Volume 5
Chapter 3. Fly Me To The Moon
"Baiklah, sampai nanti, Mitsuki," kata Yuuto.
“Selamat malam, Yuu-kun.” Dengan suara selembut bisikan, Mitsuki Shimoya mengucapkan selamat malam pada teman masa kecilnya, dan mengetuk ikon Akhiri Panggilan di layar Smartphone miliknya.
Ruangan itu dipenuhi dengan keheningan, mencengkram hatinya dengan perasaan kesepian yang tak bisa diungkapkan.
Kamar Mitsuki imut dan bersih, dengan dinding berwarna krem dan tirai pink di jendelanya. Beberapa boneka binatang, semuanya serigala yang imut, duduk dengan nyaman di tempat tidur dan meja riasnya.
Meskipun ada satu benda di ruangan itu yang bertentangan dengan suasana feminin. Di atas meja belajarnya terdapat sebuah cermin antik tua berkarat.
Itu adalah Cermin ilahi yang telah diabadikan di altar Kuil Tsukimiya di hutan, katalisator untuk transportasi Yuuto ke Yggdrasil.
<EDN: Katalisator itu medium>
Kebanyakan orang tua tentunya tidak mengizinkan seorang gadis SMP untuk keluar larut malam, dan orang tua Mitsuki tidak terkecuali, tapi dia ingin bisa tetap berhubungan dengan Yuuto. Jadi, dia telah meminjam Cermin Ilahi dari kuil sebagai gantinya.
Tentu saja, dia tidak mencuri atau semacamnya.
"Ini benar-benar kebetulan yang aneh," gumamnya pada dirinya sendiri, mengambil cermin itu.
Mitsuki telah mencoba untuk mencari orang yang bertanggung jawab atas kuil tersebut, berniat untuk meminta meminjamkan cermin itu, namun ternyata itu adalah kakeknya sendiri.
Ternyata, garis keluarga Shimoya memiliki sejarah yang panjang di daerah tersebut sebagai keluarga yang terpandang dan terhormat, yang bertugas menjalankan ritual Shinto setempat untuk waktu yang sangat lama. Jadi dari generasi ke generasi, seorang Shimoya telah menjadi manajer dan kepala pendeta Kuil Tsukimiya.
Fakta ini sangat mengejutkan Mitsuki. Ayahnya adalah seorang pekerja kantoran normal yang bekerja siang dan malam, dan tidak menunjukan latar keluarga semacam itu.
Menurut kakeknya, tempat suci itu sudah mengalami penurunan sejak generasinya. Dalam periode kacau setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, dia tidak mampu memenuhi kebutuhan, dan terpaksa menutupnya.
Namun, itu tidak mengubah fakta bahwa dia adalah pemilik cermin yang sah. Dan sebagai seorang kakek dengan hanya satu cucu untuk disayangi, dia bersedia mengabulkan permintaannya tanpa pertanyaan.
"Dan itu benar-benar terbuat dari álfkipfer juga..." gumamnya.
Dia sudah memastikan bahwa ketika terkena sinar bulan, cermin itu dikelilingi dengan cahaya yang sangat redup. Itu tidak terlihat sekarang karena lampu di kamarnya menyala, tetapi jika dia mematikannya, dia akan bisa melihatnya.
Itu sesuai dengan deskripsi item yang terbuat dari álfkipfer, logam ajaib yang Yuuto ceritakan padanya.
“Awww, aku tidak bisa berhenti penasaran dari mana asalnya!” dia berbisik pelan.
Dia meletakkan cermin dan kembali ke tempat tidurnya, di mana dia melampiaskan rasa frustrasinya dengan mengambil bantal dan membenturkannya ke kasur beberapa kali.
Bahkan kakeknya tidak tahu bagaimana cermin itu bisa menjadi milik keluarga Shimoya, hanya saja cermin itu telah diwariskan melalui garis keluarga selama berabad-abad.
Cermin itu terbuat dari bahan yang tidak dapat ditemukan di mana pun di Bumi modern, bahan yang tampaknya hanya ada di Yggdrasil, tempat Yuuto berada sekarang.
Bagaimana hal seperti itu bisa berakhir di Jepang, diturunkan dari generasi ke generasi di Kuil Tsukimiya?
Bukankah memecahkan teka-teki itu akan sangat membantu mengungkap kebenaran di balik dunia misterius Yggdrasil, yang era dan lokasinya sebenarnya masih diselimuti misteri?
Mitsuki tidak memiliki bukti kuat bahwa itu akan menjadi kuncinya, tetapi pemikiran dan pertanyaan itu sering muncul di benaknya akhir-akhir ini.
Mitsuki Shimoya adalah siswa tahun ketiga di SMP di Kota Hachio.
Tinggi: 155 centimeter.
Berat: 46 kilogram.
Dia bukan anggota klub mana pun, prestasi akademis dan atletiknya hampir tidak di atas rata-rata. Tidak ada yang istimewa atau khusus tentangnya, dia hanyalah seorang gadis biasa yang sangat polos dan dapat kau temukan di mana saja.
Atau begitulah yang dia percayai.
"Oh, ayolah, dirimu satu-satunya yang mengira kau polos!"
Saat itu istirahat makan siang, gadis yang duduk di seberang Mitsuki membuat wajah jengkel. Dia menegaskan keberatannya dengan mengarahkan tangannya secara horizontal, tepat ke dada Mitsuki yang besar…..
“Kh! Ini langsung... memantul?! Mitsuki, sungguh gadis yang menakutkan!"
“Ya ampun, jangan lakukan itu, Ruri-chan!” Mitsuki memegangi dadanya, tersipu, sementara temannya membuat pose berlebihan seperti dia terhempas ke belakang.
Nama gadis itu adalah Ruri Takao. Dia dan Mitsuki telah menjadi teman yang tak terpisahkan sejak tahun ketiga sekolah dasar mereka.
Dia berdada rata. Benar-benar datar yang tidak masuk akal.
Begitu datarnya sehingga anak laki-laki yang lebih kejam di sekolah menggodanya, memberi julukan yang tidak berperasaan seperti ‘Payudara di Tanah Datar.'
Ruri memiliki sepupu perempuan lebih tua yang dia kagumi, diberkati dengan segalanya, kecerdasan, bakat atletik yang unggul, dan paras yang luar biasa - tetapi berbanding terbalik dengannya, tampaknya dia tidak memiliki satupun hal itu. Itu mungkin hanya salah satu dari genetik dalam keluarga.
“Grrr, ini tidak adil! Serahkan! Ayolah, aku hanya butuh sedikit! Berikan saja... aku ... sedikit!" Ruri tiba-tiba menerjang payudara Mitsuki, memegang dan meremasnya dengan kuat.
“Ap— Ruri-chan, henti— ahh!”
Mitsuki mendorong Ruri menjauh darinya dan buru-buru menyilangkan kedua tangan di depan dadanya untuk melindunginya.
Dia tahu bahwa Ruri hanya bermaksud bercanda, tapi dia juga tahu bahwa semua anak laki-laki di kelas sedang menatapnya. Dia menjadi memerah karena malu sampai-sampai wajahnya terbakar.
Ruri memperhatikan tatapannya juga, dan meminta maaf, dengan canggung menggaruk bagian belakang kepalanya dengan satu tangan. "...Ah maaf. Aku tidak bisa menahan diri. "
Dia bukan gadis nakal atau semacamnya, tetapi dari waktu ke waktu dia memiliki kebiasaan bertindak pada saat itu juga tanpa berpikir. Menurut Ruri sendiri, ciri kepribadian itu persis seperti sepupunya yang lain, seorang anak laki-laki yang lebih tua.
Mitsuki mendapati dirinya berpikir bahwa tidak baik memaafkan setiap sifat karena genetika keluarga.
"Tidak, tidak apa-apa, Ruri," kata Mitsuki ramah. “Tapi... itu tidak baik, kau tahu? Tatapan yang aku dapatkan dari anak laki-laki pada saat seperti sekarang benar-benar tidak nyaman, punggung serta bahuku juga menjadi kaku dan pegal.
"Meskipun….. Meskipun begitu! Tolong, ini adalah keinginan putus asa dari orang-orang sejenisku" Ruri menghantamkan tangannya ke atas meja untuk menekankan kemauannya yang kuat.
“Jenismu?!” Tidak yakin bagaimana harus bereaksi, Mitsuki hanya bisa menahan tawa kering dan gugup.
Memang benar Ruri tidak memiliki payudara, tapi penampilannya tetap menarik, dengan wajah cantik, sikap ceria, ramah, dan mudah diajak bicara yang membuatnya populer di kalangan anak laki-laki. Sejauh yang diketahui Mitsuki, Ruri telah beberapa kali ditembak.
Mitsuki tidak berpikir itu adalah sesuatu yang harus diperhatikan Ruri. Namun, mungkin Ruri menyadari tubuh semua gadis di sekitarnya mulai menjadi dewasa dan merasa seperti ditinggalkan.
Mungkin itulah yang membuatnya begitu kesal.
“Jadi tolong beritahu aku, apa rahasiamu menjadi begitu sugoi dekai ?! Tolong, aku mohon padamu, Mitsuki dewi ku!"
