Jumat, 24 Mei 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 12: Rasa Manis dari Musim Dingin

 Volume 01

Chapter 12: Rasa Manis dari Musim Dingin



“Ah cerah! Ayah, cuacanya cerah! Cepat, bangun! Myne!”

Suara semangat Tuuli bergema memasuki kamar tidur yang gelap ini dan segera membuat aku terkejut bangun.

Turun salju beberapa hari yang lalu sangat lebat, tapi begitu aku bangun dari tidur, aku melihat samar-samar sinar matahari yang melintas dari cela jendela rumah.

Wooow. Lama tak berjumpa, Matahari.

Tuuli segera turun dari kasur dengan penuh semangat lalu jalan menuju jendela kamar dan dia mengulurkan tangannya ke kunci jendela dan membukanya tanpa ada rasa peduli pada suhu dingin yang mungkin diberikan dunia yang masih pagi ini. Langit biru yang luas bebas dari awan-awan dan salju yang menumpuk di tanah kota menyala-nyala karena sinar cahaya matahari pagi.

“Lihat, cuacanya sempurna sekali. Hari ini Ayah libur bukan? Kita harus cepat!”
“Iyah, iya.” Ayah, setelah mengerutkan wajahnya karena terpapar sinar matahari pagi, dia turun dari kasur.

Semua yang terjadi berlangsung cepat setelah itu. Tuuli dan Ayah menghabiskan sarapan mereka dengan cepat, mempersiapkan peralatan mereka dan segera lari keluar pintu rumah. Aku baru saja sampai dekat meja pada saat Tuuli melintasi pintu rumah, dia mengenakan pakaian berlapis agar bisa menjaga suhu tubuhnya tetap hangat.

“Dadah, Myne. Kami akan kembali membawa banyak parue!”

Aku melambaikan tangan padanya meski tidak tahu itu apa.
Umm... parue itu apa?!

Setelah aku cari informasi dari ingatan Myne, itu adalah buah yang menghasilkan air manis warna putih, rasanya enak sekali. Tadi dia bilang akan kembali membawa banyak parue, tapi aku sendiri kurang tahu bagaimana cara Tuuli memanen buah itu.

“Ini sarapannya, Myne. Ibu mau cuci baju dulu. Mereka pasti akan kembali membawa banyak parue untuk kita, siang nanti Ibu pasti akan sibuk mengolah itu.”

Ibu merobek roti yang tak bisa aku robek atau cuil sedikit dengan tanganku sendiri dan memasukkannya ke dalam mangkuk isi sup. Roti itu dipanggang sampai keras sekali dan ada gosongnya demi menjaga dari buluk dan sup sisa kemarin malam ditemani segelas susu adalah menu sarapan yang biasa kami santap.

Sebelum aku menaiki kursi sepenuhnya, Ibu meninggalkan rumah setelah dia mengumpulkan semua pakaian kotor yang menumpuk banyak selama badai salju terjadi. Aku sekarang duduk sendirian di dapur yang sunyi sambil menyantap sarapanku. Begitu selesai makan, aku mulai membuat keranjang, satu-satunya hal yang bisa memberiku pujian dari keluargaku.


Ayah dan Tuuli pasti tahu Ibu sudah pulang dari mencuci pakaian, karena mereka kembali dalam keadaan penuh senyum diwajah begitu melihat Ibu sudah selesai mempersiapkan makan untuk siang. Kelihatannya mereka berhasil memenuhi target.

“Kami pulang, Ibu, Myne. Kami berhasil memanen tiga parue!”
“Selamat datang, kalian berdua. Hebat sekali kalian. Aku sudah siapkan semuanya.”

Ibu menunjuk ke mangkuk besar dan pergi untuk mengambil kayu lurus yang tipis dari ruang penyimpanan kayu bakar, kayu itu cukup kering dan mudah untuk menyalakan api.

Tuuli mengambil kayu lurus itu dan membakar bagian ujungnya dengan api dari perapian lalu menusukkannya ke parue yang dia posisikan diatas mangkuk tadi. Saat dia menusuk buah parue, dari kulit parue itu sedikit membuka lubang dan mengalir air putih kental yang mengenai jari dia.

“Wow, aromanya harum sekali!”

