Senin, 06 Mei 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 11: Menyerah Belajar dari Zaman Mesir

 Volume 01

Chapter 11: Menyerah Belajar dari Zaman Mesir



Sedikit-sedikit salju mulai berjatuhan dan itu jadi penanda bahwa kami dalam tahan akhir persiapan musim dingin yang harus segera kami penuhi. Yang benar saja, musim dingin sudah didepan mata.

Selama musim dingin, pekarangan kami akan tertimbun salju, dan kami singkatnya menghabiskan waktu seharian di dalam rumah, sekalinya bisa keluar rumah hanya saat cuacanya cerah. Aku sudah biasa menghabiskan waktu dalam rumah seperti orang yang suka mengurung diri dalam kamarnya, jadi kedatangan musim dingin tidak jadi masalah buatku.

Tapi tidak ada buku di dunia ini. Apakah aku bisa bertahan hidup seperti hikikomori tanpa satu pun buku didekatku?

Sering terjadi badai di hari pertama salju turun, membuat kami harus menutup erat jendela dan pintu rumah agar suhu hangat dalam rumah tetap terjaga. Untuk menahan agar angin luar tidak masuk sebisa mungkin, kami juga menyelipkan tumpukan sejenis jerami ke sisi rumah yang sedikit bolong.

“... Ngh, gelap sekali.”
“Kan lagi badai salju, kamu inginnya bagaimana?”

Aku terlambat menyadari sumber cahaya yang kami miliki selama mengunci diri dalam rumah hanya cahaya dari perapian dan lilin. Baru pertama kali di tengah hari tapi keadaan rumah begitu gelap. Sesusah ini hidup tanpa aliran listrik. Waktu hidup sebagai Urano, jika listrik padam selama badai terjadi, aku bisa pakai senter gawai dan senter biasa, biasanya dihari esok listriknya sudah menyala lagi. 

Kita tidak akan depresi karena menghabiskan waktu seharian di tempat gelap seperti ini?

“Hey, Ibu. Apa rumah orang gelap juga?”
“Hmm. Ada juga rumah yang tetap terang, hanya saja itu berlaku pada mereka yang punya uang lebih untuk membeli banyak lampu minyak tanah untuk penerangan rumah mereka, sedangkan kita hanya punya satu.”
“Huh? Kita punya satu tapi tidak dipakai?”

Aku tahu itu juga dan memang seharusnya kami pakai saja sumber pencahayaan terbaik yang kami miliki, tapi Ibu menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Sebisa mungkin kita hindari penggunaan lampu minyak tanah karena nanti kita perlu isi ulang minyaknya. Selain itu, kamu tidak mau kita sampai kehabisan lilin lampu jika musim dinginnya terus berlanjut?”

Tidak ada adu argumen saat mencoba hemat sebisa mungkin. Itu juga termasuk saat ibuku yang Jepang berusaha sebisa mungkin untuk menghemat pengeluaran uang. Dia akan melepaskan kabel televisi dari sumbernya agar bisa menghemat biaya listrik, tapi masih saja dia ketiduran dalam keadaan televisi menyala. Selama menggosok gigi, dia matikan air kerannya untuk menghemat air, tapi dia biarkan kerannya menyala saat mencuci piring. Maknanya, Ibu mengajariku cara memenuhi kepuasan diri sendiri.

Aku putuskan untuk mengambil sisi hemat ibuku dan berharap aku bisa menerapkannya agar bisa mendapat lebih banyak cahaya.

“Kamu sedang apa, Myne?”
“Aku rasa ini bisa membuat rumah kita sedikit terang....”

Dengan konsep pantulan cahaya dari tiga cermin, aku haluskan dan buat mengkilap sarung tangan besi punya Ayah, dia punya ini karena dulu pernah ikut perang, kemudian aku taruh itu disebelah lilin.

“Hentikan, Myne.”
“Ini terlalu silau.”

Ide aku langsung ditembak jatuh oleh mereka berdua. Sayangnya, sarung tangan besi ini tidak punya sisi jari yang rata, jadi pantulan yang dihasilkan tidak beraturan. Membuat pantulan cahaya itu pergi ke segara arah dan mengenai mata mereka, itu membuat mereka kesulitan bergerak.

