Sabtu, 06 Maret 2021

Kuma Kuma Kuma Bear Light Novel Bahasa Indonesia Volume 1 : Extra Story. Beruang Memanggil Beruang

Volume 1
Extra Story. Beruang Memanggil Beruang


Setelah membeli sebuah buku sihir dari toko buku, aku mulai berlatih sihir dan meningkatkan level dengan berburu monster. Aku perlahan menyesuaikan diri dengan sihir yang ada dunia ini. Syukurlah, dasar-dasarnya masih sama dengan yang ada di game.

Aku memeriksa layar statusku di waktu libur beberapa hari setelahnya, dan mendapati bahwa aku telah memperoleh sebuah kemampuan yang menarik.

Memanggil beruang... Pikirku. Pasti maksudnya aku dapat memanggil beruang, kan? Kelihatannya, tiap sarung tangan yang kukenakan punya satu beruang yang dapat dipanggil.

Aku memutuskan untuk mencobanya. Aku menuangkan mana pada sarung tangan beruang hitam dan membuat gambaran atas seekor beruang yang terpanggil. Saat mulut dari boneka tangan tersebut terbuka lebar, sebuah bola bulu berwarna hitam melompat keluar.

Mungkinkah itu beruangnya? Pikirku.

Objek bulat tadi berbalik menghadap ke arahku, dan aku sadar ternyata yang sedari tadi kulihat adalah bagian belakang dari makhluk berbulu tersebut. Beruang itu mengamati sekitar dan bangkit, kemudian dengan perlahan berjalan ke arahku. Itu menakutkan, jadi aku melangkah mundur.

Beruang itu kembali mendekatiku. Ketika aku sekali lagi melangkah mundur, beruang tersebut mengeluarkan suara sedih. Aku tidak tega untuk terus menjauhinya jika beruang tersebut bersuara seperti itu, jadi aku membiarkannya mendekat dan meringkuk ke arahku. Seperti yang diduga, tubuh beruang itu hangat. Saat aku mengelus kepalanya, beruang itu tampak senang. Bulunya lembut dan terasa nyaman saat kupegang.

"Apakah aku yang memanggilmu?"

Sebagai tanggapan, beruang itu menderam dan duduk dengan punggung yang menghadap ke arahku.

"Apa kau mencoba bilang bahwa kau ingin aku menunggangimu?"

Beruang itu kembali menderam. Aku belum pernah menunggangi kuda, tapi mempertimbangkan kedepannya, aku pasti akan butuh tunggangan untuk melakukan perjalanan jauh. Aku dengan hati-hati menaikinya. Beruang itu kemudian berdiri dengan perlahan agar aku tidak jatuh.

"Uh, whooaaa." Aku merasa diriku akan tergelincir, tetapi tidak jatuh. Beruang itu melirik ke arahku, dan tidak berjalan.

"Ada apa?" Tanyaku. Seketika aku sadar apa yang terjadi. "Oh benar juga, kau tidak tahu ke mana harus pergi. Uh, untuk sekarang, jalan saja terserah ke mana"

Beruang itu menderam dan mulai berjalan.

"Whoa."

Lebih baik dari pada yang kubayangkan. Aku tidak tergelincir sebagaimana yang kutakutkan—yang ada, rasanya malah seperti menunggangi sofa mahal.

"Coba larilah sedikit?"

Beruang itu berlari begitu cepat sehingga pemandangan di sekitarku kabur. Aku tidak hilang keseimbangan atau bahkan merasa akan terjatuh, terlepas dari seberapa cepat kami melaju. Mungkinkah itu adalah kemampuan dari makhluk panggilan ini? Pikirku. Aku menggoyang tubuhku ke kiri dan ke kanan untuk mengetesnya, dan aku bahkan sampai mencoba untuk berdiri, tetapi rasanya seperti ada semacam kekuatan yang menahanku untuk tetap berada di atas punggung beruang tersebut. Aku bahkan tidak terjatuh meski aku bersantai atau berbaring. Bukankah itu berarti aku bisa tidur sambil berkendara?