Aroma manis menyebar dalam rumah selama air parue dituangkan ke dalam mangkuk. Aku menelan ludah atas kejadian ini, karena ini kali pertamanya setelah sekian lama aku tidak mencium aroma manis seperti ini. Hal semacam ini sudah pasti akan menjadi suatu ingatan baik yang aku kenang.

Tuuli memegangi mangkuk agar stabil dan tidak ada air parue yang jatuh terbuang, sedangkan Ayah menggunakan alat giling untuk memerah semua air dalam buah parue.

“Parue ini enak-enak semua,” jelas Tuuli padaku. “Air parue sangat manis dan enak, selain itu kita bisa dapat minyak juga. Kulit sisanya juga bisa kita jadikan pakan hewan. Kita tidak memelihara hewan ternak, tapi masih bisa kita tukar dengan telur di tempat Lutz.”
“Pastinya banyak sekali orang yang ingin buah ini.”
“Uh iya. Hanya pada hari yang cerah seperti ini kita bisa memanen buah parue, banyak juga orang kota yang pergi pagi-pagi seperti kami tadi. Mereka ingin sekali buah ini. Tapi ini itu sulit sekali dipanennya.”
“Sesulit apa?”

Tuuli menusuk lagi kayu ramping ke buah parue kedua dan sekali lagi menuangkan isinya kedalam mangkuk. Aku disini hanya bisa membantu memegangi mangkuknya agar tidak jatuh.

“Cara memanen buah parue dari pohonnya, harus kita hangatkan dulu dahannya agar melunak, tapi kita tidak bisa menyalakan api di dekat pohonnya. Pohonnya itu punya kekuatan spesial yang bisa membuat api itu langsung padam. Jadi kita harus buka sarung tangan dan hangatkan langsung dengan tangan kosong.”
“Kamu tadi buka sarung tangan di musim dingin yang suhunya rendah ini?! Kedengarannya sulit sekali ya.”

Melakukan itu pasti membuat tangannya memerah kedinginan karena radang. Aku anggap Ayah dan Tuuli bergantian dalam melakukan itu, tapi tetap saja menghangatkan ranting pohon dengan tangan kosong sudah kebayang sulitnya.

“Kenapa tidak kita ambil pas sudah siang? Rantingnya pasti mudah dihangatkan kalau sudah siang?”
“Tidak bisa. Buah parue hanya bisa dipanen sebelum siang.”

Tuuli menyerahkan buah parue yang sudah habis airnya kepada Ayah dan mengambil parue ketiga. Dia tusuk lagi dengan cara yang sama dan menuangkan lagi air parue.

“Kalau siang berati matahari sudah naik, dan sinarnya itu pasti menyinari seisi hutan, begitu itu terjadi, daun pohon parue mulai bersinar, dan pohonnya mulai bergerak, lalu semua daunnya itu mengeluarkan suara wis wus.”

Er.... daunnya bersinar, pohonnya tiba-tiba bergetar sendiri, dan daunnya itu mengeluarkan suara wis wus? Apa? Usaha Tuuli dalam menjelaskan kejadian itu, tidak bisa aku bayangkan sama sekali.

“Waktu bersuara seperti itu, pohon parue mulai bertambah tinggi seperti mendekatkan diri ke matahari. Begitu tingginya sudah melebihi pohon lain dalam hutan, pohon parue mulai memutar-mutarkan bagian rindangnya seperti perempuan mengibaskan rambut panjangnya. Lalu, der der, wis wus....”
“... Pohonnya merenggang dan terbang?”
“Iya, pohonnya terbang. Selama terkena sinar matahari, cabangnya terus berputar-putar, semua parue yang tidak bisa dipanen hilang di angkasa karena terhempaskan! Setelah semua buahnya habis, kulit pohon parue mengecil karena meleleh, dan hilang deh di atas sana.”
“Setelah terbang, pohonnya menghilang di udara...? pohon itu aneh sekali.”

Hanya itu saja yang bisa aku kemukakan soal pohon itu. Pohon yang benar-benar aneh. Kemampuan imajinasiku tidak cukup untuk membayangkan apa yang terjadi pada pohon itu.

“Oke, sudah semua. Mau coba icip?”

