Jumat, 07 Mei 2021

Kuma Kuma Kuma Bear Light Novel Bahasa Indonesia Volume 2 : Chapter 35. Beruang Mandi di Bak Mandi Beruang

Volume 2
Chapter 35. Beruang Mandi di Bak Mandi Beruang


"Mau dilihat berapa kali pun, rumah ini benar-benar menakjubkan."

Ini adalah kali kedua Tiermina dan Gentz berkunjung ke rumah beruangku. Kunjungan pertama mereka terjadi setelah aku menyelamatkan nyawa Tiermina. Dia ingin sekali lagi berterima kasih padaku sekaligus melihat putri sulungnya bekerja, jadi Fina membawa mereka kemari.

"Baiklah, aku akan meminjam dapurmu. Fina, bisakah kau membantu ibu?"

"Shuri ingin bantu juga," ujar Shuri. 

"Silahkan gunakan bahan apa pun yang ada," ucapku, "Tak perlu sungkan."

"Oke, terima kasih. Harusnya kami yang menyediakan bahan-bahannya."

"Sudahlah, tidak apa-apa."

"Sebelumnya pun, kau sudah sering memberi kami daging serigala. Rasanya, hutang kami padamu semakin menumpuk."

Tiermina pergi membawa kedua putrinya ke dapur, menyisakan aku dan Gentz di ruang tamu. Kami berdua duduk, menanti masakan Tiermina siap.

"Sungguh rumah yang menakjubkan," gumamnya sambil memandang sekitar. "Apakah itu bulu dari Tigerwolf?"

Aku memajang kulit Tigerwolf yang aku buru bersama Fina di atas perapian. Aku masih punya satu lagi, tapi aku meletakkannya di kamar sebagai ganti selimut. 

"Saat pertama kali aku melihatmu, gadis beruang, aku tidak berpikir kalau kau akan semenakjubkan ini," ujarnya, seakan mengenang masa lalu.

Satu bulan telah berlalu semenjak kedatanganku ke dunia ini. Kostum beruang milikku menjadi sangat terkenal di kota. Aku sedikit takut oleh bagaimana cepatnya diriku beradaptasi dengan kostum tersebut. Aku sudah tidak malu lagi saat mengenakannya.

"Gadis beruang."

"Nona beruang."

"Beruang muda."

"Bloody Bear."

Meski ada banyak nama yang digunakan orang-orang, semua nama tersebut mengacu padaku. Aku masih belum bisa melakukan pemilahan, tapi aku sudah terbiasa berburu monster. Pengalamanku dari bermain game sangat membantu. Aku bertemu Fina, dan darinya aku tahu bahwa masih banyak hal-hal menyenangkan yang bisa kulakukan di dunia ini. Meskipun aku sudah tidak lagi dapat kiriman surat dari entah dewa, admin, atau apalah namanya sejak pertama kali tiba di dunia ini, aku bersyukur karena telah dikirim kemari. 

"Tapi, nona, apa kau yakin tentang ini?"

"Maksudnya?"

"Tentang rumahnya."

"Oh, itu."

Sebagai hadiah pernikahan, aku memberi mereka sebuah lahan kosong untuk membangun rumah baru. Uang tabungan milik Gentz hanya mampu menutupi biaya pembangunan rumah. 

"Tidak masalah," jawabku. "Misalkan saja, aku sudah tidak lagi di sini dan kau wafat, aku tidak ingin melihat mereka bertiga hidup di jalanan. Dan selama mereka punya rumah, maka hal itu tidak akan terjadi, kan?"

"Hey, jangan malah berbicara seperti itu! Aku punya masa depan cerah yang menanti."

"Kalau begitu, pastikan untuk membuat mereka bertiga bahagia. Kalau tidak, kau tahu apa yang akan terjadi, kan?"

"Tentu saja. Aku bersumpah atas almarhum Roy bahwa aku akan menjaga mereka dengan baik."

Roy, seperti yang Gentz singgung tadi, adalah mendiang suami Tiermina. Saat masih muda, mereka bertiga berada dalam party yang sama. Kelihatannya, party tersebut bubar setelah Roy menikahi Tiermina, dan Gentz mulai bekerja di guild. Beberapa tahun kemudian, ketika Tiermina hamil Shuri, Roy meninggal di tengah quest yang dia jalani seorang diri. Sejak saat itu, Gentz mulai membantu Tiermina dan anak-anaknya, dan lambat laun, dia mulai jatuh cinta padanya. 

Saat aku tengah asyik mendengarkan cerita Gentz tentang masa lalu, Fina dan Shuri masuk. Mereka berdua kemari membawakan masakan yang baru saja matang. Terakhir, Tiermina masuk dengan membawa senampan besar hidangan utama. Perutku mulai keroncongan. 

"Terima kasih sudah menunggu," ujarnya. "Kami membuat banyak, jadi silahkan dinikmati."

