba memukulnya dengan tongkat. Aku menangis ketika aku menghentikannya.”

"Seperti apa iblis ini?" tanya Fremy.

“Bentuknya seperti manusia. Tubuhnya bermotif hijau dan berbintik-bintik seperti warna kulit. Pada saat itu, tubuhnya sepertinya menjulang ke langit, tetapi aku pikir itu mungkin tidak terlalu besar. Ukurannya hampir sama dengan Goldof.”

“Dia memiliki tiga sayap, bukan? Tiga sayap seperti burung gagak di punggungnya.”

Itu benar. "Kau tahu itu?" Dia bertanya.

"Lanjutkan ceritamu."

“Dia tidak menyerang kami atau memakan kami. Dia hanya mendekati kami dengan senyum dan menepuk kepalaku. Dia baik. Luar biasa baik hati. Iblis itu memanggil orang dewasa di desa untuk berkumpul bersama dan menyuruh kami anak-anak untuk tidur. Tentu saja, tidak mungkin aku bisa tertidur. Aku gemetar sepanjang malam dalam pelukan waliku.”

"Lalu?" tanya Fremy.

“Keesokan harinya, iblis itu pergi. Tidak ada yang terbunuh. Bahkan tidak ada yang terluka. Aku merasa lega. Dan kemudian tetua desa memberi tahu kami bahwa seluruh desa akan pindah ke Negeri Raungan Iblis dan sejak saat itu kami akan diperintah oleh Majin.”

“…”

“Setiap orang dewasa di desa mengatakan dunia manusia akan berakhir dan tidak mungkin Pahlawan Enam Bunga bisa menang. Tetapi mereka semua percaya bahwa jika kita segera bergabung dengan Majin, hidup kita akan selamat. Setelah berbicara dengan iblis itu hanya untuk satu malam, sepertinya mereka semua adalah orang yang sama sekali berbeda. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Yang bisa kulakukan hanyalah bergetar di sepatu botku. Satu-satunya yang menentang rencana ini adalah waliku dan sahabatku. Tapi iblis itu juga mengatakan satu hal lagi—untuk membuktikan kesetiaan kita kepada Majin, penduduk desa harus mengambil jantung siapa pun yang keberatan dan membawa jantung itu ke sana.”

“Sepertinya itu sesuatu yang akan dikatakannya,” kata Fremy.

Jadi Fremy memang mengenal makhluk itu. "Iblis apa dia?" tanya Adlet.

“Dia salah satu dari tiga komandan yang mengatur semua iblis. Dia juga yang muncul dengan ide membuat anak manusia/iblis dan memerintahkan ibuku untuk melahirkanku.”

“…”

"Lanjutkan," kata Fremy.

“Baik waliku maupun sahabatku tidak membenci penduduk desa karena itu, apa pun yang terjadi. Kesalahan terletak pada iblis itu, bukan orang-orang desa. Sahabatku mengatakan kepadaku untuk tidak membenci mereka. Waliku memberi tahuku bahwa segala sesuatunya pasti akan kembali seperti semula, bahwa suatu hari kita bisa hidup bersama dengan damai. Ambilkan kita beberapa jamur lagi. Mari kita buat korps pertahanan lagi, kata mereka.”

"Apa yang terjadi pada mereka?" tanya Fremy.

“Sahabatku mati membelaku. Waliku meninggal sehingga aku bisa melarikan diri. Aku satu-satunya yang selamat,” kata Adlet, dan ceritanya berakhir di sana. “Apa yang aku bicarakan sebelumnya tadi? Oh ya, alasan aku menjadi seorang pejuang.” Dia memejamkan mata, dan ketika dia membayangkan wajah mereka di benaknya, dia berkata, “Ketika aku memberi tahu masterku tentang ini, dia mengatakan bahwa itu karena wali dan temanku, aku bisa menjadi kuat. Bahwa aku menjadi begitu mampu karena aku percaya pada apa yang mereka katakan; bahwa suatu hari, segala sesuatunya pasti akan kembali seperti semula dan kami bisa hidup bersama dengan damai. Dia mengatakan orang tidak bisa menjadi kuat demi balas dendam. Mereka menjadi lebih kuat ketika mereka memiliki sesuatu untuk dipercaya.”

“…”

“Apakah itu cukup untukmu?” tanya Adlet. Ceritanya berakhir lebih lama dari yang dia duga. Tapi malam itu panjang. Mereka punya banyak waktu untuk berbicara.

"Aku iri padamu," kata Fremy.

Adlet meragukan telinganya. "Apa yang baru saja kau katakan?"

"Aku bilang aku iri padamu."

Melupakan rasa sakit di punggungnya, Adlet berdiri. Tangannya meraih pedang di pinggangnya. "Apa katamu? Kau tidak bisa mengatakan bahwa kau iri padaku, kan?”

“Aku memang iri padamu. Aku bahkan tidak punya apa-apa untuk dipercaya."

“…” Tangan Adlet menjauh dari pedangnya. Dia duduk lagi.

“Aku ditinggalkan oleh orang-orang terdekatku,” kata Fremy.

