Senin, 10 Mei 2021

Hyakuren no Haou to Seiyaku no Valkyria Light Novel Bahasa Indonesia Volume 7 Chapter 2

Volume 7
Chapter 2


Cip-cip-cip-cip

"Nn ... Mmhh ..."

Kicauan burung pipit yang bertengger kabel listrik, dan cahaya lembut matahari dari jendela, perlahan membangunkan Yuuto dari tidurnya.

"Huaaagh ... pagi, ya."

Dia menggeliat dan menguap, lalu duduk di tempat tidur. Dengan mata masih setengah tertidur dan buram, dia perlahan melihat sekeliling ruangan.

Di dinding depannya ada kalender dengan gambar kembang api berwarna cerah di langit malam, dan di sebelahnya tergantung seragam sekolah menengah di dalam kantong plastik laundry.

Di sebelah kirinya ada rak buku kayu yang sebagian besar diisi manga, dan meja belajar kayu dengan warna dan tekstur yang sama. Keduanya dibeli pada waktu yang sama, ketika dia memasuki sekolah dasar.

Ini ruangan yang sangat dia kenal. Dia terjun langsung ke tempat tidur dalam kegelapan tadi malam bahkan tanpa menyalakan lampu untuk memeriksa sekitarnya, tapi ini adalah kamar yang selalu dia kenal.

"Aku... benar-benar telah kembali ke rumah," bisik Yuuto, tidak yakin sudah berapa kali dia sudah mengatakan ini sekarang.

Tiga tahun adalah waktu yang lama. Dia selalu bermimpi untuk pulang ke Jepang, tetapi sekarang setelah itu benar-benar terjadi, dia merasa sulit untuk menerima itu sebagai kenyataan.

Sepertinya dia tidak bisa menghilangkan keraguan bahwa mungkin ini hanya mimpi yang dia lihat karena dia sangat ingin pulang, dan tubuhnya masih di Yggdrasil.

Tapi saat Yuuto menarik pipinya sendiri, rasa sakit itu memberitahunya bahwa ini pasti nyata. 

"Aw!"

Saat tersadar, dia tiba-tiba menjadi khawatir dengan rekan-rekan dan keluarga yang dia tinggalkan di Yggdrasil.

"Aku ingin tahu apakah mereka baik-baik saja..."

Kemarin, Felicia pasti sudah menjelaskan kepada para Perwira bahwa dia telah dikirim kembali ke Jepang abad ke-21.

Itu pasti akan menyebabkan banyak kebingungan bagi semua orang.

Mereka berada tepat di tengah pertempuran, di medan perang, dan sekarang Komandan mereka tiba-tiba menghilang.

"Aku hanya bisa berharap mereka menemukan cara untuk menghadapinya..." gumam Yuuto.

Tentara Klan Serigala memiliki ajudannya Felicia, yang dipercayai sepenuhnya oleh Yuuto, Mánagarmr Sigrún, Prajurit terhebat Klan, dan Olof, seorang Jenderal yang dapat diandalkan dengan keterampilan luar biasa dalam pengambilan keputusan dan mengarahkan pergerakan pasukan. Itu hanya beberapa dari sekian banyak perwira hebat dan berbakat di bawah kepemimpinannya.

Yuuto ingin percaya bahwa dengan mereka bekerja sama, mereka pasti bisa melakukan sesuatu. Namun di sisi lain, Battle-Hungry Tiger Steinþórr dan Penguasa Bertopeng Hveðrungr telah bersatu melawan mereka. Mengetahui hal itu, Yuuto tidak bisa begitu saja menghilangkan perasaan khawatirnya.

Yang membuatnya khawatir terutama adalah  Klan Panther, mereka tahu tentang hilangnya Yuuto. Tidak aneh sama sekali jika mereka langsung menyerang tadi malam.

“Sial! Ini membuatku frustasi," kata Yuuto sambil meninju bantal di tempat tidurnya.

Dia menginginkan semacam informasi tentang apa yang terjadi di sana. Dan, jika memungkinkan, beberapa cara untuk memberikan instruksi pada pasukannya.

Untuk saat ini, tidak ada cara untuk menghubungi mereka.

"Aku ingin tahu apakah ini yang dirasakan Mitsuki, setiap kali aku pergi berperang..." gumamnya.

Itu menakutkan, sangat menakutkan sehingga dia hampir tak tahan. Rasanya seperti hatinya dihancurkan oleh kecemasan dan kekhawatiran.

Tiba-tiba…….. perutnya keroncongan. 

Grlrlrl.

Perutku sendiri benar-benar tidak mempertimbangkan perasaanku, dia menggerutu pada dirinya sendiri, tetapi kenyataannya adalah, terlepas dari semua yang telah terjadi kemarin, dia tidak makan apa-apa kecuali sedikit roti pagi itu.

Dia hanya manusia, jadi tentu saja perutnya akan kosong dan saat ini sedang keroncongan.

"Kurasa aku harus mencari sesuatu untuk dimakan, untuk saat ini ..." dia mendesah.

Perut kosong hanya akan membuat pikirannya gelisah. Ditambah lagi, mengingat waktu tempuh, setidaknya tiga sampai empat hari sebelum seseorang di Yggdrasil dapat melakukan kontak dengannya. Dia tidak mungkin hanya menunggu selama itu tanpa makan.

Padahal, justru pada saat-saat seperti inilah ia harus memprioritaskan mendapatkan makanan untuk perutnya, agar ia bisa mengisi ulang tubuh dan pikirannya sebagai persiapan ketika ia membutuhkannya.

“Tetap saja... apa yang harus aku lakukan?” Yuuto menggaruk bagian belakang kepalanya, merasa bingung.

Dia masih merasa sangat tidak suka bahkan untuk tidur di rumah ini, dan dia tidak tahan dengan gagasan bergantung pada ayahnya lebih dari ini.

Namun, uang tunai adalah kebutuhan untuk melakukan apa pun di Jepang modern.

“Oh! Benar!" Yuuto bergegas ke meja belajarnya dan membuka laci kedua dari atas. Mengambil objek yang baru saja dia ingat, dia mengangkatnya untuk memeriksa isinya, dan menghembuskan napas lega.

Itu adalah buku bank yang dia simpan dari rekening tabungan atas namanya, dan saldo terakhir sekitar 70.000 yen. Tumbuh dewasa, setiap kali Yuuto menerima THR dan uang hadiah, almarhum ibunya selalu memaksanya untuk memasukkan sebagian dari uang itu ke dalam tabungan.

Saat itu, dia tidak puas dengan keputusan tersebut, dan berpikir, 'Biarkan aku menggunakannya sesukaku', tetapi sekarang dia dengan tulus berterima kasih betapa bijaksana dia selama ini.

“Tidak ada gunanya membuang-buang waktu! Aku hanya harus menariknya, dan ... "

Dia mengeluarkan cap bank pribadi yang digunakan sebagai ID dan hendak meninggalkan kamarnya, namun dia tiba-tiba menyadari pakaiannya.

Dia masih memakai pakaiannya dari Yggdrasil. Ini mungkin bukan masalah di jalan pada malam hari, tapi tentu saja di kota pada tengah hari, pakaian ini pasti akan menarik perhatian.