Tiermina dan kedua putrinya bergabung bersama kami di meja makan. 

"Yuna, maaf, kami malah berakhir menghabiskan banyak bahanmu."

"Tidak apa-apa. Lagian, bahan panganku masih banyak."

"Lemari pendingin berbentuk beruang itu sangat hebat. Sayur dan dagingnya bisa tetap awet di dalam."

"Aku akan menambahkannya sebagai hadiah pernikahan kalian nanti." Karena lemari pendingin di sini tidak sama seperti yang ada di jepang, aku menciptakan sendiri lemari pendinginku menggunakan kristal sihir es yang aku beli.

"Aku sangat menyukai lemari pendingin tersebut, tapi kami sudah berhutang banyak padamu. Kami bahkan belum sempat membalasnya."

"Kau bisa berikan putrimu sebagai kompensasi." Aku menatap Fina yang sedang menyantap makanannya.

"Oh, kau yakin ingin putriku yang satu itu?" Tiermina ikut menatap Fina. 

"Dia penurut, menggemaskan, pekerja keras, sayang keluarga, dan pandai memasak. Kau tahu, apalagi dia sangat lihai memilah Tigerwolf seakan itu bukan apa-apa baginya, dan itu membuatku takjub."

Fina berhenti makan. "Ugh, bisakah ibu hentikan itu? Dan kau juga, Yuna-san."

"Bagaimana caramu membesarkan anak sepuluh tahun hingga bisa menjadi seperti ini?" 

"Kurasa itu salahku," jawab Tiermina. "Karena membuatnya memikul tanggung jawab ketika aku sakit, Fina jadi harus bekerja sangat keras melebihi anak-anak pada umumnya. Dia mengasuh adiknya, merawatku yang terbaring di kasur, melakukan pekerjaan rumah, dan bekerja di tempat Gentz. Aku merasa bersalah karena telah menyita masa kanak-kanaknya."

"Aku tidak menganggap itu sebagai beban atau semacamnya," jawab Fina.

"Itu pemikiran yang cukup dewasa untuk ukuran anak sepuluh tahun sepertimu."

"Aku bukan satu-satunya yang bekerja keras di sini. Shuri ikut membantu juga." Dia mengelus kepala adiknya yang tengah sibuk makan di sampingnya. 

"Fina benar. Shuri telah berjuang juga." Tiermina menatap kedua putrinya dengan bangga. 


Setelah kami selesai makan, Tiermina membereskan semuanya. Di sisi lain, aku hanya bermalas-malasan sambil menikmati jus jerukku.

"Aku rasa kita harus segera pulang." Tiermina bangkit dari kursinya. 

"Ini sudah malam, kenapa kalian tidak menginap saja di sini? Aku punya cukup kamar, dan..." Aku mengarahkan pandanganku kepada Shuri yang mengantuk. "Tampaknya Shuri sudah kelelahan karena ikut bantu pindah-pindah tadi."

"Umm..." Tiermina tampak bimbang. "Tidakkah kami nantinya malah merepotkan?"

"Badan kalian penuh keringat dan debu setelah pindah-pindah tadi, kan? Bukannya kalian nanti akan repot karena masih harus menyiapkan bak mandi setelah tiba di rumah?"

"Kau benar. Kalau begitu, kami terima tawaranmu."

Tampaknya, memiliki bak mandi adalah hal umum bagi orang-orang di dunia ini, sampai taraf tertentu. Sebagian besar orang memilikinya, kecuali jika orang tersebut sangat miskin. Kalian dapat dengan mudah memperoleh air hangat hanya dengan satu set kristal sihir api dan air. Karena aku sudah menyiapkannya saat Tiermina masak tadi, bak mandinya siap digunakan kapan saja. 

"Kalian bertiga bisa masuk duluan. Aku akan menunjukkan kamar tidur kalian nanti."

"Memangnya muat dimasuki tiga orang?" 

Saat aku membangun bak mandi tersebut, aku mendesainnya luas, agar nanti bisa kugunakan untuk memandikan Kumayuru dan Kumakyu saat mereka kotor. Ternyata, beruang-beruang itu akan kembali bersih setiap kali kupanggil, jadi hal itu tidak pernah terjadi.

"Tentu saja. Fina, tolong antar mereka ke sana."

"Yuna-san, kau ikut juga! Ibu nggak papa, kan, kalau Yuna ikut?"

"Tidak masalah, tapi kau yakin bak mandinya cukup?"

"Tenang saja. Bak mandi beruangnya sangat luas." Fina melebarkan tangannya untuk menunjukkan seberapa luas bak mandi tersebut. Dia pernah beberapa kali menggunakan bak mandiku saat tubuhnya kotor selepas memilah mayat monster.

"Bak mandi beruang?"

"Ibu akan tahu saat melihatnya nanti."

Fina meraih tanganku dan menarikku dari kursi. Dia kemudian membangunkan Shuri; sambil menguap, adiknya itu pun bangkit. Terakhir, dia meraih tangan ibunya. 