"Apa maksudmu?"

“Maksudku iblis yang melahirkanku dan membesarkanku. Iblis yang memberiku senjataku, memberiku kekuatan sebagai Saint of Gunpowder, memberiku kebahagiaan. Dia meninggalkanku.”

Adlet tidak mendesaknya untuk melanjutkan. Dia hanya membiarkannya berbicara.

"Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku dibesarkan di antara iblis," katanya. “Bukan prajurit iblis seperti yang kita bunuh hari ini. Iblis yang hebat dengan kecerdasan, keberanian, dan kesetiaan kepada Majin. Aku mencintai mereka semua. Aku percaya mereka semua mencintaiku.”

“…”

“Aku membunuh banyak orang atas perintah ibuku. Aku tidak ragu. Sebaliknya, Aku merasa harus bekerja lebih keras, membunuh lebih banyak lagi. Aku bukan sepenuhnya iblis, dan aku memiliki darah manusia yang kotor. Tapi aku percaya bahwa bahkan setengah iblis dapat dikenali sebagai iblis sepenuhnya jika aku bisa membunuh banyak manusia,” kata Fremy, dan ekspresinya terlihat lebih muda dari sebelumnya. “Tapi aku juga mengerti bahwa hanya membunuh orang lemah tidak akan dihitung sebagai pelayanan terhadap Majin. Aku harus membunuh salah satu dari enam prajurit terkuat di dunia, memutuskan salah satu mata rantai. Nashetania dan Mora dijaga sangat ketat. Aku tidak bisa mendekati mereka. Jadi aku memutuskan untuk menantang Chamo. Aku percaya bahwa jika aku bisa mengalahkan Chamo, aku akan diakui sebagai iblis sepenuhnya.”

"Kalau begitu kau kalah," kata Adlet.

“Aku menyesalinya. Aku seharusnya memilih Nashetania atau Mora daripada menantang Chamo. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk melarikan diri. Dan aku membuat kesalahan lagi… Ketika dia memprovokasiku, aku memberi tahu dia namaku.”

Adlet tidak bisa membayangkan seperti apa pertempuran itu.

“Aku hampir tidak selamat,” lanjutnya, “dan ketika aku kembali… ibuku mencoba membunuhku, begitu juga dengan iblis lain yang aku anggap sebagai keluarga. Mereka sudah selesai denganku. Mungkin aku seharusnya mati saat itu. Tapi aku berhasil lolos.” Fremy mengelus dahinya. Ada bukti bahwa dia adalah iblis, bekas luka yang ditinggalkan oleh tanduknya. “Yang tidak bisa aku maafkan bukanlah karena mereka mencoba membunuhku. Itu karena mereka berpura-pura mencintaiku. Jika mereka hanya memperlakukanku sebagai boneka mereka, maka pengkhianatan itu tidak akan menyakitkan. Jika mereka selalu berniat mengkhianatiku, maka mereka seharusnya mengangkatku sebagai budak yang lahir untuk melawan manusia. Ibuku… ibuku…” Fremy mengepalkan tinjunya. "Ibuku berpura-pura mencintaiku."

“Balas dendam, ya?”

“Tidak cukup hanya membunuhnya. Aku harus menghancurkan apa yang telah menjadi dedikasi hidup ibuku. Aku tidak akan puas sampai aku menghancurkan Majin. Setelah aku melakukannya, aku akan memberitahunya...Sesali segala perbuatanmu. Inilah balasannya.

Ketika Adlet pertama kali bertemu Fremy, ada sesuatu dalam dirinya yang menolak gagasan untuk meninggalkannya sendirian. Sekarang dia akhirnya mengerti mengapa. Fremy sama seperti dia. Rasa sakitnya sama dengan rasa sakitnya—rasa sakit karena dikhianati oleh orang-orang yang dia percayai, karena kehilangan tempatnya dalam hidup. Rasa sakit yang membuatnya terbakar oleh kebencian. Balas dendam tidak ada artinya. Balas dendam adalah sebuah kesalahan. Balas dendam tidak menghasilkan apa-apa. Ada banyak orang yang mengatakan hal seperti itu, tetapi mereka tidak mengerti. Balas dendam bukanlah sesuatu yang kau lakukan karena itu bermakna atau benar atau karena kau bisa mendapatkan sesuatu darinya. Kau membalas dendam karena hanya itu yang kau miliki.

“Saat itu, aku puas,” Fremy melanjutkan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Aku memiliki ibuku dan teman-temanku. Kami bermain bersama, dan kami berjuang bersama. Aku punya anjing. Aku ingin tahu apa yang terjadi padanya sekarang. Apakah mereka masih memberinya makan? Atau apakah mereka sudah menyingkirkannya, mungkin?”

"Hei, Fremy," katanya.

"Apa?"

"Yah, um...tetap semangat." Adlet dengan tulus ingin mendukungnya. Dia pikir dia mungkin menghargai sedikit dorongan.

Tapi apa yang dia dapatkan sebagai balasannya adalah tatapan yang lebih dingin, tatapan penuh kecurigaan. “Adlet—kenapa kau tidak mencurigaiku?” dia bertanya.