Jika dia berada di kota besar seperti Tokyo, orang yang lewat mungkin mengira itu semacam cosplay dan mengabaikannya, tapi ini adalah kota kecil di pedesaan.

"Aku tidak berpikir masih ada yang benar-benar pas untukku," kata Yuuto sambil menghela nafas saat dia membuka lemarinya.

Dia pergi ke depan dan mengambil sesuatu secara acak, tetapi ketika dia mengangkatnya untuk memeriksanya, itu jelas terlalu kecil untuknya.

Dia bahkan mendapatkan pakaian ini agak besar dulu, mengantisipasi bahwa dia akan tumbuh, tetapi tentu saja tiga tahun penuh terlalu lama untuk itu.

"Sigh ... Kurasa aku akan menelepon Mitsuki."

Entah itu di Yggdrasil, atau di Jepang modern, Yuuto mendapati dirinya secara konsisten mengandalkan teman masa kecilnya.

********

"Maaf. Aku benar-benar selalu membuatmu melakukan hal-hal seperti ini untukku. Terima kasih." Dengan itu, Yuuto meletakkan gagang telepon.

Dia tidak lagi membawa smartphone terpercayanya, jadi dia menggunakan telepon kabel di ruang tamu rumahnya.

Itu adalah sesuatu yang telah menjadi bagian dari rumah ini sejak sebelum Yuuto lahir, dan, yang membuatnya lega, itu masih berfungsi tanpa masalah. Itu benar-benar tertutup debu, dan ketika dia pertama kali melihatnya, dia sangat khawatir tentang apakah itu masih bekerja atau tidak.

"Tetap saja, aku tidak bisa mengundang Mitsuki ke rumah seperti ini." Berpaling dari teleponnya, Yuuto melihat pemandangan itu dan menghela nafas dalam-dalam, bingung.

Setidaknya sepertiga dari ruang di meja makan tertutup botol minuman keras kosong, dan asbak dipenuhi puntung rokok.

Tempat sampah itu sangat penuh sehingga tutupnya tidak bisa menutup sepenuhnya, dan ada sesuatu yang menyembul yang tampak seperti kotak kosong dari bento swalayan.

Masalah terbesar dari semuanya adalah bahwa tempat itu tidak terlihat seperti telah dirapikan, dibersihkan, atau diurus dalam tiga tahun terakhir, dan seluruh ruangan tertutup debu.

TV dan kulkas alkohol mini yang ada di dekatnya berubah menjadi putih seluruhnya dari debu, dan partikel debu melayang dengan bebas diudara.

Ini merupakan gambaran dari kamar seorang duda.

"Sepertinya aku akan membereskannya sedikit," gumam Yuuto.

Dia telah mengalami kesulitan menerima gagasan tinggal di rumah ini secara gratis, jadi ini setidaknya akan mengurangi pikiran tersebut. Dia bisa membayar untuk meminjam kamar tidur dengan melakukan sedikit pekerjaan sebagai gantinya. Itu seharusnya membuat segalanya menjadi impas.

Ditambah lagi, menggerakkan tubuhnya dan melakukan pekerjaan fisik akan membantu mencegahnya memikirkan hal yang tidak-tidak.

"Hal yang paling pertama ..." Yuuto menuju ke wastafel dapur dan mengeluarkan kotak alat pembersih dan kain bersih dari bawahnya, serta sebuah ember.

Tiga tahun mungkin telah berlalu, tapi ini masih rumahnya, dan dia tahu tata letaknya dengan baik.

Dia mengisi ember dengan air dan menuju ke lorong depan.

"Heh," dia terkekeh. "Ephy atau Rún mungkin akan pingsan jika mereka melihatku melakukan hal seperti ini."

Patriark dari Klan Serigala, penguasa wilayah dengan populasi lebih dari 100.000 warga (jika termasuk klan pengikut), melakukan pekerjaan bersih-bersih yang biasanya di Yggdrasil akan ditugaskan kepada para pelayan.

Bahkan Yuuto sedikit kagum pada seberapa besar statusnya berubah dalam semalam.

"Baiklah kalau begitu! Mari kita lakukan!" Yuuto mengambil posisi di ujung lorong. “Readyyyy, gooo!”

Lepas landas dari start jongkok, dia mendorong kain itu melintasi lantai dari ujung lorong ke ujung lainnya. Hanya dengan satu kali lintasan, kain putih itu ternoda hitam seluruhnya.

Dia membalik kain itu dan melakukannya lagi. Sisi lain akhirnya menjadi hitam sepenuhnya juga.

Dia melemparkannya ke dalam ember dan memerasnya beberapa kali, membuat air menjadi lebih keruh.

“Sepertinya ini akan menjadi pekerjaan yang cukup panjang...”

Menggumamkan ini pada dirinya sendiri, Yuuto menemukan fakta bahwa betapa mengagumkan almarhum ibunya karena selalu mengurus semua pekerjaan rumah ini. Dia telah menjaga kebersihan rumah besar ini sendirian.

“Aku benar-benar harus membantunya lebih banyak.”

Dia tidak bisa berhenti memikirkan pepatah lama, pada saat seorang anak ingin membayar kembali orang tuanya, mereka sudah pergi, dan betapa benarnya hal itu.

“Ah, itu benar, aku lupa hal yang paling penting.” Yuuto meringis karena kesalahannya, dan melihat ke pintu masuk ke ruangan di sebelah kirinya, yang memiliki pintu geser kertas tradisional.

Dia melemparkan kain itu ke tepi ember dan menuju ke ruangan itu. Bau tidak sedap yang meresap ke seluruh lantai pertama tidak ada di sini, dan sebaliknya, ada bau samar dupa yang terbakar di udara.

Dia berdiri di depan altar Buddha rumah tangga di bagian belakang ruangan, dan membuka pintu coklat tua yang tebal di bagian depan untuk memperlihatkan patung emas yang dipoles dengan baik di dalamnya.

Di samping patung itu ada gambar yang hitam-putih dari seorang wanita yang tersenyum dan berwajah halus.

“Halo, Bu. Aku pulang."

Rasanya agak aneh bagi Yuuto, tapi setelah mengucapkan kata-kata itu dengan lantang, dia duduk dengan tenang dalam posisi seiza formal, menghadap altar.

Anehnya mengharukan melihat wajah ibunya lagi seperti ini. Lagipula, Yuuto tidak memiliki foto dirinya yang tersimpan di smartphone-nya.

“Terima kasih telah menjagaku selama ini. Berkatmu, Aku kembali ke rumah dalam keadaan utuh."

Dengan senyuman kecil, sedikit pahit, Yuuto mengulurkan tangan dan membunyikan bel altar keluarga dua kali, lalu menyatukan kedua telapak tangannya dalam doa.

Dalam hatinya, dia menceritakan kepada ibunya semua yang telah terjadi.

Dia tidak yakin berapa lama waktu berlalu, tetapi bel pintu segera berbunyi.

"Oh sial." Yuuto meringis. Dia masih belum membersihkan semua. Dia berencana untuk membersihkan setidaknya dari pintu masuk depan ke kamarnya.