Aku memutuskan untuk menyelidikinya nanti. Aku masih harus memeriksa kecepatan maksimal dari beruang ini.

"Cobalah lari lebih cepat."

Saat aku meminta demikian, beruang itu meningkatkan kecepatannya. Aku sangat yakin kalau kami melaju lebih cepat dari sepeda motor. Kami tiba di kaki gunung dan terus bergerak meski medannya mulai curam. Beruang tersebut tidak tampak kelelahan sedikit pun.

"Berhenti."

Ketika kami setengah jalan mendaki lereng gunung, aku mengelus tengkuk beruang itu. Beruang itu secara bertahap melambat dan berhenti. Aku kemudian turun darinya dan merenggangkan tubuhku. Aku tidak tahu di mana kami berada sekarang, tetapi ketika aku mencoba membuka sistem peta untuk mencari tahu, beruang itu tiba-tiba melompat ke samping.

"Ada apa?!"

Sebuah anak panah tertancap ke tanah tepat di tempat beruang itu berdiri beberapa saat yang lalu. Aku mencari tahu dari mana anak panah tersebut datang dan segera menciptakan dinding tanah.

Apakah kami tengah diincar? Pikirku.

Aku mengaktifkan sihir deteksi untuk mencari tahu lokasi si pelaku. Mengikuti lintasan anak panah tersebut ditembakkan, aku mendeteksi kehadiran seseorang. Aku membuat lubang kecil pada dinding tanah yang kuciptakan dan mengintip lewat situ, tetapi karena tanah di depan menanjak dan ada banyak pohon di sekitarnya, aku tidak dapat melihat pelaku yang menembakkan anak panah tersebut.

Pelaku itu berjarak kurang lebih seratus meter jauhnya. Dia juga tidak membidik ke arahku, melainkan ke arah beruang panggilanku. Aku menatap beruang tersebut lalu menatap kostum yang kukenakan, berpikir barangkali aku tampak seperti anak beruang dari kejauhan.

"Dapatkah kau mendengarku?!" Teriakku ke arah datangnya anak panah itu. "Aku adalah seorang petualang, dan beruang ini adalah makhluk panggilanku. Bisakah kau tidak menembak ke arah kami?!"

Aku menunggu jawaban. Jika ia tidak menimpali, satu-satunya pilihanku adalah lari atau menyerang balik.

"Apa kau sungguh seorang petualang? Apakah beruang tersebut benar-benar tidak berbahaya?" Sahut orang tersebut.

"Beruangnya tidak akan menyerang selama kau tidak menyerangnya duluan," jawabku. "Jika kau berniat menyerang, maka aku tidak akan diam saja."

Orang itu diam sejenak.

"Baiklah. Gencatan senjata kalau begitu."

Seorang pria bersenjatakan busur dan membawa anak panah muncul dari balik celah pohon. Dia berpakaian layaknya pemburu dalam sebuah video game.

"Apakah beruang itu benar-benar makhluk panggilanmu?" Tanya pria itu.

"Ya." Untuk membuktikannya, aku mengelus beruang tersebut.

"Ini pertama kalinya aku melihat beruang yang patuh terhadap manusia seperti milikmu. Maaf karena tiba-tiba menembak. Aku tadi sempat ketakutan saat melihat beruang tersebut muncul."

"Tidak masalah, tapi aku kan ada disebelahnya. Seharusnya kau sadar dan tidak perlu menembak."

"Maaf. Pakaian yang kau kenakan membuatmu tampak seperti seekor anak beruang dari kejauhan. Dari mana gadis sepertimu berasal? Jangan bilang kau tinggal di hutan bersama beruang ini?"

"Kami tinggal di sebuah kota bernama Crimonia."

"Crimonia? Itu jauh sekali. Apakah pakaian yang kau kenakan sedang populer di sana atau semacamnya?" Kuharap begitu. Satu-satunya tempat di mana pakaian semacam ini menjadi tren adalah jepang. "Jadi kenapa kau bisa ada di tempat seperti ini, nona? Daerah sekitar sini adalah tempat yang berbahaya."