“Bwuh, ini gagal. Kalau saja ada sesuatu seperti (cermin) yang bisa aku gunakan...”
“Ibu lebih senang lagi jika kamu tidak membuat kita buang-buang waktu.” Ibu menegurku dengan nada keras, dengan begini aku sudahi rencana pantulan cahaya.

Tapi ya, rasanya kurang nyaman kalau melihat sekitar tidak jelas  karena kurangnya pencahayaan, termasuk saat tanpa atau ada buku yang aku baca, jadi aku putuskan untuk duduk berdekatan dengan perapian yang menyala.

Tak lama setelah itu, Ibu mulai menyiapkan peralatan menenun di sebelahku. Ukurannya tidak sebesar alat tenun yang pernah aku lihat di Jepang. Fungsi yang diberikan seperti lebih simpel. Soal ini, aku cukup penasaran bagaimana caranya sebuah kain lebar bisa dibuat di tempat sempit ini, rupanya itu karena ada alat tenun yang ukurannya pas untuk digunakan disini.

“Tuuli, musim kamu dibaptis sebentar lagi tiba, ada banyak ilmu yang ingin Ibu ajarkan padamu,” kata Ibu dan mulai mengajari Tuuli segala urutan dalam menenun kain. Tuuli mengambil satu gulung benang, dan memperhatikan Ibu menenun.

“Kamu masukan benangnya ke sini, terus tahan bagian sini. Terus kamu tenun benangnya seperti ini....” Dia warnai benang ini selama musim gugur untuk dia gunakan sekarang, dia mulai menenun benang jadi kain.

Dalam proses itu, dia lanjut dengan menusukkan jarum jahit, dan menjahit kain itu agar menjadi pakaian. Selama dia melakukan itu, dia menyiapkan benang baru lagi dari bulu kambing yang dia beli, dia siapkan itu sekarang untuk tahun depan. Kami selalu beli bahan mentahnya saja. Tidak ada yang jual kain di dekat tempat kami tinggal, bahkan kain itu sendiri sudah cukup mahal bagi rakyat biasa beli.

“Nah iya, sudah bagus, teruskan ya. Kamu berbakat melakukan ini, Tuuli. Myne, mau coba menenun juga? Pepatah mengatakan bukan wanita anggun jika dia tidak tahu cara membuat pakaian.”
“Apa? Wanita anggun?”
“Iya, wanita anggun. Menjahitkan pakaian untuk kebutuhan rumah tangga memang sangat penting, tapi itu termasuk penting juga untuk pamer kepada tetangga. Kamu tidak bisa jadi wanita anggun jika tidak bisa menjahit pakaian dan memasak.”

Aaah... Aku pastinya tidak akan tumbuh dewasa menjadi wanita anggun. Bukan karena apa-apa, aku jelas paham soal penting jadi istri baik, tapi apa hubungannya memasak dan menjahit dalam hal keindahan tugas wanita?

Aku terbiasa pakai baju yang sudah jadi dan dijual di toko. Cukup pergi ke toko maka akan ditemukan banyak sekali variasi desain pakaian di sini. Aku tidak merasa tertarik dalam desain baju, aku tak masalah pakai baju yang mana saja selama tidak kena marah, tapi meski begitu, lemariku tetap penuh dengan baju.

Dalam hal ini, aku tidak pernah memakai baju pemberian yang pernah dipakai dan perlu dijahit dulu untuk menyesuaikan ukuran bajunya. Menjahit pakaian juga cuma pernah aku lakukan sekali-sekali di sekolah, dan saat itu aku gunakan mesin jahit listrik agar bisa selesai dalam waktu singkat. Soal jahit menjahit, hal yang bisa aku lakukan adalah memasangkan kembali kancing yang copot dengan jarum dan benang.

Langsung ke intinya: Berharap aku bisa menjadikan benang dari bulu kambing, menenun benang agar jadi kain, dan menjahit kain supaya bisa jadi pakaian untuk kebutuhan keluarga selama musim dingin adalah pemintaan yang terlalu besar untukku. Aku bisa bilang dengan penuh keyakinan bahwa yang terjadi di atas tidak akan pernah bisa diwujudkan, aku juga tidak menaruh perhatian pada aspek itu. Aku tidak akan pernah termotivasi melakukan itu.