Tuuli pindahkan hampir semua air parue ke dalam stoples dan dia sisakan sedikit di mangkuk tadi. Dia minum sebanyak dua kali teguk lalu menyerahkannya padaku.

Aku ambil mangkuk itu dan menenggaknya sama seperti Tuuli. Air kental, rasa manis memenuhi mulutku dan secara alami telingaku merespons naik.

Ini.... ini seperti rasa kebahagiaan! Seperti santan kental!

Dalam hati aku ingin minum lagi, tapi Tuuli berkata, “Buah parue yang bisa kita panen tidak banyak, jadi kita harus, harus, harus sekali menghematnya. Jangan langsung diminum semuanya.”

Oke, aku mengerti, akan aku minum perlahan dan dihemat juga.

“Ayah, yang ini mau diperah juga?” Tuuli mengangkat kantung kain dan melihat isinya.
“Iya.”

Ayah berkata itu sambil meremukkan buah parue perlahan-lahan dengan alat perah. Minyak hasil memerah parue bisa digunakan untuk memasak dan penerangan lampu, karena sifatnya ini jadi seperti minyak zaitun.

“Tuuli, aku mau lihat juga.”

Aku mengintip isi kantung kain itu dari sebelahnya, ingin lihat apa yang terjadi pada buah parue tadi setelah diperah minyaknya. Di sana aku melihat sesuatu seperti okara, suatu bahan pangan di Jepang yang terbuat dari bubur kedelai. Sisa ampas ini harum.

“Ini harum juga. Apa ini bisa dimakan?”

Aku masukkan jari kedalam kantung dan untuk mencari tahu aku emut jariku yang ada sedikit bubur parue.

“Myne! Itu pakan burung!”

Tuuli segera mengambil kantung kain itu dariku dan menyuruhku untuk memuntahkan ampas parue yang aku makan, tapi aku coba kunyah secara perlahan-lahan.

Bagian kering karena diperah cukup sulit aku kunyah dan rasanya tidak semanis aromanya. Secara keseluruhan, aku bisa mengerti mengapa ini tidak bisa dijadikan bahan pangan yang layak untuk manusia. Tapi ini pasti bisa diolah seperti okara. Aku raup sedikit ampas parue dan menaburkannya ke mangkuk isi air parue agar ampas ini mendapat sedikit air.

“Kamu sedang apa, Myne?”
“.... Aku rasa ini bisa kita makan kalau dibeginikan.”
“Kan sudah aku bilang, itu pakan burung! Tidak layak dimakan oleh manusia.”

Aku mengangguk dan sedikit mencicipi. Rasanya ternyata cukup enak. Jika aku campurkan dengan sisa air parue, dan menambah telur dan air susu secukupnya, aku mungkin bisa membuat tamblag okara yang lezat.

“... Um, ini enak loh.”
“Sudah, jangan!”

Aku suapkan sedikit ampas parue ini yang sudah tercampur air parue ke mulut Tuuli. Awalnya dia protes “Kamu ini kenapa?!” tapi tak lama setelah itu, dia mulai mengunyah itu dalam ekspresi yang bertentangan di wajahnya.


“Sudah siap? Ayo.”

Tuuli bersama aku pergi ke rumah Lutz. Rumah Lutz bertempat di bangunan seberang area terbuka, rumahnya ada di lantai enam. Aku kerahkan usaha terbaikku menaiki dan menuruni tangga dua kali, ini terjadi karena kami mau menukar ampas dari dua parue dengan sejumlah telur. Melelahkan sekali rasanya karena harus naik tangga ke lantai enam setelah turun dari lantai lima rumahku.

... Aku akan melakukan transaksi gelap tamblag setelah barternya selesai. Eheheh.

“Permisiii.”
“Lutz, ada di rumah. Kami mau menukar ini dengan telur.” Aku coba menawarkan kantung itu dengan penuh senyum, tapi Lutz malah balas dengan sedikit kesal.
“Pakan ternak burung kami sudah cukup. Bisa tukar pakai daging? Kakakku selalu saja mengambil jatah makanku.”

Semua orang menghabiskan lebih banyak waktu di rumah selama musim dingin, sepertinya itu yang membuat mereka mengambil jatah makannya. Lutz mengeluhkan perutnya yang keroncongan karena kurang makan.