Gadis-gadis lain yang sedang makan siang di sekitar meja ikut bertanya. "Oh, beri tahu aku juga!"
“Ya, aku juga, aku juga.”
Mereka, bagaimanapun juga, adalah perempuan di tahun terakhir SMP mereka. Ini adalah topik yang menarik bagi gadis seusia mereka.
"Kalian semua mengatakan itu, tapi... aku tidak benar-benar melakukan sesuatu yang istimewa," kata Mitsuki bingung.
Ruri, bagaimanapun, tampaknya tidak menerima itu. "Keberatan!!"
Dia menunjuk secara dramatis ke arah Mitsuki dengan sumpitnya.
“Kita berada di tahun ketiga SMP, jadi kita tidak bisa menganggapnya hanya karena gen yang bagus! Saat itulah aku teringat, orang-orang selalu mengatakan kita adalah apa yang kita makan, bukan?”
“Er, um, benar.”
"Oleh karena itu ... Yatta!“
"Ahh—!”
Itu sudah terjadi sebelum Mitsuki bisa memprotes. Dengan gerakan secepat kilat, sumpit Ruri mengambil salah satu telur gulung dari kotak makan siangnya.
Ruri menikmati makanan curiannya dengan perlahan, menikmati rasanya, dan kemudian dengan mata terpejam menghela nafas panjang, terpesona.
“Ahh, makan siang Mitsuki benar-benar paling lezat! Ini bahkan lebih lezat daripada sebelumnya.”
“Oooh, benarkah? Biarkan aku mencobanya juga."
“Ah, aku juga ingin mencobanya.”
"Aku juga aku juga!"
“Ap— Tunggu, teman-teman, apa yang kalian...?!”
Saat tiga pasang sumpit lagi datang dari arah yang berbeda sekaligus, Mitsuki tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menonton, dengan mata berkaca-kaca, karena semua lauknya dicuri.
“Mmm, kau benar, ini lebih lezat.”
“Wah, apa ini?! Aku belum pernah mencoba milik Mitsuki sebelumnya, tapi ini sangat enak! ”
“Ini benar-benar lezat. Mitsuki, kau membuat ini sendiri, kan? Bukan ibumu? ”
“Eh, u-um, y-ya, itu benar. Eheheh, apakah benar-benar lezat?” Mitsuki tergagap, tersenyum malu-malu.
Bagaimapun, mendengar mereka memuji makanan yang dibuatnya dan menyebutnya lezat adalah perasaan yang cukup menyenangkan.
Hanya mendengar itu saja sudah lebih dari cukup baginya untuk memaafkan kehilangan beberapa lauk dari makan siangnya, meskipun dia berpikir itu mungkin perilaku yang agak terlalu lembut. Tapi dia juga tahu bahwa setelah itu, masing-masing gadis akan mengganti kembali dengan beberapa lauk dari bekal makan siang mereka sendiri.
Ruri mengangguk dengan sengaja. “Ya, aku tahu, inilah kekuatan seorang gadis muda yang sedang jatuh cinta. Mitsuki, sungguh gadis yang menakutkan!"
“Apa— Ruri-chan ?!” Mitsuki berseru.
Teman sekelas lainnya mencondongkan tubuh ke depan dengan penuh semangat.
“Ohhh, teman masa kecil yang pernah kudengar rumornya? Kau pasti menyukainya.”
“Dia setahun lebih tua, bukan?”
“Kau bekerja sekeras ini demi seorang anak laki-laki yang telah pergi begitu jauh… Hee hee, Mitsuki, kau benar-benar orang yang setia dan tulus, bukan?”
"Nnnh ..."
Saat pujian itu berubah menjadi godaan yang lucu, wajah Mitsuki menjadi merah padam dan dia menunduk, malu dan tidak bisa berbicara.
Tak jauh di belakangnya, ada lebih dari selusin teman laki-laki sekelasnya yang terbakar api cemburu yang mematikan, pada teman masa kecilnya ini yang bahkan belum pernah mereka temui. Tapi subjek itu adalah cerita untuk lain waktu.
“Ruri-chan, aku sudah memberitahumu sebelumnya! Tolong jangan bicara tentang Yuu-kun di sekolah.” Mitsuki menggembungkan pipinya karena frustrasi.
********
Kelas sudah usai, dan mereka sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Saat itu masih baru pukul empat lewat, tapi matahari sudah mulai terbenam. Sekarang bulan Desember, malam datang dengan cepat setiap hari.
Saat matahari terbenam di ufuk barat, ia terlukis dengan warna kemerahan di ladang yang luas dan atap genteng rumah-rumah gaya Jepang kuno. Itu adalah pemandangan khas pedesaan.
Namun, orang-orang dapat melihat tanda-tanda kehidupan modern di sana-sini: Semua jalan beraspal, banyak rumah memiliki mobil dan truk pribadi yang diparkir di luar, dan rumah-rumah itu sendiri memiliki unit AC dan antena satelit.
"Ruri-chan, kau tahu itu akan menimbulkan masalah bagiku jika mereka menanyakan lebih banyak detail," lanjut Mitsuki, amarahnya dengan cepat berubah menjadi kegelisahan.
Teman masa kecilnya, Yuuto Suoh, telah dipindahkan ke dunia alternatif yang dikenal sebagai Yggdrasil, di mana dia sekarang memerintah sebagai semacam penguasa.
Tentu saja, satu penyebutan itu akan cukup bagi orang lain di sekolah untuk melihatnya sebagai salah satu tipe delusi mengerikan yang mempercayai fantasinya sendiri, itu sudah jelas. Itu sudah terbukti dua setengah tahun yang lalu.
Kehidupan untuk anak perempuan terpusat pada menjaga citra dan reputasi yang baik di antara kelompok sebayanya, lebih dari anak laki-laki. Mitsuki sudah merasa kewalahan karena harus menanggung tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya.
“Umm, jadi tentang Tama-chan, apa kau tahu dia menyukai Ikeda-kun?” Tanya Ruri.
"Hah?" Mitsuki memiringkan kepalanya. “Mengapa kau mengubah topik pembicaraan? Ikeda-kun, maksudmu yang ada di kelas kita? ”
Ada seorang anak laki-laki dengan nama belakang Ikeda di kelas mereka, dan Tama-chan adalah nama panggilan salah satu anak perempuan di lingkaran pertemanan mereka. Mitsuki agak bingung dengan topik yang tampaknya tidak berhubungan.
“Yup, yang itu,” jawab Ruri.
“Wooow, benarkah? Aku tidak tahu. Huh … Baiklah, aku akan mendukungnya, kalau begitu!"
“Tapi, ternyata Ikeda-kun memiliki perasaan kepadamu, Mitsuki.”
“Apa— Hah ?! Eeeeehhhhh ?! Itu masalah! Itu masalah besar!”
“Ya, begitulah, jadi itulah mengapa aku mengambil inisiatif dan memastikan semua orang mendengar bahwa sudah ada seseorang yang kau sukai."
"Oh ..." Titik-titik itu akhirnya terhubung di kepala Mitsuki.
Jadi itulah mengapa, selama percakapan saat makan siang itu, Tama-chan yang berbicara paling keras, mengatakan hal-hal seperti,
“Ohhh, teman masa kecil yang pernah kudengar rumornya? Kau pasti menyukainya!"
"Kau bekerja sekeras ini demi seorang anak laki-laki yang pergi begitu jauh ... Hee hee, Mitsuki, kau benar-benar jenis yang setia dan tulus, bukan?"
Dia melakukannya agar dia bisa memastikan Ikeda-kun akan mendengarnya, dan mudah-mudahan menyerah pada Mitsuki.
Ruri melanjutkan, “Kau kadang-kadang agak tidak sadar jika menyangkut hal-hal seperti ini, Mitsuki. Aku sangat mengkhawatirkanmu."
“...Terima kasih, Ruri-chan.”
"Sama-sama. Tidak ada yang suka ditolak, tapi aku juga tahu harus menolak seseorang juga terasa tidak nyaman..”
"Ya." Mitsuki mengangguk dengan patuh. Dia mengerti bahwa ini belum semuanya.
Ruri tidak hanya melindungi Mitsuki dari urusan perasaan Ikeda-kun, tapi juga dari perasaan Tama-chan. Terlebih lagi, dia telah melindungi keharmonisan seluruh kelompok pertemanan mereka.
Jika Ikeda-kun benar-benar menyatakan perasaannya kepada Mitsuki, tidak peduli apakah dia menerima atau menolaknya, itu masih akan memperburuk kesan Tama-chan terhadapnya, dan bahkan mungkin telah merusak suasana di dalam lingkaran mereka.
Mitsuki bergidik saat menyadari bahwa dia telah berjalan di ladang ranjau sosial tanpa menyadarinya.
Tidak ada yang serapuh dan tidak dapat diandalkan seperti persahabatan seorang wanita ketika urusan cinta dilibatkan.
“Sejujurnya, aku tidak percaya pria itu, meninggalkan teman masa kecil yang manis, baik, dan membuatnya dalam kesusahan seperti ini,” kata Ruri dengan marah. "Cepat kembali kesini atau kupukul pantatmu!" Ruri menghantamkan tinjunya ke telapak tangannya yang lain.