"Permisi!" suara yang akrab. Kemudian terdengar suara pintu depan dibuka.

“Oh, sial, Ayah! Setidaknya ingatlah untuk mengunci pintu bodoh itu!" Yuuto bangkit dan bergegas menuju pintu depan.

Begitu Mitsuki melihat Yuuto, dia tersenyum lebar, seperti bunga yang mekar di depan matanya, dan untuk sesaat, Yuuto terpaku. 

"Oh ... Selamat pagi, Yuu-kun!"

Dia sering melihatnya tersenyum di foto-foto yang dikirimnya, baik itu selfie yang diambilnya untuk mencoba terlihat cantik atau foto-foto saat dia bersenang-senang dengan temannya. Tapi, sudah lama sekali sejak dia melihat senyumnya yang malu-malu dan benar-benar bahagia.

Dia juga selalu berbicara dengannya di malam hari, jadi dia mendapat sedikit kesenangan ekstra karena bisa bertukar salam pagi dengannya seperti ini. Terutama karena itu adalah suaranya yang nyata dan hidup - bukan suaranya melalui speaker Smartphone.

Sampai tiga tahun lalu, ini hanyalah satu lagi bagian normal dari kehidupan sehari-harinya. Tapi sekarang, hal normal dan biasa-biasa saja ini membuatnya sangat bahagia.

“A-ada apa, Yuu-kun?!” Seru Mitsuki, tampak khawatir.

Itu membuat Yuuto kembali sadar. 

“Hm? Oh, eh, tidak ada. Selamat pagi. "

Mitsuki menjawab dengan senyum cekikikan yang lebih lebar. “Hee hee! Sudah tiga tahun sejak kita bisa bertukar salam di pagi hari seperti ini, ya? Rasanya seperti nostalgia, tapi juga menyegarkan."

"... Aku baru saja memikirkan hal yang sama."

"Umu. Meskipun seharusnya tidak tampak seperti masalah besar, itu benar-benar membuatku bahagia. ”

"Aku juga memikirkan itu."

“Oh. Ahaha, um, kurasa kita berpikiran sama. "

“Y-ya, sepertinya begitu.”

Wajah Mitsuki memerah seperti apel, dan dia melihat ke bawah. Yuuto juga bertingkah lebih canggung.

Dia hanya menganggapnya sebagai pengakuan rasa bahagia pada awalnya, tetapi semakin dia memikirkannya, semakin dia menyadari bahwa dengan menggambarkan kebahagiaan mereka, pada dasarnya mereka membuat referensi sekilas tentang perasaan mereka satu sama lain.

Yuuto tiba-tiba merasa sangat malu.

"Ma-maaf, memanggilmu ke sini pagi-pagi sekali." Dia mencoba untuk mengubah topik pembicaraan, tidak mampu menghadapi suasana seperti ini.

“Tidak, tidak apa-apa. Ini liburan musim semi. Yah, Ayah memelototiku cukup keras saat keluar.”

"Oh haha." Yuuto mendapati dirinya tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Ayah normal dari seorang gadis seusia Mitsuki, tentu saja, akan memiliki masalah dengan hama yang tidak diinginkan, yaitu anak laki-laki, yang terlalu terikat padanya. Itu terutama berlaku untuk seseorang seperti Yuuto. Dia hilang di tahun kedua sekolah menengah, dan cukup lama putus sekolah pada saat ini. 

Dari posisi ayah Mitsuki, tidak aneh jika ingin menghentikannya bahkan untuk berteman dengannya.

"Hah?" Kata Mitsuki. “Hei, Yuu-kun, lihat itu di kakimu!”

“Hm?” Yuuto melihat ke bawah untuk melihat bahwa ada amplop vertikal tebal yang sepertinya telah dilempar sembarangan ke keset pintu masuk.

Di tengah amplop itu tertulis "Untuk Yuuto" yang ditulis dengan tulisan tangan yang dia kenal.

Ini dari ayahnya.

Dia menatapnya tanpa kata-kata.

Akhirnya, sambil mengerutkan kening, Yuuto diam-diam mengambil amplop itu dan memeriksa isinya.

Isinya setumpuk uang 10.000 yen.

Di sebelahnya, Mitsuki berteriak karena terkejut. “Wah, wow! Setidaknya ada dua ratus ribu yen, bukan!?"

Tapi Yuuto terus menatap dingin isi amplop itu.

Dia membuka selembar kertas terlipat yang disertakan dengan uang itu. Ditulis dalam tulisan tangan yang sama, tulisan itu berbunyi, "Gunakan sesukamu," tidak lebih.

"Ahh, ini berarti hari ini kau bisa mentraktirku sushi, dan ... itu tidak terjadi, kurasa." Suara bersemangat Mitsuki turun dengan cepat setelah dia melihat ekspresi di wajah Yuuto.

“Tidak, aku ingin kau mengizinkanku mentraktirmu. Kau telah melakukan banyak hal untuk menjagaku selama ini. Tapi aku tidak berencana menggunakan satu yen pun dari uang ini." Yuuto memasukkan uang itu kembali ke dalam amplop, nadanya menunjukkan bahwa keputusannya sudah final.

Dia lebih suka melemparkan uang itu kembali ke wajah ayahnya secara langsung, tetapi melihat rak sepatu di pintu masuk memberi tahu dia bahwa pria itu sudah pergi bekerja di loka karya nya.

Mitsuki memandang Yuuto dengan sedih sejenak, lalu berkata, "Kau masih belum memaafkan ayahmu, ya, Yuu-kun?"

“Tidak, kurasa tidak.” Yuuto menjawab seolah-olah dia sedang berbicara tentang orang lain, tapi tangannya menggenggam amplop uang dengan erat.

Itu adalah jenis situasi di mana beberapa orang mungkin mengatakan ayahnya telah memahami keadaan Yuuto dan mencoba dengan cara canggungnya untuk menunjukkan kebaikan... tapi dia tidak bisa melihatnya seperti itu. Itu membuatnya sangat mual sehingga dia tidak tahan.

Ada perasaan ketidakpuasan seperti ayahnya bisa melihat dirinya, dan kemarahan pada dirinya sendiri karena tidak berdaya saat ini, kedua perasaan itu berputar-putar di dalam diri Yuuto, tetapi hal yang paling tidak bisa dia maafkan adalah cara ayahnya yang tampak menjauh dan tidak mau menghadapi putranya sendiri secara langsung.

Sialan, ini seperti aku anak bodoh yang sedang marah!

Yuuto dapat mengatakan bahwa sebagian dari dirinya ingin ayahnya meninggalkannya sendiri sepenuhnya. Tetapi kemudian ketika dia ditinggalkan sendirian, dia merasa marah pada pria itu karena tidak memenuhi perannya sebagai seorang ayah.

Jika dia adalah Yuuto tiga tahun lalu, dia tidak akan mampu menghadapi kenyataan bahwa perasaan di dalam dirinya itu kontradiktif. Dia tidak akan bisa menghadapi mereka sama sekali, dan itu hanya akan mengubah semuanya menjadi amarah yang dia tujukan pada ayahnya.