Tuuli memberi senyum simpati dan berkata, “Pasti kau kesulitan melawan mereka, mereka sudah pada besar,” tapi sungguh benar, pasti sulit sekali rasanya dan tidak terbayangkan jika perut selalu keroncongan karena lapar.

Aku tahan dulu kantung itu, ada rencana yang bisa menjadi solusi baginya.

“Kalau begitu, Lutz, kenapa tidak kamu makan saja ini?”
“Mana ada orang yang mau makan pakan burung?”

Reaksinya sudah terduga akan begitu. Tidak ada orang sini yang mau makan okara.

“.... Kalau diolah dengan baik, bisa kamu makan.”
“Huh?”
“Ampas ini tidak bisa dimakan karena sudah diperah semua airnya. Ini memang sisa, tapi rasanya enak tahu kalau misalnya dimasak baik-baik.”

Lutz melihat Tuuli karena tidak percaya itu. Dia pasti yakin dalam pikirannya bahwa tidak ada orang di dunia yang akan makan pakan burung.

“Yang benar saja?! Kau cuma buang-buang bahan pangan saja! Iya, buah parue bisa dimakan dalam keadaan utuhnya, tapi bakal lebih efisien lagi kalau misalnya diambil airnya, diperah minyaknya dan sisanya jadi pakan burung! Tidak ada orang yang mau membuang usaha mereka dengan memakan utuh parue itu. Tidak ada orang sebodoh itu di kota ini, selain kamu! Myne!”

Um... aku tidak makan parue tanpa diolah. Mungkin hanya itu cara yang ada agar dia bisa mengerti?

Aku letakkan jari di daguku dan memikirkan penolakan keras dari Lutz.

“Pakan burung yang kamu miliki sudah berlebih bukan? Ya jalan terbaik bagi kita manusia adalah memakannya.”
“Seperti yang aku bilang tadi, ampas parue itu sangat kering yang membuat tidak ada orang yang mau makan itu!”
“Itu kan keringnya karena orang-orang memerahnya sampai habis, agar mendapatkan banyak minyak. Kalau saja tidak sampai habis, bisa saja kita makan.”
“Myne, kamu ini....” Rupanya Lutz tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengubah pemikirannya meski sudah aku kasih penjelasan.

Aku perlu gunakan sedikit pemaksaan sama halnya seperti Tuuli agar dia mengubah pemikirannya. Dia akan mengerti begitu sudah memakan hasilnya. Aku kepalkan telapak tangan dengan penuh tekad, siap untuk mengeksekusi rencanaku, namun Tuuli secara tiba-tiba menundukkan kepalanya perlahan dan berkata.

“Um, Lutz. Aku tahu kau sulit percaya ini, tapi ini memang layak untuk dimakan. Ini itu.... rasanya enak, aku agak terkejut waktu itu.”
“Huh, serius? Dia membuatmu makan pakan burung, Tuuli?” Lutz melihat Tuuli dengan mata kasihan padanya.
“Jangan tatap dia begitu, dia bilang rasanya enak. Aku yakin kamu juga akan mengerti setelah mencobanya sendiri. Apa masih ada air parue yang kamu miliki, Lutz?”

Aku melangkah masuk ke dalam rumah Lutz dan memindahkan sedikit ampas parue ke dalam mangkuk. Kemudian aku tambah dan campurkan dua sendok teh air parue yang Lutz miliki. Setelah aku icip sedikit, aku mengangguk. Rasanya memang enak.

“Ini dicoba, Lutz.”

Mungkin karena melihat aku mencicipi ini, Lutz dengan patuh membuka mulutnya. Aku suapi dia dengan ampas parue campur airnya. Dia menutup mulutnya, mengunyah sebentar, dan matanya melebar karena terkejut.

“Bagaimana? Manis dan lezat, bukan?” aku busungkan dadaku dengan bangga, sambil “eheh” pada diriku sendiri, tiba-tiba tak lama setelah itu terjadi, semua kakak Lutz diam dan melirik kami dengan curiga dari kejauhan dan langsung menerjang ke hadapan kami.