Dia tidak menyebut namanya, tapi tak perlu dikatakan siapa yang dia bicarakan. Dari bahasa tubuhnya, ia tampak lebih dari siap untuk memberinya satu pukulan jika orang itu berhasil kembali.
“Hei, Yuu-kun sedang melakukan semua yang dia bisa untuk menemukan jalan pulang, jadi jangan katakan hal seperti itu!” Mitsuki berseru.
“Ya, aku tidak begitu yakin. Bagiku lebih seperti dia menjalaninya dengan sekelompok gadis manis di sekelilingnya. Hmph! ” Lalu, Ruri mengangkat hidungnya dengan jijik.
Ruri adalah satu-satunya orang yang Mitsuki bagikan informasi tentang situasi Yuuto saat ini. Dulu ketika insiden pertama kali terjadi, tidak ada orang dewasa yang akan mempercayai cerita Mitsuki, tetapi Ruri telah mendengarkannya dengan serius dan percaya bahwa dia mengatakan yang sebenarnya.
Sejak saat itu, Ruri menjadi teman terdekat dan terpercaya Mitsuki.
"Ah ha ha... Aku menyuruh dia mengirimiku foto semua orang, dan ... memang benar, semuanya sangat cantik, kau tahu." Setelah sedikit tertawa kering, Mitsuki tenggelam dengan ekspresi suram.
Yuuto selalu bersikeras bahwa mereka tidak lebih dari Saudari dan Anak perempuannya dalam Klan, tapi bagi seorang gadis muda yang sedang jatuh cinta, itu masih merupakan sumber kekhawatiran.
"T-tapi ... aku percaya pada Yuu-kun!" Mitsuki menambahkan dengan cepat.
“Meskipun kalian berdua belum benar-benar mengaku perasaan kalian satu sama lain?”
“Urk!”
Kata-kata Mitsuki tersangkut di tenggorokannya, saat Ruri melukai bagian vital.
Baik atau buruk, Ruri adalah tipe gadis yang selalu mengatakan apa yang ada di pikirannya saat itu juga.
"Y-yah, itu... itu karena dia akan memberitahuku saat dia pulang... aku cukup yakin akan hal itu."
Bahkan hanya dengan berbicara dengan Yuuto melalui telepon, Mitsuki telah menyadari bagaimana perasaannya yang sebenarnya terhadapnya. Dan dia juga bisa tahu bahwa pria itu menahan dirinya, dengan sengaja menghindari mengatakan sesuatu yang pasti tentang subjek itu.
Dia adalah teman masa kecilnya, Mitsuki tahu seberapa kuat rasa tanggung jawabnya. Dia mungkin menahannya demi Mitsuki, tidak ingin mengikatnya ketika dirinya tidak memiliki jaminan bahwa dia akan bisa kembali ke dunianya.
Dia tahu itulah caranya melakukan apa yang menurutnya benar dan bertanggung jawab, tetapi itu juga membuat rasa frustrasi dan tidak sabar.
“Tapi apakah dia akan memberitahumu?” Ruri menatap Mitsuki dengan pandangan ragu. “Orang itu memiliki pola pikir kuno, bukan? Pria Jepang kuno, seperti, sangat pemalu dalam hal perasaan mereka. Ambil contoh almarhum kakekku, misalnya. Ternyata dia hanya pernah memberi tahu nenekku bahwa dia mencintainya sekali, dan itu terjadi di ranjang kematiannya."
"Yah, aku masih berpikir bahwa mereka adalah pasangan yang sangat bahagia dengan caranya sendiri," jawab Mitsuki. Dari sudut pandangnya, fakta bahwa mereka telah tinggal bersama selama beberapa dekade, masih bisa saling mencintai sampai akhir, sungguh indah dan romantis.
“Aku tidak mengerti. Sampai sekaranpun nenekku masih banyak mengeluh tentang hal itu. Seperti, 'Jika kau memang ingin mengatakannya, katakan lebih awal!' atau semacamnya. ”
"O-oh, begitu." Mitsuki menjadi tegang, tidak bisa berkata banyak lagi. Pada akhirnya, kenyataan terkadang kejam.
Di sisi lain, karena nenek Ruri ingin suaminya mengatakan padanya bahwa dia lebih mencintainya, orang bisa mengartikan bahwa dia selalu mencintainya, jadi pada akhirnya mereka tetaplah pasangan yang bahagia.
“Lalu ada cerita yang sangat terkenal tentang penulis Natsume Sōseki, dimana salah satu muridnya menerjemahkan frase bahasa Inggris 'I love you' ke dalam bahasa Jepang, dan dia ...”
“Ohh, aku tahu yang itu! Dia menyuruh muridnya untuk menerjemahkannya sebagai 'Bulan itu Cantik,' kan?”
"Benar, benar. Dia pada dasarnya berkata, 'Kau pikir orang Jepang akan pernah mengatakan hal yang memalukan seperti itu secara langsung ?!' ”
"Ughhh, sekarang aku mulai merasa Yuu-kun tidak akan mengaku kepadaku, bagaimanapun juga..." Sekali lagi, wajah Mitsuki dibayang-bayangi oleh kesuraman dan bahunya terkulai depresi.
“Kalau begitu, kenapa tidak kau yang beritahu dia terlebih dahulu?” Tanya Ruri.
"A-apaaa ?!"
“Apakah itu tindakan yang mengejutkan? lusa nanti Natal. Ini adalah kesempatan yang sempurna, bukan?”
“Um, ya. Ya, kau benar, tapi, um..." Mitsuki mulai terbata-bata, menunduk saat wajahnya berubah merah padam.
Sekarang setelah sepatu itu berada di kaki yang lain, dia bertanya-tanya apakah tidak masalah baginya untuk mengikat Yuuto ketika tidak yakin apakah mereka akan bertemu lagi. Dan dia bertanya-tanya apakah gadis-gadis seperti Felicia dan Linnea, yang sebenarnya bisa berada di sana bersamanya, akan menjadi pasangan yang lebih cocok untuknya. Pikiran yang mengganggu itu membuat hatinya terhenti.
Sebagai teman masa kecil yang tumbuh bersama, ini adalah salah satu cara di mana Yuuto dan Mitsuki memiliki hati yang sama.
"Menyedihkan. Kalau begitu, kurasa kita berdua akan mengalami Natal yang sepi tahun ini, ” kata Ruri sambil tersenyum pahit.
"Kita berdua? Tapi Ruri-chan, kau populer. Kau bisa punya pacar jika kau mau. ”
"Mm, ya, tapi aku tidak benar-benar menganggap anak laki-laki seusia kita begitu menarik, jadi..." Dengan jari di bibirnya, tatapan Ruri melayang ke angkasa, seolah-olah melihat sesuatu di benaknya. .
Kata-kata dan bahasa tubuh itu cukup untuk memberi petunjuk bagi Mitsuki.
Mitsuki melangkah mendekati Ruri dan mencondongkan tubuh ke depannya, berbalik untuk menatapnya dengan seringai kecil yang nakal. “Hmmmmm. Aku tahu."
“A-apa ?!”
“Kau sudah memiliki seseorang yang kau sukai. Seseorang yang lebih tua.”
"Urk." Sekarang giliran Ruri yang suaranya tercekat di tenggorokannya. Sial, dia mengetahuinya! tertulis diseluruh wajahnya.
Sudah menjadi sifat manusia untuk ingin menekankan lebih banyak detail dalam situasi seperti ini. Di seluruh dunia, di masa lalu dan sekarang, berbicara tentang cinta dan asmara adalah aktivitas favorit para gadis, tidak terkecuali Mitsuki.
"Aku tidak pernah tahu kau memiliki seseorang seperti itu dalam hidupmu, Ruri-chan," goda Mitsuki.
“I-itu tidak masalah! Lupakan aku! Saat ini kita sedang membicarakan dirimu, jadi— "
“Aww, jangan seperti itu. Kita berteman, bukan? Aku harap kau memberitahuku lebih banyak. "
“Dengar, itu tidak cukup menarik bahkan untuk diceritakan kepadamu, oke?”
"Aku bisa memutuskannya setelah kau memberitahuku."
"Urgh..." Ruri tidak mampu menahan tekanan dari tatapan intens Mitsuki, dan saat dia berjuang untuk memikirkan alasan untuk berhenti berbicara, dia mundur satu langkah, dan kemudian selangkah lagi.
Tanpa ragu, Mitsuki melangkah maju setiap kali itu terjadi.
Menyadari dia tidak bisa menang, Ruri mengalihkan pandangannya dan berbicara dengan gumaman ragu-ragu. “...Itu sepupuku yang lebih tua.”
“Ohh, jadi dia. Tapi aku tidak mengerti mengapa kau harus merahasiakannya. Sepupu bisa menikah di Jepang."
“Dia sudah punya pacar. Yang sangat cantik."
"Oh begitu. Jadi kau seperti terjebak membawa obor sekarang. "
<afronote : membawa obor (carrying a torch) = memendam perasaan secara rahasia kepada orang lain / cinta bertepuk sebelah tangan>
"...Ya."