Tapi dia berbeda sekarang.

"Lalu bagaimana...?" dia bergumam. "Jadi, apa yang aku inginkan dari Ayah, ya?"

Apakah dia ingin pria itu meminta maaf, atau dihancurkan? Apakah dia ingin ayahnya menunjukkan minat padanya sebagai ayah, atau membiarkannya sendiri?

Melihat ke langit-langit dengan pikiran-pikiran itu di kepalanya, semuanya tampak begitu rumit sehingga apa pun bisa menjadi jawaban yang benar, tetapi semuanya juga tampak salah.

Dia tidak berpikir dia bisa memberikan jawaban seperti itu sekarang.

********

Setelah sarapan, Yuuto dan Mitsuki pergi berbelanja di pusat perbelanjaan.

Untuk persiapan perjalanan mereka, Yuuto meminta Mitsuki meminjam beberapa pakaian ayahnya untuk dikenakannya. Itu membuatnya merasa tidak enak untuk menanyakan hal itu padanya, tetapi dia sedang tidak berminat untuk meminjam pakaian ayahnya sendiri.

Meski begitu, tidak mungkin dia bisa terus melakukan ini, jadi hal pertama yang mereka lakukan di toko adalah pergi untuk memeriksa beberapa pakaian.

Mitsuki cukup antusias. “Hei, Yuu-kun, Yuu-kun! Aku pikir ini akan terlihat bagus padamu!"

“Hmm… tentu, itu memang terlihat bagus, tapi… gah! Itu mahal!”

Mata Yuuto melebar begitu dia melihat label harganya. Itu hanya lima digit.

"Aku baik-baik saja dengan sesuatu yang lebih murah, oke?" katanya buru-buru. “Sesuatu yang bisa aku beli banyak.”

“Bagaimana bisa Patriark agung dari Klan Serigala mengatakan hal seperti itu?” Mitsuki memarahinya. "Jika kau melakukan itu, bawahanmu tidak akan menghormatimu, Kau tahu."

"Diam! Di dunia ini, aku tidak lebih dari seorang pria yang miskin, pengangguran!”

Sambil melirik pada Mitsuki, yang masih tertawa, Yuuto berjalan menuju sisi dengan tanda bertuliskan "Obral, 2000 Yen".

Sebelum datang ke sini, dia mampir ke bank dan menarik tabungannya, jadi dia bisa membeli sesuatu yang mahal jika dia mau, tapi dia tahu akan ada lebih banyak biaya yang akan datang. Dia ingin memastikan dia menghindari pemborosan uang di sini sebisa mungkin.

“Hm, ini dia. Aku akan mengambil ini dan ini, dan... "

"Ugh, kenapa kau selalu saja memilih warna hitam." Mitsuki segera menjatuhkan pilihannya. “Ayo, pilih beberapa warna yang lebih cerah—!”

“Ya ampun, kenapa kau tidak pergi memilih pakaianmu sendiri?”

“Aku tidak bisa. Aku tidak punya uang."

“Baiklah, kalau begitu aku akan membelikanmu beberapa pakaian. Tidak masalah jika agak mahal juga.”

“Apa?!” Mitsuki menjerit kaget. Dia pasti tidak menduganya, tatapannya melesat ke sana kemari. “Ta-tapi itu tidak terasa benar. Kau tidak punya uang sebanyak itu, bukan? Kau tidak harus…”

“Jangan bodoh. Aku telah mengandalkanmu untuk segala macam hal selama tiga tahun kemarin. Biarkan aku membelikanmu sesuatu sedikit.”

"... Apakah ini benar-benar baik-baik saja?"

“Ya. Faktanya, Mitsuki adalah prioritas nomor satu dalam perjalanan belanja kecil ini. ”

"Oh, begitu... Aku nomor satu, ya? ...Terima kasih." Mitsuki meletakkan kedua tangan di pipinya saat ekspresinya berubah menjadi senyuman malu-malu.

Hanya melihatnya bahagia membuat Yuuto merasa cukup dihargai karena menawarkan untuk membelikannya sesuatu.

"Apa yang harus kubeli," gumam Mitsuki, dengan cepat melamun. “Ada satu hal yang kuinginkan. Oh, tapi kemudian ada itu ... "

Mengawasinya seperti ini, melihat ekspresinya berubah begitu cepat, benar-benar membawa perasaan betapa berbedanya ini dari sekadar panggilan telepon atau gambar. Dia tidak pernah bosan menatapnya.

Akhirnya, dia sepertinya menemukan sesuatu, dan mengangkat satu jarinya. “Oke, jadi, bagaimana jika ini!”

Dia berlari ke arah Yuuto dengan langkah ringan, seperti anak anjing, dan mencondongkan tubuhnya untuk melihat ke arah wajahnya dengan mata menengadah.

Tingkah itu cukup untuk membuat jantung Yuuto berdebar kencang. "A-apa, apakah kau sudah memilih sesuatu?"

“Tidak, aku ingin kau memilihnya, Yuu-kun!”


"Huh?!" Yuuto berteriak kaget.

Jika seorang anak laki-laki dan perempuan yang menjalin hubungan dan berpergian bersama seperti ini adalah apa yang didefinisikan sebagai 'kencan', maka perkembangan semacam ini cukup normal untuk sebuah kencan.

Namun, meskipun Yuuto mungkin telah memperkenalkan roti tanpa pasir, gelas kaca dan banyak lagi keajaiban ke dunia Yggdrasil, dia tidak memiliki pemgetahuan tentang tren atau mode di Jepang modern.

Pada abad ke-21,  'tren' dapat berubah dalam waktu kurang dari setahun. Dia bahkan tidak bisa menebak berapa banyak mode yang telah berubah selama tiga tahun dia pergi.

"Ji-jika kau membiarkanku memilih, aku akan memilih sesuatu yang konyol," 

"Tidak apa-apa. Aku tidak peduli jika kau memilih wig botak sebagai kostum pesta, aku akan tetap menghargainya.”

“Serius?! Kau benar-benar masih akan puas dengan hal seperti itu?!”

“Aku akan menjadikannya pusaka keluarga. Hadiah yang diberikan langsung kepadaku dari Patriark Klan Serigala! Oh, aku harus meletakkannya di altar keluarga juga."

"Tunggu. Tendang ide itu keluar. Tapi serius, jika aku akan membelikanmu hadiah, aku ingin itu menjadi sesuatu yang benar-benar akan kau gunakan, jadi aku lebih suka kau memilih sesuatu yang kau suka.”

“Apaaaa?... Baiklah, kalau begitu aku akan mengambil wig botak."

“Apakah kau benar-benar menginginkan itu ?!”

“Heh heh, jika kau membiarkanku memilih, maka akan seperti itu, oke? Apakah itu tidak masalah? Kau benar-benar setuju dengan itu?”

“Ancaman macam apa itu ?!”

“Jadi, dengan kata lain, jika kau tidak suka itu, pilih sesuatu untukku.”

Yuuto menghela nafas berat. “Baik ... baik, aku mengerti. Aku hanya harus memilih, bukan?”