Padahal aku rela lakukan itu sampai tanganku lemas sekali jika bisa aku gunakan kain itu sebagai perkamen.

“Kamu tidak mau ikut belajar ini, Myne?”
“Mmm, mungkin lain kali saja.”

Tulii ingin aku ikut belajar, tapi sekarang ini aku sedang tidak ingin menjahit atau menenun apapun. Ibu mengajari Tuuli karena dia ingin ikut program penjahit, tap kalau aku, aku kurang tinggi, tanganku kecil, dan pastinya, sedikit minat. Mengajariku hal itu pasti akan membuang-buang waktu.

“Baik, Ibu. Tolong buatkan aku pakaian spesial. Aku mau membuat keranjang.”
“Jelas. Serahkan saja kepada Ibu. Ibu pasti akan buatkan pakaian tercantik, paling luar biasa untuk kamu pakai.” Ibu, sangat percaya diri pada kemampuan menjahitnya, dia bicara itu dengan penuh rasa riang.

Di setiap musim, anak-anak berusia tujuh tahun akan dikumpulkan semuanya di kuil, mereka kesana mengenakan pakaian terbaik mereka. Jadi itu adalah kesempatan emas bagi Ibu karena dia bisa menunjukkan seberapa berbakatnya dia dalam menjahit. Dengan makna lain, ini semacam kompetisi bagi para ibu. Dengan penuh senyum diwajah, Ibu menyiapkan alat jahitnya berserta bahannya, dia memakai benang yang lebih tipis lagi dari benang yang tadi Tuuli gunakan untuk berlatih.

“Benangnya kelihatan lebih tipis.”

Ibu menunjukkan senyum bertentangan begitu aku berpikir akan memakan waktu berapa lama proses pembuatan kain dan baju dari benang setipis itu.

“Oh, itu karena dia dibaptis di musim panas. Kebayang tidak jika dia pakai baju yang kainnya tidak tipis?”
“Padahal dibaptisnya musim panas nanti, tapi Ibu buat bajunya di musim dingin? Memangnya dia tidak bakal tambah besar?”

Ada banyak waktu makan dan bermain di musim panas, jadi aku rasa kebanyakan anak-anak akan tumbuh di masa itu. Apa jadinya jika dia tumbuh terlalu besar dan baju yang dibuat ini jadi terlalu kecil untuk dia pakai?

“Ibu masih bisa atur itu nanti, bukan masalah kok. Justru Ibu lebih khawatir kalau misalnya kamu lebih kecil dari Tuuli, Myne. Kamu mungkin tidak bisa pakai baju yang sama dengannya. Kalau ada banyak yang harus dirubah akan repot. Tahun depan nanti, harus bagaimana ya?”

Oof... jelas itu lebih merepotkan. Berjuanglah, Ibu.

Ibu melanjutkan menenun kain dengan benang tipis, kelihatannya itu lebih sulit dilakukan dibanding pakai bulu kambing tadi. Tuuli mulai membuat keranjang untuk dijual. Karena mata aku sudah mulai terbiasa melihat di tempat gelap, aku putuskan untuk mulai membuat kertas papyrus, ini adalah langkah pertamaku dalam mewujudkan mimpiku.

Jika saja aku bisa menenun serat tanaman ini, pasti nanti hasilnya akan lebih mirip seperti kertas. Aku tak akan kalah dari zaman Mesir kuno! Ayo aku mulai!

Aku simpan semua serat tanaman di meja dan teringat kembali dengan dudukan gelas yang terpaksa aku buat sewaktu aku hidup sebagai Urano. Langkah pertama, aku akan coba buat ini menjadi kertas kecil seukuran amplop surat. Aku harus susun ini secara vertikal dan horizontal, menganyam serat tanaman yang lebih tipis dari benang yang sedang Ibu tenun.

Aku kurang uang, kemampuan, dan usia. Ini merupakan duel yang harus aku menangkan dengan nyali, tekad dan nyali lagi.