"Aku hanya sedang jalan-jalan dengan beruangku. Benarkah daerah sini berbahaya?"

"Jalan-jalan? Sambil mengenakan kostum aneh tersebut?"

Dasar, tidak perlu sampai menyebutnya aneh juga. Bukan berarti aku memakai pakaian ini karena mau.

"Di sini tidak aman," ujarnya. "Tempat ini ada penunggunya."

"Penunggu?"

"Seekor babi hutan raksasa. Aku menembak beruangmu karena awalnya kupikir beruang itu adalah makhluk tersebut."

"Tunggu, apakah hewan tersebut memang sebesar itu?" Beruang panggilanku sangat besar. Jika ukuran mereka sama...

"Yup, ukurannya hampir sama dengan beruang milikmu. Hewan itu memakan seluruh hasil panen kami dan menyerang orang-orang yang tersesat di hutan, jadi jika kau ingin pergi dari sini," ucapnya, "sebaiknya cepat."

"Baiklah. Aku akan pergi kalau begitu."

Pria itu bimbang begitu aku naik kembali ke beruangku. "Sebenarnya," ujar pria tersebut, "apa kau punya waktu sebentar?"

"Tentu, ada apa?"

Dia menatap pada dinding tanah yang kuciptakan dan bertanya, "kau bisa menggunakan sihir?"

"Ya."

"Seberapa kuat dinding tersebut?”

"Cukup kuat untuk menahan serangan Goblin dan Orc."

"Serangan Orc? Aku ingin meminta bantuanmu, nona. Bisakah kau membuat tembok yang seperti ini di sekitar ladang kami? Kami akan membayarmu semampunya, tapi kemungkinan bayarannya tidak akan banyak. Aku tahu kalau permintaanku ini keterlaluan, tapi jika begini terus, hewan itu akan menghancurkan rumah kami dan memakan seluruh persediaan makanan yang kami miliki."

Pria itu memohon dengan menundukkan kepalanya. Kedengarannya merepotkan, tapi aku akan merasa bersalah jika di masa depan nanti desa pria itu musnah. Aku mengiyakannya, meskipun enggan. "Aku dapat melakukannya, tetapi aku tidak yakin apakah tembok yang nantinya aku bangun mampu bertahan dari serangan hewan itu."

Aku paham betul seberapa bahaya tubrukan seekor babi liar, bahkan di dunia asalku. Apa jadinya jika babi yang menubruk memiliki ukuran sebesar beruang? Tentunya tidak ada jaminan kalau tembokku akan bertahan.

"Aku mengerti. Ngomong-ngomong, namaku adalah Brandaugh. Aku tinggal di desa dekat sini."

"Aku Yuna, seorang petualang."

Setelah saling memperkenalkan diri, kami pun pergi menuju desa tempat Brandaugh tinggal, ternyata desa tersebut terletak berlawan dari arah aku datang. Aku naik di atas beruangku sementara Brandaugh memimpin jalan. Di tengah perjalanan, dia bilang akan memberiku sayur-sayuran yang cukup untuk persediaan selama beberapa hari sebagai ucapan terima kasih.

Saat kami terus menuruni gunung lewat jalan setapak, desanya mulai terlihat. Seorang pria yang berjaga di depan gerbang masuk desa mengacungkan tombaknya ke arah kami. 

"B-Brandaugh, apa yang ada di belakangmu?!" Teriaknya.

"Tidak apa-apa! Turunkan senjatamu. Orang yang memakai kostum beruang ini bernama Yuna—dia adalah seorang petualang. Beruang itu adalah makhluk panggilannya, jadi selama kita tidak menyakitinya beruang tersebut tidak akan menyerang."

"Apakah kau yakin?" Tanya pria tadi sambil memandang ragu beruangku.

"Aku berani jamin beruang itu tidak akan menyerang."

"Baiklah, tapi bukan aku yang memutuskan. Aku akan memanggil kepala desa, jadi tunggulah di sini," ujar pria tadi kepada Brandaugh, lantas masuk ke dalam desa.