Dia menggelengkan kepalanya pasrah dengan seringai masam, saat Mitsuki terkikik nakal.

Ketika berhubungan dengan perang, Yuuto dikenal sebagai yang tak terkalahkan, tetapi dia tidak berpikir dia memiliki kesempatan melawan teman masa kecilnya.

Dalam istilah yang lebih ekstrim, mungkin  seperti "laki-laki adalah makhluk yang tidak bisa berharap menang melawan perempuan…"

"Oke, jadi setidaknya beri tahu aku hal apa yang kau suka," katanya. “Kalau tidak, aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

“Oh, baiklah, kalau begitu aku ingin aksesori rambut.” Dengan nada rendah yang tidak bisa di tangkap, dia berbisik, "Dengan begitu, aku selalu bisa menggunakannya."

“Jadi pada akhirnya itu bahkan bukan pakaian?” dia bertanya dengan putus asa. “Yah, terserah. Lalu mari kita lihat beberapa setelah aku menyelesaikan ini.”

“Tunggu, kau masih akan mengambil pakaian hitam itu?!” Mitsuki menatap dengan mata terbelalak tak percaya pada Yuuto.

“Ada apa dengan ini? Lihat, selama mereka cocok, aku baik-baik saja dengan apapun."

“Tidak, itu tidak baik! Jujur! Yuu-kun, kau tampan, tapi kau tidak memikirkan penampilanmu!”

Mitsuki menggembungkan pipinya karena kesal.

“Ini, mulailah dengan ini, dan ini. Kau bisa mencobanya di sana. ”

Dia menyerahkan pakaian yang dia pegang dan menunjuk tajam ke arah ruang ganti.

Menilai dari ekspresinya, dia tidak akan mencapai apa-apa dengan membalasnya kecuali membuang waktu.

Yah, kurasa tidak ada salahnya mengikuti keinginannya sebentar, pikirnya, dan menuju ruang ganti.

Tak perlu dikatakan bahwa setelah itu, Yuuto adalah boneka hias Mitsuki untuk waktu yang cukup lama.

********

“Ughh, lelah sekali. Entah bagaimana, aku merasa sangat lelah." Yuuto duduk di bangku panjang di sisi jalan department store, bersandar sambil mendesah panjang.

Dia merasa sangat lelah baik tubuh maupun pikiran.

Pakaiannya benar-benar baru. Anak laki-laki yang tadinya mengenakan pakaian biasa, membuatnya tampak tidak menarik, sekarang memakai penampilan kasual yang membuatnya terlihat sangat modis.

Tentu saja, postur dan ekspresinya yang terkulai saat ini membuat semua itu sia-sia.

"Apa yang kau katakan?" Mitsuki bertanya. “Kau bertingkah sangat lemah, yang kita lakukan hanyalah memilih beberapa pakaian sebentar."

“Itu sama sekali bukan 'sebentar'. Itu setidaknya satu jam, hanya untuk melihat pakaian."

"Hah? Bukankah itu normal? Sebenarnya, menurutku kita menyelesaikannya dengan cukup cepat.” Mitsuki kembali menatapnya dengan ekspresi bingung.

Hal itu membuat punggung Yuuto bergidik. 

“Itu tadi... 'cepat' ...?!”

“Mm-hm. Saat aku datang ke sini bersama Ibu atau temanku, kami menghabiskan dua atau tiga jam, dengan mudah.”

"Ughhhh ..." Yuuto telah mendengar cerita yang menyatakan bahwa para gadis membutuhkan waktu lama untuk berbelanja, tapi dia tidak menyangka bahwa teman masa kecilnya tidak terkecuali untuk itu.

Memikirkan kembali, dia tidak bisa mengingat pernah benar-benar pergi berbelanja bersama Mitsuki sebelumnya. Dalam hal ini, mungkin wajar jika dia tidak tahu tentang ini, tetapi ... menyadari bahwa sekarang membuatnya menyadari lagi betapa dia telah melewatkan tiga tahun terakhir ini, dan itu membuatnya menyesal.

Dan kelaparan. Mungkin karena frustrasinya, perutnya terasa lebih kosong dari sebelumnya.

“Astaga, aku kelaparan. Sushi! Aku ingin makan sushi!”

"Hei sekarang, kita bahkan belum membeli hadiahku," keluh Mitsuki. "Bukankah aku seharusnya menjadi nomor satu?"

“Tenang dulu. Biarkan aku makan nasi. Bawakan aku nasi. Beri aku nasi!"

“Wah, kau terdengar seperti pecandu nasi!”

“Jauhkan orang Jepang dari nasi selama tiga tahun, dan itulah yang terjadi. Serius."

Onigiri yang dibawakan Mitsuki untuk sarapan pagi ini begitu lezat sehingga ‘membuatnya terpukul secara emosional'.

Sampai hal itu membuatnya hampir menangis.

Jika Mitsuki tidak ada di depannya, dia mungkin akan langsung menangis di tempat.

Sushi adalah makanan favorit Yuuto, jadi dia tidak bisa menahan diri betapa lezatnya makanan itu. Dia sudah mengeluarkan air liur tak terkendali.

"Baiklah kalau begitu! Ayo cepat pilih aksesori rambut itu lalu makan,” ucapnya. "Arahnya kemana?"

“Oh, uh. Disana. Ughh, sekarang suasananya hancur ... "

“Ke sana, kan? Mengerti."

Tanpa mendengarkan keluhan Mitsuki, Yuuto mengambil tas belanjaan berisi pakaian dan berdiri.

Saat dia mulai berjalan ke arah yang telah ditunjuk Mitsuki, jalannya tiba-tiba terhalang.

Yang berdiri di depannya adalah seorang pria berseragam biru tua. Pada awalnya, dia tampak seperti seorang penjaga keamanan.

"Kurasa kau tahu apa artinya ini," kata pria berseragam itu, mengulurkan ID kecil dengan lencana polisi berlambang sakura di atasnya. “Kau Suoh Yuuto, kan?”

Sepertinya reuni Yuuto yang sudah lama ditunggu-tunggu dengan sushi harus menunggu satu hari lagi.

◆ ◆ ◆

Glaðsheimr.

Kota ini adalah ibu kota Kekaisaran Suci Ásgarðr, dan kota terbesar di seluruh Yggdrasil. Itu dikenal jauh dan luas sebagai tempat kelahiran banyak tren seni dan budaya.

“Jadi, akhirnya aku sampai...” Rífa mendesah tertekan, tubuhnya sedikit bergoyang seiring dengan guncangan kereta kudanya.

Sekitar waktu yang sama saat Yuuto kembali ke rumah, Kaisar Ilahi Sigrdrífa dari Kekaisaran Suci Ásgarðr juga telah menyelesaikan perjalanan kembali ke tanah kelahirannya.

Kedatangannya menandai akhir dari kebebasannya, jadi mau bagaimana lagi hal itu mengirimnya ke dalam suasana hati yang melankolis. Namun, itu bukanlah satu-satunya penyebab.

“Kurasa suasana kota yang tidak menyenangkan ini tidak berubah,” gumamnya.