“Manis?”
“Lezat?”
“Serius? Mana aku mau coba itu juga, Lutz.”

Semua kakaknya mencuil isi mangkuknya. Sebanyak apapun usaha Lutz dalam menyembunyikan atau lari dari mereka, mereka terlalu besar dibanding dia sekarang ini. Tidak hanya tidak bisa lari dari mereka, dia bahkan tidak bisa menghindar dari mereka.

“Hey, menjauh! Jangan dihabiskan! Kakak macam apa kalian ini, mencuri jatah adik kalian sendiri?!”
“Jatahmu ya jatahku juga.”
“Punya makanan enak itu harusnya dibagi-bagi, Lutz.”
“Iya deh! Aku bagi!”

Sikap protes Lutz berakhir sia-sia. Tiga kakaknya memegangi dan mencuri mangkuk darinya. Mereka mencuil isi mangkuk itu secara bergantian, terus berlangsung sampai isinya habis. Jika setiap kali jatah makan yang miliki berakhir seperti ini, aku bisa mengerti mengapa tadi Lutz mengeluh.

“Aaaaah! Parueku!”
“Enak sekali. Apa benar pakan burung seenak ini?”

Ketiga kakak Lutz sepenuhnya menghiraukan isak tangis dari adik mereka dan melihat kearah aku, mata mereka terbuka lebar juga sama halnya dengan Lutz yang terkejut tadi.

Mungkin ini bisa jadi kesempatan bagus untukku.

“Aku bisa buatkan yang lebih enak lagi.”
“Yang benar saja?!”

Umpan telah mereka makan. Sebelumnya mereka sangat jijik dan tidak terima menjadikan pakan burung sebagai bahan pangan, tapi sekarang mereka menggerakkan tangan dan kaki untuk suatu hal yang lebih enak lagi, mungkin terdorong oleh rasa lapar.

“.... Tapi, aku mungkin perlu dibantu. Karena aku ini lemah dan tak berdaya.”
“Baik, serahkan saja padaku.”

Lutz dengan antusias memamerkan tangannya. Melihat tindakan Lutz, semua kakaknya segera mendekati aku lagi dan mendorong Lutz dari pandanganku.

“Kau tidak akan kerja sendirian, Lutz. Kami juga akan membantu, Myne.”
“Iya, benar. Aku lebih kuat dari Lutz.”
“Yay! Kalau begitu, aku ingin kalian bertiga persiapkan papan besi untuk memasak. Lutz nanti siapkan bahan-bahannya dan Ralph yang akan mencampurnya. Oh iya, rasa tidak adil bagi kalian jika air parue milik Lutz saja yang akan dipakai memasak ini, jadi kalian ikut menyumbang agar bisa kita nikmati bersama. Ayo, bawa air parue milik kalian. Jangan ada disembunyikan.”

Aku tepuk tangan sekali dan membiarkan telapak tanganku tetap menyatu selama memberi arahan pada Lutz dan ketiga kakaknya. Aku terlalu kecil dan lemah untuk membantu, jadi sekarang ini bergantung pada lelaki-lelaki muda ini yang melakukan proses masak untukku.

“Lutz, bisa kamu bawakan dua telur dan susu? Ralph, nanti kamu aduk itu pakai spatula disana. Zasha dan Sieg, kalian hangatkan papannya di perapian.”

Lutz mempersiapkan semua bahan-bahannya dan aku pindahkan ke dalam mangkuk satu per satu. Ralph kemudian mengaduknya pakai spatula kayu. Zasha dan Sieg ada dibelakang kami sedang menghangatkan papan besi di perapian.

“Oke, kurasa itu sudah cukup tercampur. Lutz, ada mentega?”

Lutz membawakan mentega, yang aku ambil sedikit pakai sendok dan menjatuhkannya ke papan besi setelah aku naik semacam kursi tinggi. Mentega mulai bergeser dan meleleh di atas papan, menguap dan memenuhi ruangan ini dengan aroma yang harum.

Aku kemudian memakai sendok besar untuk menuangkan ‘adonan’ yang tadi Ralph campurkan di mangkuk. Ada suara dari interaksi adonan dengan mentega lelah, yang mulai mematang, aroma dari mentega itu mulai bercampur dengan aroma manis parue. Ampas seperti okara ini seperti pengganti terigu gandum, adonan yang dimasak jadi rata mirip seperti tamblag bukan pancake, tapi ini lebih sesuai dengan harapanku.