"Maaf soal ini. Semua orang menjadi waspada akibat ulah babi hutan itu."

Kurasa itu tidak bisa dihindari. Pakaian yang kukenakan tampak aneh dan aku menunggangi hewan yang orang-orang pada umunya anggap buas.

Setelah beberapa saat, pria tadi kembali, tetapi sekarang dia ditemani oleh seorang pria tua. "Brandaugh, apa kau paham situasi yang tengah kita alami saat ini?"

"Tentu saja aku paham, sebab itulah aku membawa dia kemari."

"Apa yang kau bicarakan?"

"Gadis muda ini dapat menggunakan sihir tanah. Aku membawanya kemari karena dia mampu mendirikan tembok yang akan melindungi kita dari babi hutan itu."

"Kau ingin membangun tembok menggunakan sihir? Memang benar itu mungkin membantu kita, tetapi kita tidak punya uang untuk membayarnya..."

"Beberapa sayuran segar kurasa cukup," timpalku.

"Kau yakin cuma itu yang kau inginkan?"

"Ya, pastikan untuk memberiku sayuran terbaik yang kalian punya." Sayuran terbaik adalah sayuran yang baru dipetik. Semua orang tahu itu.

"Dan apakah beruang itu milikmu?" 

"Ya." Aku mengalungkan lenganku di sekitar leher beruang tersebut untuk membuktikannya.

"Benarkah beruang itu tidak akan menyerang?"

"Selama tidak ada yang menyerangnya duluan."

"Baiklah. Maka, ijinkan aku secara resmi menyambutmu ke desa kami. Bogue, tolong beritahu semua warga desa tentang nona ini, dan tekankan pada mereka untuk tidak mengusik beruang miliknya."

Penjaga tadi berlari untuk kedua kalinya, dan kami mengikuti. Begitu kami masuk ke desa, tampak jelas bahwa mereka sedang mengalami keadaan yang memprihatinkan. Beberapa rumah hancur total, sementara yang lain dindingnya roboh.

"Semua ini adalah ulah hewan itu. Kami dapat membangun kembali rumah kami, tetapi tanpa ladang, kami akan kehabisan makanan dan warga desa akan kelaparan."

Aku mulai merasa bersalah setelah meminta mereka untuk membayarku dengan sayuran. Dilihat dari keadaan desa, jelas bahwa sayuran menjadi komoditas pangan paling berharga yang mereka miliki saat ini.
 
Dan pertahanan yang desa ini miliki, adalah pagar kayu reyot dengan tambalan dan perbaikan di mana-mana. Aku menyimpulkan kalau bagian-bagian yang ditambal tersebut adalah bekas hewan itu menerobos masuk. Aku kembali ke pintu masuk desa dan mulai mendirikan dinding mengelilingi desa dengan menggunakan sihir tanah, menjadikan pagar yang sudah ada sebagai pondasi untuk dinding yang kuciptakan.

"Beritahu aku jika kau butuh akses keluar masuk yang lain, " kataku kepada Brandaugh.

"Tentu."

Aku mengitari desa menunggangi beruangku, mendirikan tembok setinggi dua meter. Tampaknya apa yang kulakukan menarik perhatian warga, karena semakin banyak dari mereka yang berkumpul dan menyaksikanku bekerja. Para orang dewasa menyemangatiku setiap kali aku membangun bagian dinding yang baru, sedangkan anak-anak kecil berlarian bermain dengan beruangku.

"Sihir benar-benar menakjubkan," kata Brandaugh.

"Apakah di desa ini tidak ada yang bisa menggunakan sihir?"

"Ada, tetapi mereka hanya mampu menciptakan api kecil. Aku belum mendengar maupun melihat sihir sehebat ini sebelumnya. Bagaimana dengan pasokan mana yang kau miliki? Tolong jangan memaksakan diri."

Dia jelas tidak tahu banyak tentang sihir, melihat bagaimana caranya benar-benar khawatir padaku. "Aku tidak apa-apa."