Sebelum kami beranjak ke kamar mandi, aku melirik Gentz. "Tolong jangan ikut masuk."

"Tidak akan!"

Kami berempat menuju kamar mandi.

"Pakaiannya dilepas disini," perintahku. Di jepang, ruangan ini disebut kamar ganti. Aku sudah menyiapkan masing-masing orang satu kotak untuk meletakkan pakaian.

"Yuna..." Tiermina memandang ke arahku.

"Ada apa?"

"Yah, ini pertama kalinya aku melihatmu menyingkap tudungmu."

"Bukannya kau masih bisa melihat wajahku terlepas aku mengenakan atau menyingkapnya?" Saat berjalan-jalan di kota, aku menarik turun tudung kostumku agar wajahku tertutupi, tapi akan kuangkat kembali jika bertemu dengan orang yang kukenal. 

"Kelihatan sih, tapi kau tampak sangat berbeda saat menyingkapnya. Aku tidak mengira kau punya rambut yang panjang. Rambut itu sangat mempengaruhi penampilan wanita, tahu?"

Aku menyentuh rambutku. Benar saja—rambut sepanjang pinggul ini tidak akan terlihat saat aku mengenakan tudung.

"Rambutmu indah, Yuna-san." Puji Fina.

"Oke, oke. Tak perlu menyanjungku seperti itu. Kalian bisa langsung masuk sana."

"Tapi aku tidak berbohong!"

Aku mengabaikan Fina, melepas kostum beruangku, dan masuk ke kamar mandi. Itu cukup luas hingga mampu menampung sepuluh orang. Ada dua patung beruang yang kuletakkan di sisi kanan dan kiri bak mandi. Satu berwarna hitam dan satu putih. Dari mulut kedua patung tersebut, air hangat terpancar keluar. Desainnya aku ambil dari pemandian air panas yang pernah kutonton di TV—mana mungkin hikikomori sepertiku berani masuk ke pemandian air panas seorang diri.

"Itu bak mandi beruang sungguhan," ujar Tiermina. 

"Pastikan untuk membasuh tubuh kalian sebelum masuk ke bak mandi."

"Kau punya sabun juga...kita seakan berada di kamar mandi bangsawan sekarang."

"Shuri, aku akan membasuhmu, jadi kemarilah."

Fina mendudukkan adiknya di kursi dan menyabuninya dari atas sampai bawah. Tiermina, yang tampak kecewa karena tidak bisa membasuh putri-putrinya, melirikku. "Yuna, haruskah aku membasuhmu?"

"Tidak perlu."

"Bukannya sulit untuk membasuh rambut panjang itu sendirian?"

"Memang, tapi aku bisa melakukannya sendiri."


Aku sudah terbiasa karena sering melakukannya. Aku duduk di sebelah Fina dan membasuh bersih tubuhku. Shuri, yang pertama kali selesai mandi, telah lebih dulu masuk ke air hangat. Ketika Fina hendak membasuh tubuhnya sendiri, Tiermina menangkapnya dan mulai memandikannya. Akhirnya, kami semua masuk ke bak mandi. 

"Yuna-san, kau punya tubuh yang bagus."

"Benarkah?" Pinggangku memang ramping, tapi dadaku...

"Aku turut prihatin dengan dadamu."

Dia seperti bisa membaca pikiranku. Memang sih kalau dadaku hanya sedikit lebih besar dari milik Fina, tapi rasanya aneh untuk membandingkan milikku dengan milik gadis sepuluh tahun.

"Aku berencana membuatnya besar nanti. Menjadikannya bam, shwoo, bam," tegasku. Masih ada beberapa tahun lagi sampai masa pertumbuhanku habis. 

"Aku penasaran apakah itu mungkin?"

"Apakah punyaku akan tumbuh juga nanti?" Tanya Fina. 

Aku membandingkan punya Fina dengan Tiermina. "Silahkan bermimpi sesukamu."

"Hey, itu sedikit kasar..." Tiermina menatap dadanya yang sedikit datar. Dibanding saat ia masih terbaring di atas kasur, miliknya yang sekarang sedikit lebih besar, tetap saja, miliknya masih terbilang rata. "Jangan khawatir, Fina. Punyamu akan tumbuh nanti, tidak seperti punya ibu."

"Aku ingin punyaku sama dengan Yuna."

Aku memeluk Fina, terharu dengan apa yang barusan ia bilang.

Terakhir, kami membelitkan handuk ke kepala dan keluar dari bak mandi. Saat kami kembali ke ruang tamu, kami mendapati Gentz duduk sendirian di sana, tampak kesepian. Ketika dia menyadari kami datang...

"Kalian mandi lama sekali!" Teriakannya menggema ke setiap sudut ruangan.




TL: Boeya
EDITOR: Zatfley

0 komentar:

Posting Komentar