"Hah?"

“Bagaimana kau bisa percaya bahwa cerita itu benar? Kau tidak dapat membayangkan bahwa aku baru saja mengarangnya?”

"Apa yang kau bicarakan, Fremy?"

“Jika kau benar-benar seorang Pahlawan, aku seharusnya menjadi tersangka nomor satu. Dari sudut pandangmu, aku seharusnya menjadi yang paling mencurigakan.”

"Ya, mungkin begitu, tapi..." Adlet terdiam.

“Jika kau benar-benar Pahlawan, hal pertama yang akan kau lakukan adalah mencoba mencari bukti bahwa aku adalah yang ketujuh. Tapi kau tidak. Itu saja sudah cukup menjadi alasan untuk mencurigaimu.”

Adlet berpikir logikanya aneh. Tapi dari sudut pandangnya, itu bukan argumen yang tidak rasional. "Aku..." Dia mencari jawabannya. Beberapa muncul dalam pikirannya, tetapi tidak ada yang cukup cocok. Dia kesulitan mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Dia ingat saat pertama kali bertemu Fremy. Rasanya sudah lama sekali, tapi kenyataannya, baru saja pagi itu. Dia berusaha mati-matian untuk mengungkapkan perasaannya saat itu. "Aku tidak ingin percaya bahwa kau adalah musuhku."

"Aku tidak mengerti itu," kata Fremy. "Apakah kau benar-benar Pahlawan atau yang ketujuh."

“J-jangan salah paham, Fremy. Bukannya aku menyukaimu atau semacamnya.”

“Aku tidak membicarakan itu. Jangan membuatku jijik," sembur Fremy. “Aku tidak bisa memahaminya. Aku sama sekali tidak bisa memahamimu," katanya, dan kemudian dia tiba-tiba berdiri. “Aku akan kembali ke kuil. Lima orang lainnya mungkin akan ada di sana.”

"Kau pergi?" Dia bertanya.

"Tentu saja." Sosok Fremy menghilang ke dalam kegelapan.

Adlet berpikir bahwa dengan membicarakan masa lalu mereka, mereka sedikit memahami satu sama lain. Tapi mungkin itu juga hanya khayalan sesaat. Adlet memanggil ke dalam kegelapan, "Maukah kau ikut denganku?"

Fremy berhenti dan berpikir sejenak. “Kita mungkin telah banyak berbicara, tetapi pada akhirnya, itu masih tidak mengubah fakta bahwa kau yang paling mencurigakan dari kami semua.”

"Aku mengerti."

"Tapi aku akan bersedia mendengarkanmu, sekali saja." Dari kegelapan, Fremy melemparkan sesuatu padanya. Itu adalah petasan kecil berisi bubuk mesiu. “Itu dibuat dengan kekuatanku…kekuatan Spirit of Gunpowder. Ketika kau menghantamnya ketanah, itu meledak. Jika kau melakukannya, aku akan tahu di mana itu terjadi.”

"Jadi maksudmu aku bisa menggunakan ini untuk memanggilmu?" tanya Adlet.

“Jangan salah paham. Aku tidak percaya padamu. Lain kali kita bertemu mungkin itu saat aku membunuhmu.”

“…”

"Untuk menggunakannya atau tidak terserah padamu," kata Fremy, dan dia menghilang ke dalam kegelapan.

Adlet menatap kegelapan malam saat dia berpikir. Setelah berbicara dengan Fremy, dia yakin akan satu hal: Dia sama sekali bukan musuhnya. Bukan logika yang mengilhami kepastian ini, tetapi hatinya. Dia ingin melindunginya—dari Majin, dan juga dari yang ketujuh. “Aku akan melindungimu, Fremy. Dan bukan hanya kau—aku akan melindungi Nashetania dan yang lainnya. Aku akan melindungi semua orang.” Dia tidak mendapat balasan.

Adlet berbaring dan menatap langit yang gelap dan tertutup kabut. Saat dia melakukannya, pikirannya kembali ke masa lalu. Lima tahun yang lalu, selama pelatihan waktunya dengan Atreau, perlahan-lahan semakin dekat untuk menjadi pria terkuat di dunia, Adlet, sekali saja, kembali ke desa asalnya. Seluruh area itu hanyalah ladang yang terbakar. Tidak ada yang tersisa. Bukan tempat dia bermain dengan temannya atau rumah tempat dia tinggal bersama Schetra—tidak ada. Sisa-sisa hangus desanya mengatakan kepadanya bahwa apa yang hilang tidak akan kembali.

Adlet percaya bahwa dia tumbuh lebih kuat bukan demi balas dendam. Dia tidak bertarung karena kebencian. Dia telah menjadi seorang pejuang karena dia tidak ingin kehilangan segalanya lagi.

Tetapi terlepas dari perasaan itu, orang-orang yang ingin dia lindungi tidak mau bekerja sama.




TL: Ao Reji
EDITOR: Isekai-Chan

0 komentar:

Posting Komentar