"Baguslah, tapi beritahu aku jika kau merasa lelah."

Tentu saja, aku tidak merasa lelah sedikit pun meski sudah membangun semua dinding itu. Aku menempatkan beberapa pintu masuk di tempat-tempat yang diperintahkan Braundaugh.

"Apa yang akan kau lakukan jika hewan itu menerobos masuk lewat sini?"

"Babi hutan itu datang dari gunung, jadi hewan tersebut tidak akan masuk lewat sini. Kami masih akan memperkokoh gerbangnya nanti, hanya untuk berjaga-jaga."

Kami kembali ke tempat kepala desa untuk memberitahunya bahwa kami telah selesai. Dia berterima kasih padaku, berkata kalau tidak banyak yang bisa mereka suguhkan, meski demikian, mereka tetap bersikeras mengundangku makan. Matahari mulai terbenam. Di dunia tanpa adanya listrik ini, pekerjaan selesai saat gelap mulai datang.

Mereka mengantarku ke rumah kepala desa dan menyuruhku duduk. Aku merasa sedikit tidak enak meninggalkan beruangku di luar, tetapi badannya yang terlalu besar membuatnya susah untuk masuk. Seorang wanita keluar dari dapur dengan membawa nampan berisikan makanan, membuat Brandaugh yang berada di situ terkejut.

"Marie, apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku membantu kepala desa," jawab wanita tersebut. "Selain itu, yang membawa tamu kita kemari adalah kau, bukan? Jika aku sebagai istrimu tidak bisa menjamunya, maka siapa lagi?"

"Tapi bagaimana dengan kandunganmu?" Kata Brandaugh resah. Aku langsung tahu apa yang membuat Brandaugh khawatir begitu melihat perut hamil Marie.

"Sedikit menggerakkan tubuh akan baik untukku."

"Kurasa ada benarnya...tetapi tolong jangan paksakan dirimu."

Hidangan yang dibawa oleh Marie adalah roti, sup sayuran, dan salad. Rotinya terasa enak—pasti baru selesai dipanggang. Supnya sedikit hambar, tetapi rasanya tetap enak dan memuaskan.

"Nona," ujar Brandaugh, "aku telah membicarakannya dengan Marie, tetapi maukah kau bermalam dirumah kami? Kami membuatmu bekerja sampai larut, dan kami masih harus mengumpulkan beberapa sayuran untuk kami berikan padamu."

Jujur saja, bukan hal yang benar untuk menerima pemberian tersebut di saat persediaan yang mereka miliki telah menipis. Aku memutuskan untuk kembali ke beruangku dan pulang, tetapi kuurungkan niat tersebut setelah melihat matahari di luar terbenam. Langit akan menjadi gelap sebentar lagi.

Saat aku bingung harus berbuat apa, keributan terdengar di luar.

"Babi hutannya muncul!" Teriak seseorang.

Semua orang di dalam rumah kepala desa bangkit dari kursi mereka.

"Marie," ujar Brandaugh, "kau dan kepala desa tetap di sini. Aku akan pergi."

Dia mengambil busur yang bersandar di tembok dan berlari keluar rumah. Aku mengikutinya dan bergegas ke arah datangnya teriakan tersebut, beruangku mengikuti di belakang. Saat aku sampai di tempat para warga berkumpul, sebuah suara mengerikan terdengar dari dinding yang kubangun.

DHUAR!!!! DHUAR!!!

"Dinding ini benar-benar menakjubkan! Tetap kokoh meski sudah dihantam oleh makhluk itu!" Seorang pria yang mengintip dari atas dinding menggunakan tangga bersorak ria.

"Desa ini selamat!"

"Terima kasih, nona!" 

Para warga yang berkumpul menghujaniku dengan ucapan terima kasih, tetapi kegembiraan mereka berubah menjadi ketakutan saat mendengar pria yang berada di atas tangga berkata, "Makhluk itu bergerak. Tetapi tujuannya adalah—"

Hewan itu mencari pintu masuk..

"Kembali ke rumah kalian!"