“Yah, um, kau tahu, Ruri-chan, kau selalu mendengarkanku ketika aku merasa sedih atau saat mengeluh tentang berbagai hal. Jadi jika kau perlu mengutarakan sesuatu dari pikiranmu, bicara saja denganku, oke? Aku akan mendengarkannya."
"Ya baiklah. Terima kasih." Ruri tersenyum, tapi itu adalah senyuman kesepian yang kontras dengan gadis ceria nan energik seperti biasanya.
Aura di antara kedua gadis itu menjadi berat dan mereka berdua terdiam beberapa saat, satu-satunya suara adalah langkah kaki mereka di trotoar.
Tiba-tiba, Ruri mengangkat kedua tangannya ke atas dan berteriak ke arah langit. “Ah! Sikap menyedihkan semacam ini sangat diluar karakterku!"
Dia berbalik menghadap Mitsuki dan berteriak, "Mitsuki! Kau kosong saat Natal, kan?! ”
“Er, eh, ya, aku. Lagipula aku tidak punya siapa-siapa untuk diajak."
"Baiklah, kalau begitu, datanglah ke tempatku!"
"Hah?"
“Kak Saya ..., Sepupuku yang lebih tua, Saya, pulang dari luar negeri untuk pertama kalinya dalam setahun. Dan karena ini tepat waktunya untuk Natal dan liburan, kami berencana untuk mengadakan pesta besar. Jadi, kau juga harus ikut!”
"Um, t-tapi jika ini adalah pertemuan keluargamu, aku tidak yakin akan pantas bagiku untuk ..."
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Kak Saya juga membawa beberapa temannya. Ayolah! Lebih banyak orang, lebih meriah! ”
"Hmm, tapi, umm..." Mitsuki ragu-ragu, memikirkan apa yang harus dilakukan.
Dari awal dia bukanlah gadis yang dapat bersosialisasi dengan baik. Dikelilingi oleh sekelompok orang asing di sebuah pesta terasa seperti sesuatu yang akan membuatnya lelah.
`Aku berterima kasih atas undangannya, tapi…` Mitsuki sudah memikirkan cara yang sopan untuk menolak tawaran itu, tetapi saat dia akan mengucapkan kata-kata itu, sebuah pikiran melenceng muncul di benaknya. Tidak, lebih seperti kilatan inspirasi.
“H-hei, Ruri-chan. Sepupumu, Saya itu, dia benar-benar pintar, kan?”
“Er, ya, itu benar. Dia pintar+luar biasa+gila! "
“Jadi, um, aku hanya ingin tahu, tapi, apakah dia tahu sesuatu tentang, seperti, arkeologi atau sejarah kuno?”
Mitsuki tidak memiliki logika atau keyakinan tertentu yang mendorong pertanyaannya. Hanya saja pada malam sebelumnya, dia bertanya-tanya tentang asal mula cermin ilahi dari Kuil Tsukimiya, dan itu masih ada di pikirannya, jadi dia pikir bisa menanyakannya.
Tapi mungkin kata "kebetulan" telah diciptakan untuk tindakan naluriah semacam ini.
Karena, kebetulan, pertanyaan sederhana ini akan sangat menentukan nasib Mitsuki dan Yuuto.
Keesokan paginya, Mitsuki sudah dalam perjalanan untuk mengunjungi rumah keluarga Takao.
Dia mengira tidak akan ada banyak kesempatan untuk pembicaraan yang panjang dan serius di tengah pesta Natal. Tapi hari ini adalah kesempatan yang sempurna. Saat itu tanggal 23 Desember, hari libur nasional untuk merayakan ulang tahun Kaisar.
<afronote again : 23 Desember ultahnya Kaisar Akihito, Kaisar pas ni volume ditulis, kalo sekarang Kaisarnya udah ganti>
Saat Mitsuki dibawa ke ruang tamu, seorang wanita cantik dengan rambut pirang dan mata biru menyambutnya dengan lambaian ramah. Penampilannya cukup aneh dengan ruangan yang didekorasi dengan gaya klasik Era Showa Jepang.
"Selamat datang di rumah kami, Mitsuki-chan," kata wanita itu. “Namaku Saya Takao. Senang berkenalan denganmu."
Dia adalah sepupu Ruri, jadi secara alami wajahnya sangat mirip dengan sepupunya, tapi seperti yang diharapkan dari seorang wanita yang tujuh tahun lebih tua, ada aura pikat orang dewasa disekelilingnya, yang tidak pernah bisa ditiru oleh seorang gadis yang lebih muda. Dia adalah tipe wanita yang dimaksud dengan istilah `Cool Beauty`.
"U-um, senang bertemu denganmu," kata Mitsuki ragu-ragu. “Namaku Mitsuki Shimoya. Terima kasih telah menyempatkan waktu hari ini.”
Sedikit gugup, Mitsuki menundukkan kepalanya dengan sopan.
“Kau pasti kedinginan. Masuklah ke kotatsu dan buat dirimu nyaman."
“Y-ya, terima kasih.”
Menerima keramahan Saya, Mitsuki melepas dan melipat mantelnya, lalu duduk dan meletakkan kakinya di bawah selimut kotatsu.
Saya memandang Mitsuki dengan tenang sejenak, matanya berbinar karena tertarik, sebelum berkata, hampir dengan santai, "Jadi, kudengar teman masa kecilmu dikirim ke dunia alternatif masa lalu?"
"Ngh ...!" Mitsuki tidak menyangka ini, dan dia secara naluriah menoleh untuk melihat ke arah Ruri, yang duduk di sebelahnya.
Ruri mengangkat bahu, dengan sedikit tawa bersalah. Sepertinya dia sudah memberi tahu Saya beberapa dari cerita itu.
“Kau tidak percaya padaku, kan?” Kata Mitsuki, mendesah sedih.
Dia tahu itu aneh, setara seperti mencoba menggenggam sedotan untuk menyelamatkan diri saat tenggelam, tetapi kemungkinan mendapatkan petunjuk telah meyakinkannya untuk memberanikan diri dan datang ke sini hari ini. Namun keberanian itu sudah di ambang kehancuran.
Sepertinya yang terjadi sekarang, pandangan seperti melihat sesuatu yang menarik... dia mengalaminya berkali-kali sejak hari itu dua setengah tahun yang lalu, tapi dia tidak pernah terbiasa dengannya. Dari pengalamannya, pandangan seperti itu berarti orang lain tidak akan menganggapnya serius, dan pada akhirnya dia hanya akan merasa sakit hati.
"Ahhh, tidak, tidak, jangan langsung mengambil kesimpulan," kata Saya cepat.
“Tidak, tidak apa-apa. Bahkan aku tahu betapa tidak masuk akal kedengarannya."
Setelah dua setengah tahun ini, Mitsuki terbiasa dengan pengetahuan bahwa tidak ada yang akan mempercayainya. Polisi, orang dewasa di sekolahnya, teman sekelasnya, orang tua dan kakek neneknya... tidak satupun dari mereka akan menganggapnya serius. Ruri, dan satu orang lainnya, adalah satu-satunya pengecualian.
Meminta seseorang untuk memercayai cerita tentang seorang gadis yang baru saja mereka temui benar-benar tidak masuk akal, Mitsuki mengerti itu sendiri.
"Tidak, kau benar-benar salah," kata Saya. "Hanya saja aku berpikir, 'Ahh, aku memiliki ketertarikan untuk terlibat dalam hal semacam ini...' Itulah satu-satunya alasanku bereaksi seperti itu."
“Sebuah...ketertarikan untuk terlibat?” Mitsuki menatap kosong ke arah Saya, yang terkikik pada dirinya sendiri seolah mengingat sesuatu dari masa lalu.
"Ya, itu sekitar empat tahun yang lalu sekarang ... Yah, banyak yang terjadi."
"Um, begitu ..."
“Ngomong-ngomong, ceritaku tidak penting sekarang. Kita di sini untuk membicarakan tentang temanmu yang terjebak di masa lalu, bukan? Jadi, apakah kau pernah mendengar istilah 'OOPArts' sebelumnya? ”
Mitsuki mengangguk. “Ya, itu adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan objek yang tidak sesuai dengan peradaban di zaman tersebut. Itu seharusnya tidak mungkin dibuat dengan menggunakan pengetahuan atau teknologi budaya pada saat itu. Hal-hal seperti tengkorak kristal terkenal itu. OOPArts adalah singkatan dari bahasa Inggris 'out-of-place artifacts,' benar?”
Sejak Yuuto dikirim ke Yggdrasil, Mitsuki telah melakukan sejumlah penelitian sendiri. Ini adalah satu subjek yang pasti dia ketahui.
Bagaimanapun juga, Yuuto telah, dan masih, terus menerus menciptakan fenomena seperti itu di dunia masa lalu.
"Mm-hm, itu benar," kata Saya. “Itu benar sekali. Jadi, cukup mengherankan, dalam arkeologi, hal-hal itu jauh lebih umum daripada yang kau kira. Ambil contoh orang Sumeria di Mesopotamia kuno. Sepertinya mereka muncul entah dari mana, hanya untuk menciptakan peradaban tingkat tinggi yang anehnya jauh lebih maju daripada standar untuk era itu. Itu salah satu misteri terbesar dalam arkeologi saat ini. Tentu saja, jika seseorang dari masa depan entah bagaimana telah dibawa pergi ke masa lalu, itu akan membuat segalanya menjadi jelas."