Tenda didirikan berjejer di jalan utama kota yang besar, dikemas penuh dengan berbagai macam produk dari seluruh Yggdrasil.

Semenit sebelumnya, saat di gerbang kota, ada barisan besar orang seperti pedagang keliling menunggu giliran untuk meminta izin memasuki kota.

Ini semua menunjukkan budaya kota yang ramai dan penuh kehidupan; Namun, Rífa dari semua orang tahu bahwa sebagian besar dari semua itu hanya di permukaan.

Yang pasti, ada lebih dari beberapa pelanggan berpakaian indah yang dengan senang hati membeli barang dagangannya. Namun, itu hanya sebagian kecil orang.

Mayoritas orang yang terlihat berjalan mondar-mandir di jalanan yang padat ini, yang lahir di kota ini dan sekarang mencari nafkah di sini, mengenakan pakaian tanpa kemewahan atau warna mencolok. Wajah mereka menunjukkan ekspresi gelap yang kental dengan kelelahan dan kurangnya semangat.

Jika seseorang mengintip lebih hati-hati ke tepi dan sudut kota, ada juga sejumlah besar pengemis dengan pakaian dan kain compang-camping, berjongkok dan memohon belas kasihan orang yang lewat.

Kebenaran yang tidak sedap dipandang menjadi jelas bagi pengamat: Beberapa orang terpilih memperkaya diri mereka sendiri sambil menyedot kekayaan sebagian besar rakyat lain.

“Yah, bukannya aku punya hak untuk membicarakan masalah ini,” gumam Rífa.

Dia sendiri, orang yang duduk di puncak sistem eksploitatif itu. Dia mengenakan pakaian yang lebih indah dari siapa pun, memakan makanan paling lezat, dan tinggal di istana yang lebih bersih dan mewah daripada rumah lain.

Jika dia ditanya apakah dia melakukan pekerjaan yang membuatnya layak untuk gaya hidup itu, dia harus menjawab dengan jujur, "Tidak sama sekali."

Itu semakin benar setelah dia melihat betapa bersemangatnya pemuda berambut hitam itu memantapkan posisi dirinya. Bahkan selama dia tinggal sesaat dengannya, dia telah memperkenalkan kebijakan dan penemuan satu demi satu untuk memperkaya warganya secara keseluruhan.

Dia merasakan kecemburuan yang kuat terhadapnya dalam hal itu. Apakah tidak ada cara baginya juga untuk melakukan sesuatu untuk melayani wilayah dan rakyatnya?

Pikiran itu sangat kuat di benak Rífa saat dia melihat ke arah kota.


"Wah. Sungguh, pidato bertele-tele orang tua adalah sesuatu yang tidak dapat kutahan." Rífa menghela nafas dengan sangat lelah.

Para petinggi dalam administrasi kekaisaran akhirnya selesai menguliahi dia panjang lebar.

Tentu saja, Rífa sepenuhnya bersalah atas seluruh kejadian ini, jadi dia diam-diam mendengarkan mereka terus-menerus dengan pidato kecil mereka. Tapi lebih dari empat jam itu benar-benar melelahkan pikirannya, yang sudah lelah karena perjalanan jauh.

Sekarang, yang tersisa hanyalah kembali ke kamarnya dan tidur.

Dengan langkah lelah dan goyah, dia mulai berjalan ke sana ...

“Oh, Yang Mulia! Anda selamat! Syukurlah!" Sesosok berlari ke arahnya, berteriak, lalu berlutut di sampingnya.

Saat dia berlari ke arahnya, dia langsung mengenalinya dengan rambut panjang emasnya, diikat ke belakang dan bergoyang seperti ekor kuda.

Wajah Rífa memperlihatkan senyum nostalgia saat dia melihat pengikutnya yang setia untuk pertama kalinya dalam hampir empat bulan. “Ahh, Fagrahvél! Sudah cukup lama, bukan? ”

Masih dengan berlutut, Fagrahvél mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Iya. Yang Mulia sangat dirindukan. Apakah Anda sehat?"

Dia bisa melihat air mata menetes di wajah tampannya, mengkomunikasikan kepedulian yang tulus padanya dan kelegaan pada reuni mereka.

Rífa mau tidak mau merasakan api kehangatan di dalam dadanya sendiri, juga. “Hee hee! Kau adalah satu-satunya yang mengkhawatirkan kesehatanku."

"Yang Mulia, itu bukan ..."

“Tidak, itulah kebenarannya,” kata Rifa dengan nada sinis, bahunya merosot.

Para Pejabat tinggi negara telah menegurnya karena menyebabkan masalah bagi banyak orang karena absen dari tugas publiknya, dan memarahinya karena kurangnya kesadaran diri akan posisinya sebagai þjóðann. Topik-topik ini telah melewati bibir mereka berkali-kali, seperti refrein yang selalu berbeda kata-katanya. Tapi dia tidak mendengar satu kata pun yang menunjukkan perhatian padanya.

Yang mereka gunakan hanyalah martabat dan otoritas þjóðann, dan wadah untuk otoritas itu, bukan Rífa sendiri.

Itu adalah sesuatu yang selalu dia pahami, tetapi pengalaman itu masih membuatnya merasakan sakit yang tajam di dadanya.

Tiba-tiba, terdengar suara serak dari belakang Rfa. “Selamat datang di rumah, Yang Mulia.”

Itu adalah suara yang menginspirasi rasa takut dalam dirinya. Wajahnya berkerut getir, seolah dia menelan serangga.

Dia berhasil mengumpulkan kekuatan mentalnya yang tersisa dan memasang wajah bersahabat, dan berbalik. Pria yang berdiri di sana persis seperti yang diharapkannya: Pria tua kurus kering dengan rambut putih, bersandar pada tongkat.

“Apa anda bisa menikmati waktumu di Klan Serigala?” Dia bertanya.

“Hmph! Jadi, Anda sudah tahu semua tentang di mana saya berada dan apa yang telah saya lakukan. "

“Ya, tentu saja saya tahu. Bagaimanapun juga, Anda adalah calon pengantin saya." Ucap si tua, Hárbarth, tertawa geli.

Rífa, di sisi lain, hanya merengut karena ketidaksenangan. Kata "pengantin" membuatnya kesal.

Rífa memelototi langsung orang tua itu lagi, menatapnya dari atas ke bawah.

Janggut panjangnya sama putihnya dengan rambutnya sendiri. Rífa mendengar dia sudah berusia lebih dari enam puluh tahun.

Banyak kerutan diwajahnya, dan tangan yang mengintip dari lengan jubahnya hanyalah kulit dan tulang.

Pikiran bahwa orang ini akan menjadi calon suaminya sudah cukup membuatnya merasa mual.

Meski begitu, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghindari pernikahan ini. Rífa memiliki tugas sebagai þjóðann untuk meneruskan dan mempertahankan garis keturunan bangsawannya.

Jadi, lelaki tua yang menjijikkan ini adalah satu-satunya pilihan yang tersisa baginya; pilihan yang lain telah dieliminasi.