"Sial, makhluk itu cepat!" 

Para warga mulai berpencar. Brandaugh menerobos kerumunan tersebut dan berlari menuju gerbang masuk utama desa. Aku mendesah kesal sebelum mengejarnya, seharusnya ia lebih memikirkan anaknya yang belum lahir sebelum menerjang bahaya seperti itu. Tak cuma Brandaugh yang pergi ke gerbang desa. Saat kami tiba di sana, beberapa pria bersenjata menyusul di belakang kami.

"Kita sudah tahu dari mana makhluk tersebut akan muncul! Serang bersamaan begitu ia datang!"

"Ya!"

Hewan itu muncul di pintu gerbang. Seperti yang Brandaugh katakan, ukurannya menyamai beruang milikku. Para pemanah melepaskan tembakan, tetapi kulit hewan tersebut mementalkan seluruh anak panah yang mengarah padanya. Makhluk itu menghentakkan kakinya ke tanah kemudian menerjang maju. Serangan dari para pria yang membawa tombak sama sekali tidak dapat menghentikan laju hewan tersebut.

Hewan itu berlari lurus ke arahku. Saat aku sudah siap melepaskan sihir, beruangku menahan terjang-an hewan tersebut. 

"Beruang!"

Beruangku membanting hewan itu ke tanah dan menahannya. Hewan tersebut memberontak dan mencoba mendorong balik beruangku, tetapi beruangku mengkokohkan tubuhnya dan bangkit dengan cepat. Beruangku tidak membiarkannya maju sedikit pun.

"Jatuhkan hewan itu!"

Beruangku meraung menanggapi perintahku dan melonjak ke depan. Hewan tersebut meronta meski kaki depannya terangkat ke udara dan kemudian, dengan suara 'gedebuk' yang keras, hewan tersebut jatuh menyamping. Di waktu yang sama, aku merapalkan mantra.

Aku mengumpulkan air pada sarung tangan beruang hitam milikku. Aku melepaskan sihir tadi pada hewan itu, menyelimuti kepala hewan tersebut dengan air. Perlawanannya kian menjadi-menjadi begitu hewan tersebut mulai kehabisan napas.

"Beruang! Jangan biarkan hewan itu lepas!"

Beruangku mengkokohkan tubuhnya dan menahan hewan tadi di tanah. Hewan itu meronta-ronta, mencoba melepaskan diri karena tak bisa bernapas, sementara beruangku menggunakan seluruh kekuatannya untuk tetap menahan hewan itu. Perlahan-lahan hewan itu kehilangan kekuatannya. Dan pada akhirnya, berhenti bergerak.

Hening menyelimuti seluruh desa. 

"Terima kasih, beruang," ucapku, dan beruang itu membalasnya dengan deraman lembut, kemudian menyingkir dari atas tubuh hewan tadi.

"Apa hewan itu mati?" Tanya seorang, hampir berbisik.

"Sepertinya..."

Brandaugh mengambil tombak dari salah seorang warga dan menusukkannya kepada hewan itu, tetapi hewan tersebut tidak merespon.

"Hewan ini telah mati."

Mendengar kata-kata barusan, penduduk desa diselimuti perasaan bahagaia.

"Terima kasih, nona!"

"Terima kasih."

Aku terus-menerus dihujani banyak ucapan terima kasih.


"Apa kau benar-benar yakin soal ini?"

Aku memutuskan untuk memberikan mayat hewan tadi kepada penduduk desa.

"Makhluk ini telah memakan hasil panen kalian dan menyebabkan seluruh kekacauan ini, kan? Kalian dapat memakannya, atau menjualnya, atau lakukan apa pun yang kalian mau."

"Tapi kami belum memberimu apa pun sebagai balasan. Kau telah membangun tembok untuk kami, dan bahkan mengalahkan makhluk tersebut seorang diri. Bagaimana bisa kami mengambil hasil buruanmu setelah semua yang telah kau lakukan untuk kami?" Para warga mengangguk menanggapi ucapan kepala desa.