“Jadi, kau akan percaya padaku?”
“Aku belum bisa menjamin itu, jujur. Tetapi aku dapat memberi tahumu sekarang bahwa aku tidak akan dengan keras kepala menolak ceritamu begitu saja, hanya karena tidak terdengar logis secara ilmiah.” Suara Saya serius dan tulus, dan dia menatap lurus ke mata Mitsuki lalu lanjut berbicara. “Jadi, bisakah kau memberitahuku secara detail? Kurasa aku tidak mendapatkan semua informasi yang relevan hanya dengan mendengarnya dari Ruri. Setelah mendengar keseluruhan cerita dari dirimu langsung, maka akan kuputuskan apakah bisa kupercayai atau tidak.”
"Terima kasih... terima kasih banyak," kata Mitsuki. Tanggapan saya yang tulus dan jujur memberi kesan yang baik padanya.
Jika Saya dengan mudah menyatakan bahwa dia mempercayai cerita itu, maka Mitsuki akan berasumsi, berdasarkan pengalaman masa lalunya, bahwa Saya hanya mengatakan itu untuk menyelesaikan pembicaraan. Tentu saja, Mitsuki tahu tidak adil baginya untuk berpikir seperti itu.
"Oke, jadi pertama... Hmm, ya," kata Saya. “Mulailah dengan memberi tahuku tentang apa yang terjadi pada malam pertama itu, ketika kau melakukan uji keberanian itu.”
"Baik. Jadi pada malam itu..."
********
“Hmm, dunia di Zaman Perunggu, yang disebut Yggdrasil. Hmmmmm… ” Saya bergumam pada dirinya sendiri tenggelam dalam pikirannya, satu tangan di dagunya.
Adapun Ruri, dia sedang tertidur, dengan bantalan duduk sebagai bantal dan bagian bawah tubuhnya di dalam kotatsu yang hangat.
Sudah lewat tengah hari ketika Mitsuki tiba di kediaman Takao, tapi langit biru di luar sudah berubah menjadi warna biru yang lebih gelap.
Sesuai dengan kata-katanya, selama beberapa jam Saya telah mendengarkan seluruh cerita Mitsuki dengan serius - bahkan dengan antusias. Beberapa kali dia menghentikannya untuk bertanya atau meminta detailnya lebih lanjut.
Bagi Mitsuki, itu saja sudah cukup untuk membuatnya hampir menangis.
Mitsuki bersumpah pada dirinya sendiri bahwa meskipun dia tidak menemukan petunjuk yang dia cari, dia akan berterima kasih pada wanita ini. Tidak hanya dalam kata-kata, tetapi dengan sesuatu yang dipikirkan dengan baik yang mengungkapkan perasaan syukurnya.
"Ini terlalu detail dan disempurnakan hanya untuk cerita yang dibuat oleh seorang siswi SMP," kata Saya.
“Itu terutama berlaku untuk semua detail kecil tentang kehidupan sehari-hari bagi orang-orang di dunia itu.”
Tepat setelah mengucap syukur di dalam hatinya, Mitsuki tiba-tiba merasa seperti dijatuhkan dari tebing.
“Aku - aku tidak mengada-ada! Itu sungguhan, jadi percayalah padaku!" dia memohon dengan air mata di matanya.
Saya tertawa mendengar ini dan mengangkat bahu. "Ya, ya aku tahu. Bisa katakan aku yakin kau tidak mengada-ada."
"Oh terimakasih banyak!!" Kegembiraan menyebar di wajah Mitsuki, dan dia menundukkan kepalanya ke Saya berulang kali. Berbicara secara emosional, dia siap untuk mulai memanggilnya `Kakak`.
"Tapi... maafkan aku," Saya melanjutkan dengan nada penyesalan. "Aku masih belum bisa bilang aku tahu ke mana atau pada masa apa teman masa kecilmu dikirim."
"Oh, begitu," kata Mitsuki, bahunya terkulai. Rasanya hari ini seperti roller-coaster penuh dengan kegembiraan dan kekecewaan.
Saya dengan serius mengetukkan jarinya di atas meja kotatsu. “Hmm, ada beberapa kata yang muncul dalam mitologi Norse kuno, tapi di banyak tempat kata itu agak 'berbeda' dari mitologi Norse yang aku tahu.”
“Yuu-kun mengatakan hal yang sama padaku. Dia mengatakan bahwa ketika dia mencoba menelitinya, itu sama sekali tidak berguna sebagai referensi. ”
"Benar, tapi tetap saja, ada beberapa hal yang menarik perhatian."
"Menarik?"
"Iya. Misalnya, temanmu ini disebut Hróðvitnir, yang berarti 'Serigala Jahat Terkenal', sebagai semacam julukan, bukan? ”
“Um, ya, itu benar. Apakah ada sesuatu yang penting tentang itu?”
"Itu salah satu nama alternatif untuk Fenrir."
"...Hah?!" Bahkan Mitsuki pernah mendengar nama itu. Itu adalah serigala mengerikan yang diramalkan suatu hari akan melahap pemimpin dewa Norse, Odin. Itu adalah salah satu nama besar paling terkenal dalam mitologi Norse.
“Dan kemudian, ada penguasa Klan Petir, yang memiliki rune bernama Megingjörð dan Mjǫlnir, masing-masing 'Belt of Strength' dan 'Shatterer'. Dia benar-benar menyerupai dewa pertempuran Norse, Thor. Temanmu mengalahkannya dengan banjir bandang dengan menggunakan strategi 'karung pasir' Tiongkok kuno, kan?”
“Umm, aku pikir begitu. Setidaknya, aku ingat dia bilang dia menyebabkan banjir besar untuk mengalahkannya." Mitsuki ingat detail dasar dari taktik tersebut, tetapi bukan nama historisnya.
“Dalam mitologi Norse, ada ular raksasa bernama Jörmungandr yang bertarung melawan Thor tiga kali. Dalam Prosa Edda Snorri Sturluson, ada sebuah kisah tentang bagaimana pada akhir zaman, Ragnarök, Jörmungandr menutupi tanah dengan Banjir Rob besar. ”
“A-apa?!” Mitsuki terbelalak saat nama terkenal lainnya disebut.
Dalam benaknya, sangat sulit untuk menghubungkan teman masa kecil yang dia kenal selama ini dengan dongeng dewa dan monster mistis. Rasanya seperti tidak nyata.
"Ah, itu mengingatkanku, kau tidak pernah memberitahuku nama lengkapnya, bukan?" Saya bertanya.
"Oh maaf!" Mitsuki menyadari bahwa dia tidak menyebutnya sebagai apapun selain 'Yuu-kun'.
Sebelum gadis yang kebingungan itu bisa mengucapkan sepatah kata pun, Saya mengangkat tangan untuk menghentikannya, dan tersenyum nakal. "Tunggu. Aku akan membuat sedikit prediksi. Hanya tebakan, tapi dalam urutan Jepang, nama keluarga lebih dulu, apakah itu dimulai dengan suku kata 'S' dan diakhiri dengan suku kata 'T'? ”
<EDN: Suku kata yang dimasksud itu Su dan To>
"Hah?! Y-ya, itu benar, ia bernama 'Suoh Yuuto,' tapi, b-bagaimana kau tahu itu?”
“Ahhh, ya, pasti seperti itulah namanya.” Saya mengangguk puas pada dirinya sendiri.
"Um ...?"
“Oh, hanya saja dengan Fenrir, Jörmungandr dan Ragnarök di sebutkan, kupikir itu mungkin nama berikutnya yang muncul.”
“Er, apa maksudmu?” Mitsuki merasa dia benar-benar tidak paham.
“Yah, Yuuto-kun orang Jepang, kan? Jadi, kecuali dia setengah Jepang sepertiku atau semacamnya, itu berarti dia memiliki rambut dan mata hitam. ”
"Oke..." Mitsuki memiringkan kepalanya, tidak sepenuhnya yakin bagaimana semua ini terhubung.
Saya terkekeh. “Jadi, menurut mitologi Norse, di akhir zaman Ragnarök, ada raksasa tertentu yang muncul, dengan nama berarti 'Si Hitam'.”
“Oh! Raksasa macam apa itu? A-apakah itu salah satu nama yang lebih terkenal?”
"Ya. Ini sama terkenalnya, kupikir. Berdasarkan ramalan, selama Ragnarök, dia akan tiba memimpin pasukan Múspell dengan menunggangi kuda, menyeberangi jembatan melintasi surga yang dikenal sebagai Bifröst, menyerang wilayah para dewa, Asgard, dan terus membakar kesembilan Dunia ...”
"Ah... ahhh!" Akhirnya, Mitsuki mengingat nama raksasa itu juga. Itu adalah sosok mitos yang bahkan lebih besar dan lebih kuat dari Fenrir atau Jörmungandr.
Melihat pengakuan di mata Mitsuki, Saya mengangguk dengan serius, dan mengucapkan nama itu dengan keras.