.... Bwuuuuh, serat ini tipis sekali sampai aku bingung mana yang lurus dan miring. Set Sreet Set.... 
<TLN: Cukup bayangkan suara jerami atau rumput kering di susun.>

.... Ah, kacau lagi! Set Sreet Set....

Serat tanaman ini begitu tipis dan sulit aku perbaiki jika ada yang salah posisi atau tertumpuk. Membuatnya jadi berantakkan dan rusak. Dalam keadaan kesal, aku teruskan duelku menyelesaikan menyusun serat tanaman, dan kemudian Tuuli berhenti membuat kerajang dan melihat apa yang aku kerjakan dari atas pundakku.

“Hey, Myne. Kamu sedang apa?”
“Hm? Buat (kertas papyrus).”

Tuuli melihat aku dan tanganku berulang kali. Cukup jelas tertulis diwajahnya dia tidak mengerti apa yang aku ucapkan tadi.

Mmm, dia tidak mengerti dari melihat apa yang aku kerjakan? Aku belum selesaikan satu petak kecil, jadi rasanya masuk akal. Bahkan aku sendiri tidak yakin menyebut ini kertas papyrus yang bagus begitu aku selesai menyusunnya.

Ibu, masih melanjutkan proses menenun, melihat aku yang sedang menganyam serat tanaman dan dia menghela nafas.

Set Sreet Set....

Set Sreet Set....

“Myne, kalau misalnya ada waktu buat main, coba kamu bantu saja Tuuli buat keranjang.”
“Mmm. Mungkin pas aku sudah tidak sibuk.”

Aku sedang tidak bermain-main, aku juga tidak punya waktu untuk membantu Tuuli. Kurasa tidak berlebihan menganggap ini adalah waktu paling sibuk yang aku alami dikehidupanku sebagai Myne.

... Ah! Salah taruh lagi. Gara-gara Ibu memanggilku tadi. Aduh!

Set Sreet Set....

Set Sreet Set....

“Myne, kamu itu, sebenarnya sedang apa?”
“Kan sudah aku bilang, aku sedang membuat (kertas papyrus).”

Aku tidak punya keluasan hati untuk menjawab secara baik pada pertanyaan Tuuli, membuat nada bicaraku sedikit tegas karena aku sedang fokus menganyam ini....

Aku tidak keberatan menggerakkan jari sejeli ini, karena ini aku memang inginnya melakukan ini. Aku harus tetap teguh dan terus lanjutkan tekadku.

Set Sreet Set....

Set Sreet Set....

“Um, Myne. Itu tidak bertambah lebar.”
“Iya, aku tahu!”

Komentar Tuuli telah menjadi percikan emosi yang membuat aku teriak padanya karena kecewa dengan hasilnya. Dibutuhkan waktu seharian agar bisa aku anyam jadi seukuran jari. Kumohon pahami apa yang aku rasakan sekarang ini.


Set Sreet Set....

Set Sreet Set....

Di hari selanjutnya aku bergantung pada tekadku yang sama. Terus lanjutkan, aku katakan itu pada diriku sendiri selagi aku anyam serat tanaman ini.

Hiraukan saja, jangan sampai komentar dari Tuuli membuat aku terganggu.

“Itu nantinya jadi apa?”
“.......”

Hiraukan saja.... jangan sampai terganggu. Jangan sampai aku terganggu karena komentarnya itu.

Set Sreet Set....

Gah! Pada lepas semua! Ngh, aku tinggal lanjutkan lagi! Hatiku terasa akan hancur jika aku benarkan bagian ini! Set Sreet Set....

“Hey, Myne....”
“Sudah! Aku tidak bisa buat ini! Iyah, (zaman Mesir kuno), kau yang menang!”

Mental dan emosiku sudah lelah, aku kepalkan telapak tanganku di sebelah kertas papyrus dan berteriak kesal.

Kertas papyrus selesai hanya baru seukuran kertas note kecil. Aku tidak tahu hitungan hari pastinya jika aku ingin lanjutkan sampai jadi ukuran kertas besar, dan bisa mempertahankan bentuknya selama aku menulis.