Sekilas, Istana Valaskjálf adalah tempat yang indah. Itu benar, dan itulah mengapa anggaran yang sangat besar diperlukan untuk mempertahankan tingkat kemegahan itu. Standar hidup telah tumbuh terlalu tinggi, dan bukanlah tugas yang mudah untuk menguranginya lagi.

Pada titik ini, keuangan kekaisaran pusat sangat menyedihkan sehingga tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan tanpa dukungan Hárbarth dan Klan Tombaknya.

Memang, semuanya begitu putus asa sehingga semua orang tahu betapa salah dan tidak cocoknya pernikahan ini, namun tidak ada yang bisa bersuara untuk menentangnya.

Secara blak-blakan, demi menopang kekaisaran, Rífa telah dijual kepada lelaki tua hina itu, sebagai bejana.

Dia akan melahirkan þjóðann baru yang membawa darahnya.

Dan hari yang ditakuti dari upacara pernikahan itu sudah hampir tiba……

********

"Ugh ...!" Sigrún mendengus. “Felicia, pelan-pelan... Ngh! "

"Aku melakukannya dengan lembut," kata Felicia, alisnya berkerut. “Sungguh, kau begitu sembrono bertarung dengan tanganmu seperti ini!” Dia dengan hati-hati terus mengoleskan salep buatannya ke punggung tangan Sigrún.

Mereka berada di sebuah ruangan di Benteng Gashina, sebuah benteng di perbatasan wilayah Klan Serigala dan Klan Petir.

Selama pertempuran malam hari sebelumnya, pasukan Klan Serigala menderita kekalahan besar, hanya berhasil bertahan hidup dengan melarikan diri ke benteng terdekat ini.

Pandangan ke luar jendela menunjukkan pemandangan yang dipenuhi dengan mereka yang terluka. Tidak ada yang selamat tanpa cedera. Semua wajah mereka kelelahan dan diliputi kekhawatiran.

Kalian dapat mengatakan tentara Klan Serigala babak belur.

Namun faktanya, banyak dari mereka yang berhasil sampai di sini hidup-hidup, sangat mungkin berkat satu orang.

“Tidak ada yang bisa kulakukan tentang itu. Aku tidak punya pilihan," jawab Sigrún dingin. Tugas Mánagarmr adalah untuk selalu bertempur di garis depan, melindungi tentara lainnya.

Sigrún telah mengambil peran memimpin barisan belakang, berjuang mati-matian dengan keberanian luar biasa saat pasukan mundur. Tanpa usahanya, hanya setengah, atau bahkan sepertiga yang akan selamat untuk mencapai benteng.

Tapi harga yang dia bayar untuk itu tinggi.

“Meski begitu, kau tidak perlu ... lihat, jangan salahkan aku jika tangan ini sudah tidak berfungsi dengan baik lagi,” kata Felicia.

“Itu akan menjadi masalah. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan tangan ini. ... Urgh." Saat Sigrún mencoba mengepalkan tangan kanannya, dia mendengus dan meringis.

Gadis ini dikenal berwajah batu dalam banyak situasi, namun ekspresinya berubah karena kesakitan. Itu menunjukkan betapa kuat rasa sakit itu.

Itu masuk akal, karena bahkan setelah menderita luka di tangan kanannya oleh Hveðrungr selama duel mereka, dia terus menggunakan tangan itu. Luka dan bengkaknya semakin parah; Tangan kanan Sigrún yang babak belur sekarang membengkak hingga hampir dua kali ukuran normalnya.

“Apa yang kau katakan, dalam kondisimu?” Felicia menjawab seolah memarahi anak yang keras kepala. “Kau harus istirahat dan menyembuhkan diri sementara.”

Tangan itu terlihat benar-benar akan mengalami kesulitan bahkan jika ingin menggenggam sesuatu yang ringan. Pergi ke medan pertempuran kondisi seperti ini akan berarti bunuh diri.

Sangat wajar untuk menghentikannya dalam situasi ini, tapi ...

“Kau tidak dapat mengharapkan diriku untuk duduk diam pada situasi kritis ketika hidup kita dipertaruhkan,” balas Sigrún.

"Tapi sekarang Kakak telah dikirim kembali ke dunianya, jika pasukan Klan Serigala kehilanganmu juga, maka ...!"

“Itulah kenapa. Jika aku menghilang dari posku di di medan perang, moral tidak akan bertahan." Sigrún berdiri dengan cara yang mengatakan bahwa percakapan telah selesai, dan dia mengenakan mantel bulu yang telah digantung di dinding di dekatnya. Itu adalah item yang menandakan Mánagarmr, diturunkan dari pemilik gelar sebelumnya kepada pewarisnya.

Rupanya, dia memiliki kesadaran yang dalam akan tanggung jawab dan beban yang menyertainya. Itulah mengapa dia begitu tegas dengan niatnya untuk tidak mundur dari pertarungan.

Felicia menghela nafas kecil, menyadari kesia-siaan dari bujukan lebih lanjut. "Ohhh, kau benar-benar hanya mendengarkan Kakak, bukan?"

Namun, meski dia mengatakan itu, dia mengakui validitas poin Sigrún. Dia tidak punya pilihan selain mengakui itu.

Taktik pertahanan berharga pasukan mereka, 'dinding kereta' telah dengan mudah dikalahkan, dan tentara Klan Serigala telah menderita kekalahan militer besar pertama mereka dalam beberapa tahun terakhir.

Dan untuk Benteng Gashina, itu baru saja diserang dan diambil alih, mengalami kerusakan parah pada saat ini, dan kemampuannya untuk berfungsi sebagai benteng pertahanan sangat berkurang.

Jika Klan Panther bergabung dengan Klan Petir dan menyerang bersama, benteng itu kemungkinan besar tidak akan bertahan.

Dan disamping krisis ini, Yuuto, panglima tertinggi yang semua prajurit dihormati, tidak muncul di hadapan mereka. Dalih yang diberikan adalah bahwa Yuuto sedang dalam pemulihan dari luka-lukanya sendiri.

Ini akan menjadi tugas yang sulit untuk meminta para prajurit untuk mengabaikan kecemasan mereka pada saat ini.

Jadi jika Sigrún the Mánagarmr menghilang dari garis depan karena cedera, orang-orang itu tidak akan melihat harapan kemenangan untuk Klan Serigala. Karena putus asa, mereka akan mulai hancur dan melarikan diri, atau menyerah kepada musuh, hasil itu sejelas matahari yang bersinar.

Dalam kondisi pasukan Klan Serigala saat ini, pemicu kecil akan seperti retakan di lapisan es tipis, dan menyebabkan kehancuran total.

"Itu mengingatkanku, Felicia." Sigrún menoleh padanya dengan tatapan yang sangat serius. "Ada sesuatu yang harus kuberitahukan padamu, dan ini kesempatan bagus."

"Apa itu? Apakah itu sesuatu yang baik, atau sesuatu yang buruk? ”

“Aku tidak bisa mengatakannya. Itu bukanlah sesuatu yang bisa aku putuskan. Ini tentang pria bertopeng itu, orang yang mungkin adalah Patriark dari Klan Panther ... Umm, coba saja tetap tenang saat kau mendengar ini, oke? "

Untuk seseorang yang biasanya langsung ke intinya dan tidak pernah berbasa-basi, Sigrún berbicara dengan cara yang aneh, sangat ragu-ragu.