"Benar. Dia adalah Surtr.”
“Mungkin seiring berjalannya waktu, nama 'Suoh Yuuto' salah diucapkan atau rusak dalam penceritaan kembali, dan menjadi Surtr,” kata Saya. “Hmm, dan dengan alasan yang sama, nama keluarga Mitsuki-chan, Shimoya memiliki kemiripan dengan nama istri Surtr, Sinmara, setidaknya dalam ejaan alternatif Sinmora. Mengingat hal itu, ada beberapa baris dari puisi Fjölsvinnsmál yang cukup menarik.
'Lævatein ada di sana, Loptr dengan rune yang dibuat dari pintu kematian; Di Dada Laegjarn’s yang Diletakkan Sinmora, dan sembilan kunci mengikatnya dengan kuat.' Haruskah kita berasumsi bahwa 'Lævatein' mengacu pada pedang, nihontou, atau metafora yang mengacu pada pengetahuan sains modern itu sendiri? ”
Saya bergumam sendiri tanpa henti, mempelajari beberapa teori yang berbeda.
Dia sangat mirip dengan sarjana pada umumnya, saat dia tenggelam dalam pikirannya sendiri, dia sepertinya mengabaikan semua orang dan segala sesuatu di sekitarnya.
Yang mana tidak akan membantu Mitsuki.
"Permisi!" dia memanggil Saya, suaranya terdengar cukup bermasalah. “O-oh, maaf. Apa itu?" Saya sepertinya kembali, dan melihat ke atas.
"Jadi, um, ini semua agak membingungkan, dan aku tidak yakin aku benar-benar mengerti apa yang terjadi," kata Mitsuki. “Apa maksudmu Yuu-kun, seperti ... sedang menjalani kisah mitologi Norse?”
Terus terang, ini semua di luar bidangnya.
Sayangnya, dia tidak dapat menyangkal bahwa dia telah lalai melakukan penelitian yang lebih rinci ke dalam mitologi Norse. Bagaimanapun juga, penemuan awal bahwa ada perbedaan besar antara benda-benda di dunia Yggdrasil dan benda-benda di mitologi Norse, dan hal itu membekas padanya.
Dan kemudian ada fakta bahwa waktu Mitsuki pada awalnya cukup terbatas.
Untuk mendapatkan izin bekerja paruh waktu mengantarkan koran, salah satu syarat yang harus dia penuhi adalah memastikan nilainya tetap dan tidak pernah turun. Dan ditahun ketiga, dia harus mengikuti ujian masuk SMA selain pekerjaan rumahnya yang biasanya. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan Yuuto secara khusus untuk mendukungnya.
Yuuto memiliki lebih sedikit waktu, paling banyak tiga puluh menit setiap hari. Agar dia bisa bertahan di dunia lain yang keras itu, mereka berdua harus fokus pada hal-hal paling praktis dengan waktu terbatas.
"Mm ... tidak seperti itu," kata Saya. “Bisa dibilang itu lebih seperti dia menciptakan peristiwa mitos dan puisi yang diceritakan dikemudian hari.”
"Menciptakan...?"
“Teori yang berlaku saat ini, mitologi Norse yang kita kenal berkembang di Eropa utara sekitar 1000 SM dan kelahiran Kristus. Sekarang, kau bilang ke era apa Yuuto-kun dikirim? ”
“Um, kami tidak yakin, tapi dia bilang itu mungkin sekitar 1500 SM kira-kira... oh. Itu jauh sebelum mitos tersebut terbentuk ... "
<EDN: FYI, tahun sebelum masehi (SM) semakin besar angkanya berarti semakin lama, jadi 1000 SM >> 1500 SM>
Mitsuki menyadari bahwa ini adalah titik buta lain baginya. Mitos dan legenda membawa citra keberadaan dari zaman yang sangat kuno, meskipun masih hadir di zaman modern sebagai pengetahuan dan sebagai bagian dari budaya pop. Ia hanya merasa bahwa itu adalah hal yang sudah ada, jadi dia tidak terlalu memikirkan asal-usulnya.
“Ada cukup banyak kasus di mana mitos dan dongeng memiliki peristiwa sejarah sungguhan atau orang-orang sebagai dasar elemen cerita mereka,” kata Saya. “Salah satu contoh paling terkenal adalah kota Troya yang legendaris, yang muncul dalam mitologi Yunani. Dan dalam cerita rakyat Jepang, ada cerita tentang Momotaro, bukan? Jika kau melacaknya kembali, ada satu teori yang didasarkan pada peristiwa selama Periode Yamato, ketika pemerintahan Yamato berperang dan menaklukkan saingannya Kerajaan Kibi."
“W-wow, benarkah ?!” Sangat mengherankan bahwa dongeng klasik Momotaro memiliki sejarah seperti itu di baliknya.
Untuk beberapa alasan, Mitsuki teringat saat Yuuto baru saja masuk SMP. Dia berkata padanya, "Kau tahu kisah Momotaro dari zaman Edo? Dia tidak lahir dari buah persik, dia lahir ketika pria dan wanita tua itu memakan buah persik dan membuat ‘keributan’, jika kau tahu apa artinya itu."
<EDN: Yep, keributan yang penuh dengan kebahagiaan>
Dia masih bisa mengingat dengan jelas betapa malunya dia, dan bagaimana Yuuto menikmati membuatnya tersipu seperti itu.
"Hmm, ini mungkin hanya kebetulan, tapi aku melihat beberapa kesamaan antara cerita itu dan apa yang terjadi dengan Yuuto-kun sekarang," kata Saya. “Begini, ada hipotesis tentang awal mula Oni (Iblis) dalam cerita Momotaro: Raksasa yang dia lawan mungkin didasarkan pada orang asing dari luar negeri yang menetap di wilayah itu dan berbagi dengan orang-orang Kerajaan Kibi teknologi canggih seperti senjata besi dan pembuatan kapal. Sebagai bukti, di daerah yang dulunya adalah Kibi - sekarang di Prefektur Okayama - ada tempat di mana Ura, raja Oni dari dongeng, menjadi sosok yang dihormati.”
“W-wow, benarkah? I-itu benar, itu memang seperti—" Mitsuki tiba-tiba berhenti, saat menyadarinya:
Semua Oni telah dikalahkan pada akhirnya. Begitulah yang terjadi dalam dongeng... dan dalam sejarah dasar mereka.
Dalam sekejap, gigi Mitsuki mulai bergemeletuk, dan dia memeluk tubuhnya sendiri untuk mencoba menekan terornya.
"A-ada apa, Mitsuki-chan ?!"
“F-Fenrir dan Jörmungandr, bukankah mereka berdua pada akhirnya terbunuh?!” Mitsuki tidak dapat mengingat bagaimana mereka mati atau siapa yang membunuh mereka, tetapi dia ingat bahwa paling tidak, mereka tidak termasuk barisan yang selamat setelah Ragnarök.
Karena panik, dia menyalakan Smartphonenya dan melakukan pencarian online untuk "Surtr". Dalam kisah Ragnarök yang dirincikan dalam puisi Gylfaginning, namanya tidak termasuk dalam daftar mereka yang selamat dan menyebabkan getaran tubuhnya tak terkendali menjadi semakin parah.
“Di-dia akan mati! Yuu-kun akan mati kalau terus begini! Aku - aku harus membantunya! Aku harus melakukan sesuatu...!"
Dengan teriakan, Mitsuki berdiri, tidak bisa terduduk diam lagi karena panik.
Tapi begitu dia bangun, dia menyadari dia tidak tahu harus berbuat apa, dan berdiri di sana, membeku di tempat.
Gelombang ketakutan terus melanda dirinya, dan tidak mampu menahannya, dia mulai mencengkeram dan menarik rambutnya sendiri.
"M-Mitsuki-chan, tenanglah!" Saya berseru.
“T-tapi ... tapi ...! Tapi dia ...! ”
"Tenang! kau mengatakannya sendiri sebelumnya, bukan?! Ada perbedaan besar antara mitos dan kenyataan!"
“Ah… i-itu benar! Itu benar, bukan berarti Yuu-kun akan mati! Ya, itu tidak seperti itu. Itu bukan hitam diatas putih. Itu bukan hitam diatas putih…" Mitsuki terus mengulangi kata-kata itu berulang kali, mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri.
<EDN: Hitam diatas putih itu istilah untuk mengungkapkan sesuatu yang sudah pasti>
Tapi kecemasan yang menyelimuti hatinya tidak menunjukkan tanda-tanda menghilang.
“Hei, maafkan aku.” Saya menundukkan kepalanya ke Mitsuki untuk meminta maaf. “Aku seharusnya membantu, tetapi sepertinya aku hanya memberi lebih banyak hal yang perlu dikhawatirkan.”
Matahari telah terbenam saat mereka asyik mengobrol. Di luar rumah sudah benar-benar gelap, kecuali area kecil yang diterangi oleh lampu dan sedikit cahaya yang keluar dari jendela ruang tamu.