Sudah pasti ini, tidak mungkin aku bisa membuat kertas papyrus yang cukup agar bisa dijadikan binder. Bisa kau raba sendiri kertas papyrus yang aku buat dan mengerti mengapa aku kehilangan rasa tertarik untuk melanjutkan pembuatannya. Bagian tengah cukup rapat, tapi semakin ke sisinya, semakin buyar dan bercelah. Hasil akhir yang diberikan tidak bisa aku tulis.

Hasil akhir terbaiknya, ini masih bisa jadi dudukan gelas meski tak begitu indah. Namun masih kurang bagus untuk dijadikan media tulis meski untuk note semata.

“Aaaaaah.... Gagal. Rencana membuat kertas papyus gagal total.”

Tantangan yang diberikan dalam membuat kertas papyrus cukup keras, karena dimulai dari tantangan mengumpulkan bahannya, proses yang sulit dalam pembuatannya, dan secara keseluruhan waktu yang diperlukan agar bisa dibuat dalam jumlah banyak terlalu lama. Jika aku berhasil membuat kertas lewat cara ini, kertas papyrus ini tidak akan bisa dijadikan buku.

“Jangan berisik, Myne! Jika kamu ada waktu main sama rumput, buat keranjang sana!”
“Keranjang tidak bisa jadi buku....”
“Ibu kurang mengerti pembicaraanmu, tapi intinya kamu gagal, kan? Sudah kamu buat keranjang saja.”

Ibu sangat marah padaku yang membuat aku menyerah berdebat dan mulai menganyam keranjang. Menganyam kayu agar bisa jadi keranjang lebih mudah dilakukan dibanding menganyam serat tipis dari tanaman.

“Tuuli, aku bantu buat keranjang. Boleh aku minta bahannya?”
“Ini, aku kasih tahu cara buatnya.” 

Tuuli menawarkan bantuan padaku dengan wajah penuh senyum, dia ambilkan bahannya untukku, tapi aku hanya ambil bahannya dan menggelengkan kepala padanya.

“Tidak usah, aku tahu cara buatnya.”
“Huh?”

Aku perhatikan Tuuli yang kelihatan heran, aku tidak melihat dia sepenuhnya, dan aku mulai menganyam keranjang. Bahan seperti bambu ini aku taruh secara tersusun, dengan bantuan dari kayu balok aku anyam bambu tadi secara hati-hati, agar tidak ada celah aku pastikan potongan bambu ini rapat berdekatan.

Ini waktu yang tepat juga untukku, karena aku sedang ingin punya tas kecil untuk dibawa keluar. Aku putuskan untuk memfokuskan diri dalam pembuatan keranjang, ini juga jadi sarana pelampiasan rasa kecewa dari gagal totalnya pembuatan kertas papyrus. Bagian bawahnya sudah kuat, aku perhitungkan dulu sebelum aku anyam bagian luarnya agar nanti hasilnya punya desain yang indah.

Aku teruskan proses pembuatan keranjang, dengan hati-hati agar tidak ada yang luka dari tanganku, hingga akhirnya aku selesai membuat keranjang. Butuh waktu lima hari hanya untuk membuat kertas kecil papyrus, tapi aku berhasil menyelesaikan “tote bag” ini dalam waktu satu hari. Cukup memuaskan, mengingat tanganku ini kurang terlatih dan kecil.

“Luar biasa sekali, Myne. Ibu tidak tahu kamu hebat dalam hal ini. Mungkin kamu bisa coba ikut magang jadi tukang kayu?”
“Apaaa? Rasanya agak....”

Kedua mata Ibu penuh dengan kegembiraan, dia sangat senang melihat anaknya yang selama ini tidak berguna ternyata punya bakat, tapi aku tidak punya niat magang tukang kayu. Aku akan kerja di toko buku, perpustakaan, atau tempat semacamnya. Tapi yang menjadi masalah adalah bukunya sendiri cukup langka jadi tidak ada toko buku atau perpustakaan yang bisa mempekerjakan aku.

“Ngh, Myne, kok kamu bisa hebat membuat ini?”