Itu sudah cukup bagi Felicia untuk menyimpulkan apa yang Sigrún coba katakan padanya.

“Kau berbicara tentang kakakku, kan?” katanya, dengan sedikit seringai.

“Ap… Kau tahu ?!”

“Ya, meskipun Kakak (Yuuto) memutuskan aku harus tetap diam tentang itu. Aku minta maaf."

Jika tersebar di publik bahwa Patriark Klan Panther Hveðrungr sebenarnya adalah Loptr, mantan Perwira tinggi dari Klan Serigala, Klan Serigala akan dipaksa untuk melakukan segala cara untuk membunuhnya.

Pria itu telah membunuh ayah sumpahnya, kejahatan yang paling tak termaafkan. Jika Klan Serigala membiarkan seorang pembunuh tidak dihukum, itu akan menodai kehormatan Klan, dan melemahkan otoritasnya baik di dalam maupun luar negeri.

Setelah menemukan fakta itu, Yuuto merasa dia tidak punya pilihan selain merahasiakannya karena dia membenci perang dan ingin menemukan cara untuk menjalin hubungan damai dengan Klan Panther.

Bahkan setelah kedua klan berperang, dia telah memilih untuk merahasiakan rahasia hanya kepada beberapa orang terpilih, untuk menjaga kemungkinan berakhirnya konflik secara damai, dan untuk menjaga agar tidak dipaksa untuk mempertahankan perang yang berkelanjutan. .

“Kau tidak perlu meminta maaf,” kata Sigrún, menggelengkan kepalanya sedikit. "Jika itu yang Ayah putuskan, maka tidak ada yang bisa kau lakukan."

Dia tampaknya menerima penjelasan itu sebagai hal yang biasa, tanpa perasaan pribadi lebih lanjut tentang masalah itu.

Dia tidak menyia-nyiakan satu pikiran pun pada kekhawatiran bodoh seperti apakah dia tidak diberi tahu karena dia tidak dipercaya.

Aspek Sigrún yang jujur dan tidak terikat itu sedikit memesona bagi seseorang seperti Felicia, yang cukup banyak memusatkan perhatian pada kekhawatiran dan detail.

Tentu saja, aspek kepribadian Felicia, pertimbangan terhadap detail, yang memungkinkan dia untuk mendukung Yuuto sebaik yang dia lakukan, dan memang Sigrún iri padanya karenanya.

"Tetap saja," kata Sigrún, "meskipun aku tidak suka mengatakannya seperti ini di depanmu, orang itu adalah masalah yang mengerikan sebagai musuh ..."

Dia melihat ke bawah ke tangan terluka yang sekarang dibalut Felicia, wajahnya kesal dan pahit.

Mungkin bisa dikatakan bahwa seorang prajurit selalu hidup dengan kemenangan dan kekalahan, tetapi bagi wanita dengan gelar berat seperti Mánagarmr, Prajurit terkuat Klan Serigala, itu pasti sangat membuat frustrasi.

"Aku pikir kekuatan pria itu adalah kemampuannya untuk mencuri teknik dari musuh-musuhnya dan menjadikannya miliknya, tapi itu sepenuhnya salah." Sigrún mengucapkan kata-kata itu dengan getir. “Kekuatannya yang sebenarnya dan paling menakutkan adalah bahwa di tengah pertarungan, dia dapat membaca lawannya sepenuhnya, mengidentifikasi kecenderungan dan kebiasaan mereka, dan melihat kelemahan mereka.”

Felicia adalah adik perempuan Hveðrungr - Loptr - sejak lahir, dan dia tahu kebenaran kata-kata Sigrún dengan baik.

Menggunakan dan menguasai teknik yang dicuri dari lawan berarti juga memahami sepenuhnya bagaimana teknik itu bisa diatasi.

Dan prinsip itu juga diterapkan pada kemampuan strategisnya sebagai seorang komandan.

“Memang, baginya untuk bisa memikirkan bukan hanya satu, tapi beberapa metode untuk menerobos pertahanan dinding kereta... tanpa sanjungan sebagai adik perempuannya, aku menganggap bakatnya menakutkan.”

“Dan dia memiliki monster Steinþórr yang menunggu di belakangnya, Battle-Hungry Tiger Dólgþrasir,” kata Sigrún getir. 

"Aku harus mengatakan ini adalah situasi yang sangat mengerikan tanpa Ayah di sini."

"Jika kita bisa bertahan sebentar, kita seharusnya bisa menerima arahan dari Kakak."

Tadi malam, si kembar dari Klan Cakar memulai perjalanan menuju Iárnviðr dengan membawa smartphone Yuuto. Keduanya pasti bisa kembali dengan selamat ke kota tanpa ditangkap oleh musuh.

Dan Ingrid telah diajari cara menggunakan perangkat oleh Yuuto, jadi dia seharusnya bisa menghubunginya.

"Aku mengerti. Itu cukup meyakinkan, tapi ... terus terang, patut dipertanyakan apakah kita bisa bertahan selama itu.” Ekspresi Sigrún masih suram.

Bahkan dengan kecepatan tinggi si kembar, masih dibutuhkan setidaknya dua hari untuk mencapai Iárnviðr dari Benteng Gashina. Komunikasi juga harus dilakukan pada malam hari, jadi totalnya akan menjadi lima hari.

Melawan musuh normal, menghalangi diri mereka sendiri di dalam benteng akan dengan mudah memberi mereka waktu sebanyak itu, tapi ...

“Musuh memiliki itu, apa namanya, tu, t-ture, torebset? Benda yang meluncurkan batu?"

"Trebuchet, ya."

“Ahh, itu dia. Melawan itu, benteng ini tidak akan bertahan sama sekali. " Sambil menghela nafas, Sigrún menggelengkan kepalanya pasrah.

Alat itu bisa meluncurkan batu besar, ukurannya lebih besar dari dua orang dewasa, dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa. Kekuatan penghancurnya adalah sesuatu yang Sigrún ketahui dengan baik, karena dia telah melihatnya digunakan untuk melawan Klan Cakar dan dan Tanduk di masa lalu.

Itu adalah senjata yang dapat diandalkan untuk dimiliki di pihak mereka, tetapi mengerikan dan menjengkelkan setelah digunakan untuk melawan mereka.

Saat ini, mereka tidak punya cara untuk melawannya.

Sigrún menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan napas panjang. "Hahhhhh ... Sepertinya aku harus menguatkan diriku sendiri." Dia berbicara dengan keteguhan hati yang terdengar dari suaranya.

Tatapan penuh tekad di matanya membuat Felicia merasa tidak enak.

Ternyata, dia benar merasa seperti itu.

“Aku ingin setidaknya mendengar suara Ayah sekali lagi, tapi itu tidak bisa dihindari. Tolong beritahu Ayah atas namaku. Katakan padanya bahwa `Sigrún bertempur dengan gagah berani, sampai akhir`.”



TL: Afrodit
EDITOR: Isekai-Chan 

0 komentar:

Posting Komentar