"Jadi, um, mari kita lihat," kata Saya. “Mitologi Nordik sebagian besar merupakan cerita lisan, jadi hampir semua catatan tertulis yang kita miliki tentangnya hari ini hanya dapat ditelusuri kembali sampai sekitar abad ke-13. Dan terlebih lagi, mulai sekitar abad ke-11, terjadi konversi yang meluas ke agama Kristen di wilayah tersebut, dan itu sangat memengaruhi segalanya. Ada banyak hal yang berubah dari waktu ke waktu, dan apa yang kita miliki sekarang belum tentu cocok dengan aslinya, bukan? Tidak ada yang bisa mengetahui dengan pasti apa yang benar dan apa yang salah lagi. Itulah mengapa kau tidak boleh putus asa.”
"Kau benar," kata Mitsuki penuh dengan terima kasih. "Terima kasih banyak."
“Ketika mitos berbicara tentang Ragnarök, mereka mengatakan bahwa ini adalah waktu di mana semua segel, belenggu, dan ikatan akan menghilang, dan mereka yang telah ditahan atau dipenjara akan dibebaskan. Orang bisa menafsirkannya sebagai kabur, dan pulang ke rumah."
"...Baik." Mitsuki mengangguk dalam-dalam, mengingat kata-kata itu.
Dia tahu bahwa kata-kata itu sebagian besar ditujukan untuk menghiburnya, tetapi dia juga mengerti bahwa itu bukanlah kebohongan. Seperti yang Saya katakan, masih ada harapan. Mitsuki mencoba untuk menahannya dan meningkatkan semangatnya.
Memang benar bahwa kekhawatirannya telah tumbuh, dan sekarang rasa menggigil yang mengganggunya bukan hanya karena dinginnya bulan Desember, tetapi dia masih senang atas apa yang dia dengar hari ini, dari lubuk hatinya.
Mengetahui apa yang mungkin terjadi di masa depan lebih baik, karena akan lebih mudah untuk membuat rencana yang sesuai.
Sangat mungkin bahwa dalam waktu dekat, di masa depan Yuuto, krisis berbahaya menunggunya tidak seperti apapun yang dia hadapi sejauh ini. Namun, mengetahui tentang itu sekarang akan memberi Yuuto waktu untuk melakukan tindakan balasan, dan bersiap secara mental untuk krisis seharusnya meningkatkan kemampuannya untuk bereaksi dan beradaptasi dengannya.
"Aku juga akan menyelidiki beberapa hal," kata Saya. “Lagipula, kita masih belum tahu lokasi persisnya atau periode waktunya.”
"Aku menghargainya."
“Mm-hm. Nah, kalau begitu, berhati-hatilah dalam perjalanan pulang, oke? ”
"Baik. Terima kasih banyak telah meluangkan waktu untuk berbicara denganku sampai larut malam.” Mitsuki membungkuk dalam-dalam, dan berbalik meninggalkan kediaman Takao.
"Ah, tunggu, Mitsuki!" Ruri memanggil. “Aku akan mengantarmu pulang. Aku ingin berbicara denganmu sedikit. ”
Ruri buru-buru mengikuti Mitsuki.
Berdampingan, mereka berdua berjalan di sepanjang jalan malam yang gelap.
Di pedesaan seperti ini, malam hari penuh dengan kebisingan dari serangga selama musim semi dan musim gugur, dan katak di musim panas. Tapi di musim dingin, jauh lebih sunyi. Satu-satunya gangguan terhadap keheningan adalah sesekali teriakan samar burung malam hari dari hutan pegunungan di dekatnya.
"Aku bisa mengerti kenapa kau terus membual tentang dia, Ruri-chan," kata Mitsuki, memecah kesunyian. “Saya-san luar biasa. Berbicara dengannya sangat membantu. ”
“Er, ya, Benarkan?” Ruri tersenyum, tapi dengan cara yang terlihat agak kaku.
Dia seharusnya tidur nyenyak sepanjang waktu dan melewatkan percakapan Mitsuki dan Saya, tetapi tampaknya dia bisa menyimpulkan dari suasana di antara mereka bahwa itu bukan percakapan yang menyenangkan.
“Mm? Oh ... " Mitsuki merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya, dan saat dia melihat ke atas, dia melihat serpihan putih halus yang tak terhitung banyaknya beterbangan dari kegelapan di atas, pemandangan yang megah sejauh mata memandang. "Turun salju ..."
“Wah, kau benar. Ini mungkin tahun ketiga berturut-turut kita mendapatkan Natal Bersalju." Ruri terkikik dan mengulurkan tangannya untuk menangkap beberapa serpihan salju.
Di masa lalu, daerah itu sering bersalju pada musim dingin, tetapi mungkin karena perubahan iklim global, curah salju semakin berkurang dalam beberapa tahun terakhir.
Ruri menambahkan, "Oh, berbicara tentang Natal, aku baru saja mendapat SMS dari Tama-chan."
"Oh?"
“Dia menembak Ikeda-kun dan mengajaknya kencan, dan Ikeda-kun setuju.”
“Huuuhhh ?!” Mitsuki tidak bisa menahan keterkejutannya.
Tama-chan adalah temannya, jadi tentu saja kesuksesan asmara adalah sesuatu yang ingin dirayakan dengan tulus oleh Mitsuki.
Namun, dia baru diberitahu kemarin bahwa Ikeda-kun memiliki perasaan padanya. Bukankah ini terlalu cepat dan mudah untuk perubahan hati seperti itu?
Dia tidak punya perasaan apapun untuk Ikeda-kun, tentu saja. Faktanya, dengan ini, kesannya tentang pria itu menurun. Tapi apakah perasaan cinta terhadap seseorang benar-benar sesuatu yang bisa berubah dengan mudah? Itu meninggalkan keraguan yang melekat dan menggantung seperti awan di benaknya.
“Secara halus pastikan dia mendengar bahwa Mitsuki sudah memiliki seseorang yang dia sukai, lalu tepat ketika dia sedang patah hati dan rentan, kau menyelinap masuk dan bergerak. Kau wanita sejati, Tama-chan.” Sebaliknya, Ruri tampak disibukkan dengan perasaan kagum. "Ya! Kau tahu, cinta itu tentang waktu! ”
Ruri mengepalkan tinjunya untuk menekankan maksudnya. Kemungkinan besar, itu adalah kalimat yang dia dapatkan dari majalah, atau dia dengar dari salah satu temannya. Lagipula, dia tidak pernah punya pacar.
Tetap saja, Mitsuki menyutujuinya.
"Ya kau benar." Dengan tangan di hatinya, Mitsuki mengangguk perlahan, seolah membalik kata-kata itu dengan hati-hati di benaknya. "Aku pikir juga begitu."
Mitsuki sudah menyadari perasaannya saat dia memasuki sekolah menengah. Dan Yuuto adalah teman masa kecilnya, seseorang yang telah bersamanya selama yang dia bisa ingat; dia juga punya gambaran tentang perasaannya padanya.
Dia berasumsi bahwa tidak akan ada kejadian yang mengejutkan atau dramatis seperti di acara TV atau manga. Sebaliknya, kasih sayang mereka yang hangat akan berkembang perlahan dan alami, dan mereka akan berakhir bersama. Secara bertahap, segalanya akan berkembang, sampai sebelum dia menyadarinya, dia akan berakhir sebagai pengantin Yuuto.
Itulah masa depan yang membosankan, lancar tetapi damai, seperti yang diharapkan Mitsuki, dan pada satu malam yang menentukan itu, harapan tersebut telah hancur, dan menghilang begitu saja.
Mereka berdua sekarang dipisahkan oleh jarak yang mustahil, hanya bisa mendengar suara satu sama lain, dan hubungan mereka membeku, terjebak dalam keadaan lebih dari teman dan kurang dari kekasih.
"Waktu ..." gumamnya. "Itu benar. Aku tidak boleh membiarkan kesempatan berlalu begitu saja. "
********
"Selamat Natal, Yuu-kun," kata Mitsuki ke telepon.
"Ini Malam Natal?" Suara Yuuto di sisi lain telepon cukup mengantuk.
Saat ini tengah malam, dan tanggalnya baru saja berubah menjadi tanggal 24. Tak perlu dikatakan bahwa Yuuto telah tertidur sampai beberapa saat yang lalu.
Mitsuki merasa sedikit sedih untuk membangunkannya, tetapi dia juga merasa bahwa malam ini dari semua malam dia pantas dimaafkan untuk itu. Lagipula...
“Yuu-kun, kau terlalu suka menanyakan detailnya.”
“Tidak, aku tidak,” katanya.
"Ini penting."
“Ohhh, benarkah? Baiklah."
Rupanya dia mengerti juga. Bahkan ketika dia mencoba untuk menjaga suaranya agar tidak terdengar peduli, dia dapat mengetahui bahwa sudut bibirnya mengarah ke atas.
Dia tidak tahu bagaimana keadaannya di negara-negara Barat, tetapi di Jepang, Hari Natal adalah hari yang biasa dihabiskan bersama keluarga, sedangkan malam Natal dianggap sebagai hari libur khusus untuk menghabiskan waktu bersama kekasih.
Itulah mengapa dialah yang meneleponnya malam ini.