Tuuli membandingkan keranjang buatannya dengan buatanku dan dia menjatuhkan pundaknya, bersedih karena miliknya lebih jelek.

“Tidak usah dipikirkan, Tuuli. Kamu cukup belajar cara agar bisa lebih rapat supaya celahnya tertutupi semua dan kamu pikirkan dulu pola bagian luarnya.”

Dalam hal ini, yang membedakan kita dalam hal ini adalah jam terbang yang kita miliki berbeda. 

Dulu waktu masih jadi Urano, aku terlibat dalam hobi seni kerajinan ibuku, dia pernah melipat koran iklan dan dia jadikan keranjang. Aku tidak mengira hal itu akan berguna untukku, tapi ya mau bagaimana lagi, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dalam hidupmu.

“Aku tidak percaya kamu lebih hebat dariku, Myneee...”

Oh gawat.... kelihatannya aku merusak harga diri seorang kakak yang ada dalam diri Tuuli.

“Aaaah, ini ituuuuu... Ya! Waktu aku diasuh sama Bibi Gerda, dia mengajariku ini. Aku sering menganyam di sana sewaktu kamu ada di hutan. Masih ada banyak hal lain yang kamu kuasai, sedangkan aku cuma membuat keranjang, jadi kamu masih lebih hebat dariku, hampir dari segala aspek yang ada. Sumpah.”

Aku tidak punya banyak pengalaman bersama anak kecil, jadi aku kurang tahu cara agar dia bisa mendapatkan kembali moodnya. Aku coba sebaik mungkin beralasan mengapa aku hebat dalam hal ini, tapi jujur saja, aku sendiri masih kurang yakin pada apa yang aku sebutkan tadi mengenai diriku sendiri.

“... Oh, begitu. Kamu benar juga.” Tuuli terlihat sedikit lega, aku kurang yakin ucapan mana yang membuat dia yakin. “Oke deh, kalau begitu aku akan membuat banyak keranjang agar aku bisa lebih hebat darimu, Myne.”
“Uh huh. Semangat, Tuuli.”

Aku menghela nafas karena senang, melihat Tuuli yang senang kembali. Bertahan hidup di sini akan lebih sulit lagi tanpa Tuuli. Jika ditinggal sendiri, aku sudah tidak tertolong lagi. Aku senang bisa menyemangatinya.

“Oh, Tuuli. Mungkin bagian ini kamu rapatkan lagi, nanti hasilnya pasti lebih bagus.” 

Hmm... bukan berarti aku senang dikenal hebat dalam membuat keranjang. Yang aku inginkan buku.

Aku perhatikan Tuuli menganyam keranjang dan memberinya saran sambil aku lihat kertas papyrus yang gagal aku buat. Jika kertas papyrus gagal, aku mau coba cara apa lagi? Selama musim dingin ini, aku pikirkan baik-baik rencana selanjutnya dan terus menganyam keranjang disebelah Tuuli.

.... Zaman Mesir kuno hasilnya gagal, prosesnya terlalu sulit untuk anak seperti aku. Aku harus bagaimana jika cara Mesir kuno gagal? Oh, sama seperti membaca buku sejarah, biasanya belajar zaman Mesopotamia dulu baru lanjut ke zaman Mesir.

.... Oke, itu jawabannya! Tulisan dalam batu! Waktunya membuat dari tanah liat! Hidup zaman Mesopotamia!

Aku ingat terjadi perang yang melanda mereka membuat banyak sekali pemukiman yang terbakar, tapi tablet tanah liat mereka berhasil selamat. Jika aku bisa membuat tablet tanah liat, menulis sesuatu di sana, lalu membakarnya di perapian, dan sudah sampai situ saja pengerjaannya. Hal bagus lain, pembuatan tablet ini sudah umum bagi anak-anak karena akan dianggap main tanah. Orang dewasa tidak akan curiga apa-apa.

Sudah ditentukan! Itu yang akan aku lakukan. Begitu salju sudah meleleh semua dan musim semi datang, aku akan membuat tablet tanah liat!



PREVIOUS CHAPTER     ToC    NEXT CHAPTER


TLBajatsu

0 komentar:

Posting Komentar