“Jadi itulah cara kalian memasak ini. Bagaimana jika kalian kerja sama dan masak lebih banyak lagi?”

Setelah aku contohkan cara memasak itu sekali, aku turun dari kursi dan membiarkan kakak-kakak tinggi melanjutkan memasak ini. Mereka sudah mengerti cara memasak ini, jadi mereka segera meminjam alat memasak yang aku pegang dan mulai memasak semua adonan itu.

“Pas sudah ada yang buih-buih seperti itu, artinya sudah matang. Bisa kamu balik yang itu sekarang.”
“Baik.”

Zasha membalik tamblag yang aku sebut tadi dan sudah matang dengan baik. Aku dengar semua orang di sini agak heboh.

“Angkat yang ini. Terus masak lagi di tempat terbuka bekas tadi.”

Begitu sudah terlihat cukup matang, dia sisihkan ke sebelah dan menuangkan mentega dan adonan itu di tempat yang sama. Aku perhatikan mereka agar semuanya matang dan termasak dengan baik, dan setelah itu dipindahkan dari papan besi ke piring kayu, dalam keadaan posisi tumpuk-menumpuk.

“Tadaaaa! (Pancake Okara Simpel)!”

Aku angkat piringnya dan membusungkan dada dengan penuh harga diri, selagi aku “eheh” kepada diriku sendiri.

Tapi kata-kataku tadi tidak tersampaikan pada mereka, menilai dari cara Lutz melihatku.

“.... Huh? Bilang apa tadi?”
“Ummm.... Tamblag Parueeeee...”

Dalam piring yang dijajarkan di atas meja, terisi dengan tamblag parue yang masih mengeluarkan uap panas, dari uap itu tercium aroma manis dan menggoda untuk dimakan.

“Ayo mari kita makan. Tapi ingat, ini masih panas.”

Aku menggigit dan mengunyahnya perlahan. Tamblag parue ini enak sekali, jujur saja aku terkejut dengan hasil ini. Teksturnya juga ternyata lembut, bukan renyah atau kering kasar, berbeda dengan pakan burung tadi. Mungkin karena air paruenya itu sendiri, dari rasanya saja sudah manis tanpa selai atau pemanis lainnya.

“Hey, Lutz. Ini mudah dibuat, bukan? Dan bisa mengisi perut juga, kan?”
“Iya, kamu benar. Myne, aku tidak tahu harus bilang apa. Kamu itu hebat sekali.”

Karena banyak sekali orang yang mendatangi rumah Lutz untuk menukar ampas parue ini dengan sejumlah telur, membuat ada banyak sekali ampas parue dalam rumah ini, dan berkat ternak burung mereka juga, ada banyak sekali telur yang bisa ditukar sebanyak yang diinginkan penukar. Bisa juga menukar susu dengan telur, jadi mereka bisa membuat lagi tamblag parue sepanjang musim dingin ini.

“Dengan begini, kamu bisa menjalani musim dingin tanpa ada rasa khawatir perutmu kelaparan.”
“Iya!”

Lutz dengan senang hati memakan tamblag parue. Selama aku lihat dia makan, aku teringat dengan beberapa resep mengolah okara.

“Aku tahu cara lain memasak ampas parue, tapi aku ini terlalu lemah untuk membuatnya sendiri.”
“Akan aku buatkan semua itu untukmu, beritahu saja aku cara membuatnya. Kamu sudah memberitahuku ada makanan seenak ini, kamu itu sudah seperti dewi bagiku, jadi ya. Aku akan selalu membantumu, Myne.”

Kejadian ini adalah pemicu awal pembuatan makanan dari resep yang aku ketahui dan memerlukan kekuatan tangan dari Lutz dan tiga kakaknya. Aku beritahu mereka cara membuatnya dan aku coba hasilnya. Lutz dan tiga kakaknya memakan makanan itu sampai mereka kenyang. Ini merupakan pemberian yang baik dan relasi yang bagus.





TLBajatsu

0 komentar:

Posting Komentar