Yuuto hanya memiliki waktu baterai yang sangat terbatas untuk ponselnya, jadi biasanya Mitsuki selalu menunggu dia untuk meneleponnya, sehingga dia tidak menghalangi apa yang harus dia lakukan.
Tapi kali ini, bahkan jika itu berarti membuatnya mendapat sedikit masalah, Mitsuki ingin memastikan bahwa dia adalah orang pertama yang diajak bicara Yuuto pada Malam Natal. Dia tidak ingin menyerahkan tempat itu kepada orang lain, apa pun yang terjadi.
"Jadi, ada apa" Yuuto bertanya. "Kau tidak akan memberitahuku bahwa kau menelepon dan membangunkanku di tengah malam hanya agar kau bisa mengatakan itu, kan?"
“Yhaaaaaa sebenarnya ...”
"Hei!" Dia berteriak dengan suara yang terdengar agak marah, tapi nadanya sama sekali tidak marah.
Mitsuki bisa membaca nuansa lembut ini seperti punggung tangannya. "Itu mengingatkanku, malam ini - ah, kurasa itu menjadi tadi malam sekarangーtadi malam, aku meneleponmu tapi tidak terhubung."
“Ah, aku pergi ke rumah temanku sebentar, jadi teleponku mati.”
"... Temanmu itu perempuan, kan?"
“Uh huh, Ruri-chan. Aku bersama dengannya dan sepupunya yang lebih tua, dan kami akhirnya benar-benar terlibat dalam obrolan sampai larut malam.”
"... Dan sepupu ini juga perempuan, kan?"
“Sepupunya sangat keren, Yuu-kun! Dan sangat pintar juga.”
"Itu tidak menjawab pertanyaanku, Mitsuki."
Beeep-beep! Beeep-beep!
Melalui gagang telepon, Mitsuki samar-samar bisa mendengar suara yang datang dari telepon Yuuto - nada peringatan mekanis dingin tanpa perasaan.
"Cih, baterai sudah habis," geram Yuuto. “Sialan. Itu karena aku mencari terlalu banyak barang tadi malam. Hei, Mitsuki, cepat beritahu aku apakah sepupu ini laki-laki atau perempuan!” Ada sesuatu tentang kecemasan dalam suaranya yang sangat menghibur.
Mitsuki tiba-tiba merasakan sesak yang luar biasa di dadanya. Mungkin juga sebagian karena apa yang dia bicarakan dengan Saya sebelumnya.
Dia sangat-sangat ingin bertemu dengannya.
Dia ingin memeluknya.
Dia ingin dipeluk olehnya.
Dia ingin menciumnya.
Dia ingin dicium olehnya.
Perasaan mengalir di dalam dirinya, dan meluap.
Tapi... mereka masih tidak bisa mengatasi keraguan yang menahannya untuk tidak memberitahunya. Tidak peduli apa pun yang terjadi, dia tidak ingin dirinya sendiri dan perasaannya menjadi beban baginya.
Lalu, Mitsuki dengan lembut mencium layar LCD ponselnya, dan berbisik ke mikrofon, "Kau tahu, Yuu-kun: 'Bulan sungguh Cantik.'"
<EDN: Tsuki ga kirei, sebuah ungkapan di jepang yang bisa bermakna aku mencintaimu>
“Mm? Ya, di sini juga sangat cantik. Langit musim dingin membuat udaranya sangat jernih. Hei, yang lebih penting—! ”
Sepertinya Yuuto tidak tahu.
Tentu saja, dia tidak pernah tertarik membaca sastra bahkan sebelum masuk sekolah menengah, jadi tidak heran jika dia tidak tahu. Dan selama dua setengah tahun terakhir ini, dia menghabiskan setiap saat dari waktu terbatasnya untuk belajar hanya mempelajari hal-hal yang secara praktis akan berguna baginya di Yggdrasil, jadi dia tidak akan memiliki kesempatan untuk mempelajarinya. .
Mitsuki tahu itu. Dia tahu itu, tapi meski begitu ...
“Idiot. Bodoh-bodoh-boooodoooooh!!.”
"A-apa-apaan ini, Mitsuki ?! Apa yang kau maksud
"Yang kumaksud adalah kau bodoh, jadi itu sebabnya aku menyebutmu bodoh, bodooooh."
"Kau! Kita hanya punya beberapa detik lagi! Berapa banyak yang akan kau sia-siakan memanggilku Bo—" Suaranya tiba-tiba terputus.
Bip, bip, bip ...
Tidak ada yang tersisa selain suara yang menunjukkan koneksi terputus. Ponselnya pasti kehabisan baterai. Dia sudah tahu itu, tentu saja.
"Aku selalu, selalu mengkhawatirkanmu," bisiknya. “Sepanjang waktu. Jadi aku punya hak untuk mengatakannya. Aku tidak dapat mengatasi perasaan ini jika aku tidak melakukannya... Dasar bodoh! "
Suaranya tenang, dan menahan air mata, dia menggumamkan kata-kata terakhir itu di telepon yang sunyi, lalu mengambil cermin ilahi dari kuil, sumber hubungan antara dia dan Yuuto.
Satu demi satu, tetesan air matanya jatuh ke permukaan cermin. Saat melakukannya, cermin ilahi itu mulai memancarkan cahaya yang sangat redup, seperti cahaya kunang-kunang.
Tetap saja, cermin itu tertutupi karat, sehingga tidak bisa menunjukkan bayangan Mitsuki.
Itulah mengapa dia tidak menyadarinya.
Seolah menanggapi pancaran lembut cermin, simbol emas kecil tapi berbeda berbentuk samar-samar seperti burung bersinar di kedua matanya.
Interlude IV
“Ahh, jadi ini Iárnviðr.” Rífa tidak bisa menahan kekagumannya pada pemandangan kota.
Ini adalah tempat kekuasaan dari "Si Hitam", jadi dia selalu ingin mengunjunginya setidaknya sekali.
Dan dia juga selalu ingin melihat wajah Pria itu sendiri. Tidak harus secara langsung, dia akan puas hanya dengan melihatnya dari jauh.
Menurut rumor, di daerah ini dia disebut Hróðvitnir, Serigala Jahat Terkenal, oleh beberapa orang. Dia seharusnya seumuran dengannya, tapi dia pasti memiliki wajah seperti raksasa pemakan manusia, untuk mendapatkan alias seperti itu.
Tetapi lebih dari itu, prioritas pertamanya saat ini adalah melihat pemandangan yang bergulir di luar jendela kereta dan menikmatinya sepenuhnya.
“Tampaknya sangat berbeda dari Glaðsheimr,” komentarnya.
Saat ini Klan Serigala sedang mengalami masa kemajuan dan perkembangan yang pesat, kota ini juga jelas hidup dan berkembang, tetapi dalam hal skala, masih tidak sebanding dengan Glaðsheimr, salah satu kota terbesar dan terhebat di Yggdrasil.
Sebagian besar bangunan di Glaðsheimr dibangun dari batu bata, sedangkan sebagian besar bangunan di Iárnviðr terutama terbuat dari kayu. Pakaian orang-orang di sini sederhana dan tanpa banyak hiasan; singkatnya, mereka sederhana.
Dan mungkin karena lokasinya di dataran tinggi pegunungan, udara di sini jauh lebih dingin daripada di Glaðsheimr, dengan udara yang kering membuatnya bertambah dingin.
Tidak disangka bahwa perubahan lokasi yang sederhana dapat menghasilkan lingkungan yang berbeda! Rífa sangat tersentuh oleh ini, dan gemetar karena kegembiraan.
Namun, satu hal lagi juga terus menarik perhatiannya.
Wajah orang-orang di sini dipenuhi dengan kehidupan dan energi.
Itulah yang paling menonjol baginya.
Di matanya, orang-orang Glaðsheimr semuanya tampaknya dikalahkan oleh semacam bayangan sinisme.
Bahkan saat mereka semua menyanyikan pujian atas kemakmuran mereka sendiri, tidak ada janji akan sesuatu yang lebih besar di masa depan. Sistem yang dihasilkan dari sejarah panjang mereka hanya mengalami kalsifikasi, dengan mereka yang telah membangun kekayaan dan kekuasaan meningkatkan cengkeraman mereka, sementara kaum muda tidak memiliki harapan atau impian.
Setiap orang pasti merasakan kehancuran yang sangat lambat dan bertahap yang sedang terjadi, tetapi tidak dapat melakukan apa-apa, mereka hanya pasrah untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
Mungkin itulah sebabnya, meski kaya, kota Glaðsheimr secara keseluruhan terasa suram dan terhenti baginya.
Dibandingkan dengan itu, Iárnviðr sangat berbeda. Ada harapan di mata warga di sini. Mereka percaya, tanpa ragu, bahwa segala sesuatunya akan menjadi lebih baik dari sini, bahwa ada peluang untuk meningkatkan kualitas mereka dalam hidup, dan membuat masa depan mereka lebih indah daripada saat ini.
Gadis itu merasakan sakit yang tajam, sakit di hatinya, dan dengan tawa hampa dan kesepian, dia berbisik pada dirinya sendiri, "Mungkin kekaisaran benar-benar ditakdirkan untuk binasa..."
0 komentar:
Posting Komentar