"Ada wanita hamil di antara kalian. Mereka memerlukan makanan bernutrisi agar tubuh mereka tetap sehat, dan dari apa yang kuperhatikan selama ini, tak ada satu pun dari kalian yang mampu memenuhi kebutuhan nutrisi para wanita hamil, kan?" Secercah ekspresi suram telukis pada wajah mereka. "Aku akan kembali lagi ke sini kapan-kapan, jadi kalian dapat berterima kasih padaku lain waktu."

"Terima kasih banyak." Ucap kepala desa sambil menundukkan kepalanya.

Aku berakhir menginap di rumah Brandaugh pada malam itu. Saat aku pulang keesokan paginya, seluruh warga berkumpul di gerbang masuk utama desa untuk mengantar kepergianku. Itu benar-benar memalukan.

"Silahkan mampir kapan pun kau ingin," ucap kepala desa. "Kau akan selalu disambut di desa kami, nona."

"Terima kasih, nona," ujar Marie, "bilang saja kalau kau butuh sesuatu. Aku tidak akan pernah melupakan hutangku padamu."

"Terima kasih, Yuna," ucap Brandaugh.

"Marie," ujarku, "semoga bayimu lahir dengan sehat.

"Pastikan untuk mampir kemari!"

Aku naik ke punggung beruangku dan berangkat menuju Crimonia, untungnya laju beruangku cepat. Itu benar-benar membuat perjalanan jauh menjadi lebih mudah.

Kalau dipikir-pikir, gumamku dalam hati sambil menepuk punggung beruangku yang tengah berlari pulang, bukannya sarung tangan yang kucoba baru satu?

Aku berhenti sejenak segera sesudah melewati gunung tempat desa tersebut berada, dan menyalurkan mana ke sarung tangan beruang putih yang kukenakan untuk mencoba memanggil beruang yang satunya. Sebuah bola bulu besar berwarna putih melompat keluar dari sarung tangan tersebut dan mendarat di tanah. Baiklah, pikirku, jadi yang satunya adalah beruang putih.

Tetapi beruang itu membelakangiku dan tidak mau berbalik. "Apa ada yang salah?" Aku memanggilnya, tetapi beruang itu tidak merespon.

Aku berjalan ke hadapan beruang putih itu. Beruang tersebut mengeluarkan suara sedih dengan wajah tertunduk ke bawah. Mungkinkah beruang tersebut merajuk? Pikirku. Beruang putih itu menggambar lingkaran-lingkaran kecil di tanah menggunakan tangannya persis seperti orang yang sedang merajuk. Meski lucu, tetapi aku kasihan padanya. Beruang putih itu pasti kesal karena aku memanggil beruang yang hitam, tetapi tidak dengan dirinya. 

Tingkahnya memang lucu sih.

"Maaf. Bukannya aku tidak mau memanggilmu. Aku cuma lupa..."

Tepat di saat aku mengatakan, "aku cuma lupa," beruang putih itu memutar badannya, kembali membelakangiku.

"Yah, bukannya aku benar-benar lupa...hanya saja, lihatlah, aku cuma satu orang. Mustahil bagiku untuk menunggangi kalian berdua secara bersamaan, jadi bagaimana kalau bergantian? Maukah kau membiarkanku menunggangimu untuk pulang?"

Aku mengelus punggung berbulu dari beruang putih itu saat aku mengatakannya. Kali ini, telinganya bergerak dan beruang itu menatap kepadaku.

"Bolehkah?"

Beruang putih itu menderam lalu bangkit. Kelihatannya, aku telah dimaafkan.

Aku naik ke atas beruang putih itu dan mengendarainya di sisa perjalananku kembali ke Crimonia. Sepanjang jalan, aku memikirkan nama yang cocok untuk kuberikan pada tunggangan baruku. Akhirnya, ide muncul. Aku akan menamai yang hitam Kumayuru, dan yang putih Kumakyu.


Note:
Yey, akhirnya vol 1 selesai juga~ volume 2 is coming.




TL: Boeya
EDITOR: Zatfley

0 komentar:

Posting Komentar